Rokhmin Dahuri

Ada Masalah, Produksi Besar Tapi Ekspor Ikan Indonesia Masih Rendah

  1. Beranda /
  2. Kabar /
  3. Nasional /
  4. Rabu, 25 November 2020 - 21:20 WIB

Rokhmin Dahuri/Istimewa
Rokhmin Dahuri
Foto: Istimewa

Menurut Rokhmin, jumlah ekspor hasil perikanan Indonesia masih sangat kecil. “Artinya, peluang bagi bangsa Indonesia untuk meningkatkan ekpsor perikanan masih sangat besar,” ujarnya.

TOKOHKITA. Hingga saat ini China masih menjadi produsen ikan terbesar di dunia, yakni 60 juta ton per tahun berdasaekan data tahun 2019. Sedangkan Indonesia berada di peringkat kedua, yakni menghasilan ikan sebesar 24 juta ton per tahun. Meski demikian, Indonesia terpaut jauh dari China dari sisi ekspor perikanan.

Pakar Kelautan dan Perikanan dari IPB University Bogor, Rokhmin Dahuri MS menyebutkan, jumlah ekspor perikanan Indonesia masih relatif rendah. “Ekspor produk perikanan Indonesia masih sangat kecil, yakni, 1 juta ton atau sekitar 4?ri total produksi perikanan Indonesia per tahun,” katanya pada kegiatan Focus  Group Discussion (FGD) BKIPM-Kementerian Kelautan dan Perikanan di Cirebon, Jawa Barat, Selasa (24/11/2020).

Menurut Rokhmin, jumlah ekspor hasil perikanan Indonesia masih sangat kecil. “Artinya, peluang bagi bangsa Indonesia untuk meningkatkan ekpsor perikanan masih sangat besar,” ujarnya. Nilai ekspor perikanan Indonesia  tahun 2019 hanya  sekitar US$ 4,5 miliar. Indonesia berada di ranking ke-15 dunia dalam ekspor hasil perikanan. Padahal dalam hal  produksi, RI nomor dua dunia, dibawah China. "Berarti ada sesuatu yang salah. Mungkin kita malas mengolah, dan malas memenuhi persyaratan yang dibutuhkan oleh negara-negara pengimpor, karena hal  itu sangat penting,” tuturnya.

Rokhmin menjelaskan, bicara ekspor itu adalah ujungnya. Untuk bisa mengekspor dalam kuantitas dan nilai yang bagus, maka itu diperbaiki harus dari hulunya, yakni penangkapan dan budidaya. “Kemudian di tengahnya industri pengolahan, selanjutnya cara-cara kita memasarkan, baik di dalam negeri maupun luar negeri,” katanya.

Setidaknya ada 16 permasalahan dan tantangan pembangunan kelautan dan perikanan. Antara lain, sebagian besar usaha perikanan tangkap, perikanan budidaya, pengolahan hasil perikanan, dan perdagangan hasil perikanan dilakukan secara tradisional dan berskala usaha kecil dan mikro. Ukuran unit usaha (bisnis) perikanan tangkap, perikanan budidaya, pengolahan hasil perikanan, dan perdagangan hasil perikanan sebagian besar tidak memenuhi skala ekonomi (economy of scale).

Bahkan, sebagian besar usaha perikanan belum dikelola dengan menerapkan Sistem Manajamen Rantai Pasok Terpadu (Integrated Supply Chain Management System), yang meliputi subsistem Produksi-Industri Pasca Panen-Pemasaran;   serta ada umumnya, tingkat pemanfaatan perikanan tangkap, perikanan budidaya, bioteknologi perairan, sumber daya non-perikanan, dan jasa-jasa lingkungan kelautan belum optimal (underutilized).

Dari sisi nelayan, banyak yang terjerat rentenir; posisi mereka dalam sistem tata niaga sangat tidak diuntungkan; serta derajat kesehatan nelayan pada umumnya relatif rendah dan kurang  gizi. Dari sisi lingkungan, terjadi overfishing di beberapa wilayah perairan;  pencemaran ekosistem, serta dampak negatif  perubahan iklim global.

“Hal lain adalah rendahnya akses nelayan dan pembudidaya ikan kepada sumber pemodalan (kredit bank), teknologi, infrastruktur, informasi, dan aset ekonomi produktif lainnya; kualitas SDM nelayan relative rendahl; dan kebijakan politik ekonomi  kurang kondusif,” paparnya.

Koordinator Penasehat Menteri Kelautan dan Perikanan 2020–2024 ini memaparkan langkah-langkah pembangunan perikanan tangkap yang menyejahterakan dan berkelanjutan, antara lain  membangkan 10.000  armada kapal ikan nasional modern (> 50 GT dengan alat tangkap purse seine, long lines, atau pukat ikan) untuk menangkap ikan di WPP – ZEEI (> 12 mil – 200 mil). Kemudian, revitalisasi dan pembangunan pelabuhan perikanan baru sebagai kawasan industri perikanan terpadu di wilayah-wilayah terdepan NKRI;

Upaya lainnya, adalah perampungan pembangunan dan percepatan operasionalisasi 13 SKPT atau di lokasi lain (atas prakarsa perusahaan swasta) sebagai Kawasan Industri Perikanan Terpadu; dan modernisasi dan peningkatan kapasitas nelayan tradisional dengan penggunaan fishing technology yang lebih produktif, efisien, dan ramah lingkungan.

Selanjutnya, Rokhmin menjelaskan  langkah-langkah pembangunan perikanan budidaya yang produktif, eisien, berdaya saing, menyejahterajab dan berkelanjutan antara lain, revitalisasi semua usaha (bisnis) budidaya laut (mariculture), budidaya perairan payau (tambak), PUD, kolam air tawar, dan wadah lainnya untuk meningkatkan produktivitas, efisiensi, daya saing, inklusivitas, dan keberlanjutan;  pengembangan usaha budidaya tambak udang Vaname seluas 500.000 ha (17 persen  total potensi lahan), serta pengembangan budidaya lobster sebesar 50 persen  total potensi benih, sehingga Indonesia menjadi produsen lobster terbesar di dunia.

“Selain itu, fevitalisasi dan ekstensifikasi budidaya rumput laut di perairan laut, pengembangan industri pengolahan rumput laut (hilirisasi); serta  revitalisasi dan pengembangan budidaya laut untuk komoditas-komoditas unggulan lainnya,” ujarnya.

Yang penting juga, pembangunan industri pengolahan hasil perikanan dan pemasaran. Yakni, penguatan dan pengembangan teknologi penanganan (handling) dan transportasi hasil perikanan; peningkatan kualitas dan daya saing produk industri pengolahan hasil perikanan tradisional; dan peningkatan kualitas dan daya saing produk industri pengolahan hasil perikanan modern.

“Dengan strategi pembangunan ekonomi kelautan dan perikanan seperti di atas, Insya Allah Indonesia  akan maju, adil-makmur, dan berdaulat;  dengan GNI perkapita dari 4.050 dolar AS saat ini menjadi 8.000 dolar AS  pada 2025, 13.000 dolar AS  pada 2030, dan 19.300 dolar AS pada 2045,” paparnya.

 

Editor: Tokohkita

TERKAIT


TERPOPULER