Muhammad E Fuady

Situng KPU dan Prasangka Politik

  1. Beranda /
  2. Opini /
  3. Senin, 6 Mei 2019 - 16:07 WIB

Muhammad E Fuady/Istimewa
Muhammad E Fuady
Foto: Istimewa

Partisipasi politik di pemilu ini luar biasa. Partisipasi publik meningkat dari mayoritas general publik yang abai terhadap politik ke attentive publik yang peduli dengan proses dan pengawasannya. Kita tak dapat mengabaikan tragedi dari pemilu serentak ini. Lebih dari 400 orang anggota KPPS meninggal dunia, diduga karena kelelahan dan stress dalam melakukan penghitungan.

Masih terngiang di telinga paparan pakar komunikasi Jalaluddin Rakhmat alias Kang Jalal 21 tahun lalu, dalam sebuah kuliah tematis di Bandung. "Hindari prasangka. Tapi ada prasangka yang diperbolehkan, yaitu bidang keuangan". Saat itu beliau sebenarnya menjelaskan urgensi transparansi dan akuntabilitas.

Berkaitan dengan nilai, nominal, angka, jumlah, kepercayaan, dan tanggung jawab. Agar tak menimbulkan masalah, perlu adanya kejujuran, transparansi, keterbukaan, dan pengawasan. Jangan sampai ada pihak yang dirugikan. Apalagi bila itu disebabkan tindakan abuse of power. Terlalu naif apabila berdasarkan dalih tertentu, lalu potensi penyimpangan diabaikan.

Soal transparansi dan akuntabiltas sebenarnya tak melulu soal keuangan. Dalam konteks kekinian, penghitungan suara pilpres termasuk di dalamnya. Apalagi pilpres ini melibatkan 190 juta suara pemilih. Partisipasi masyarakat yang menggunakan hak pilih di pilpres ini juga mencapai 80 persen dari jumlah total pemilih. Setiap suara sangatlah berharga. Vox Polpuli Vox Dei, suara rakyat adalah suara Tuhan. Begitu demokrasi meyakininya. Satu suara menjadi penting dan tak boleh dicederai.

Transparansi dan akuntabilitas, apalagi dalam penghitungan suara, itu hal yang penting. Bila ada ketidaksesuaian data, sedikit saja, pemilu bisa dianggap tidak valid dan batal. Begitu kata Ketua KPU Arif Budiman, Desember 2017. Itulah mengapa rekapitulasi suara secara real time harus dapat diakses publik untuk memonitor apakah terjadi kesalahan penghitungan atau tidak.

Celakanya, publik merasa ada kejanggalan. Kejadian salah hitung nyata terjadi. Komisioner KPU mengakui adanya kesalahan penghitungan di sembilan daerah (19/4). Salah satu media kredibel seperti Kumparan melakukan cek dan ricek atas kesalahan penghitungan yang terjadi berikutnya. Apakah benar terjadi penambahan dan pengurangan suara di 105 TPS (26/4). Kumparan mencocokan angka form C1 dengan entri data yang dilakukan KPU.

Kumparan mencatat sebanyak 63 dari 105 temuan salah entri data itu menambah suara Jokowi-Ma’ruf dan 70 dari 105 temuan menambah suara Prabowo-Sandi. Mengenai pengurangan suara, diketahui 16 dari 105 temuan salah entri data mengurangi suara Jokowi-Ma’ruf. Lalu sebanyak 48 dari 105 temuan tercatat mengurangi suara Prabowo-Sandi.

Bila diakumulasikan, suara Jokowi-Ma’ruf bertambah 7.239 dan kehilangan 777 suara. Bila dijumlahkan secara total, suara Jokowi-Ma’ruf bertambah 6.642 suara. Untuk Prabowo-Sandi, suara bertambah sebanyak 3.438, dan berkurang sebanyak 2.781 suara. Bila ditotal, suara Prabowo-Sandi menjadi bertambah 657 suara. Alasan pihak KPU seperti yang sudah diketahui publik adalah kesalahan dalam penghitungan karena human error.

Detik (29/4) melansir klaim tim Relawan IT Badan Pemenangan Pemilu (BPN) Prabowo Subianto yang menemukan 9440 kesalahan input dalam aplikasi Sistem Penghitungan Suara (Situng) Pemilu 2019 milik KPU. Di Jawa Barat, kesalahan input terjadi di 764 TPS (8 persen), Jawa Tengah 706 TPS (7,4 persen), dan Jawa Timur 385 TPS (4 persen). Tak terbayang, bila benar terjadi salah hitung atau input, kandidat politik betul-betul dirugikan.

Sangat konyol bila melihat prosentase kesalahan kemudian di salah satu stasiun TV kubu lain melontarkan pernyataan, "Ah, itu tidak signifikan. Kalau yakin menang ya seharusnya tidak perlu ribut. Laporkan saja". Miris rasanya bila politisi memandang sebelah mata kecurangan sesederhana itu. Tak ada apresiasi terhadap pemilih yang telah memberikan suara.

Apakah benar terjadi kecurangan? Bila kesalahan hitung terjadi berkali-kali, ada pengelembungan suara pada satu paslon dan pengurangan suara paslon lainnya, sah saja publik menilai seperti itu.

Dalam ILC Prof. Mahfud MD menyatakan ada sebagian prasangka yang diperbolehkan. Ia mengutip Al Hujurat ayat 12 : “Allah Ta’ala melarang sebagian besar prasangka terhadap sesama Mukmin, karena sesungguhnya sebagian prasangka adalah dosa". Artinya, dalam hal tertentu mencurigai orang diperbolehkan. Kasus korupsi misalnya, terungkap karena diawali adanya prasangka terhadap pelaku dan ditemukan bukti kejahatannya.

Sejatinya politik itu menggoda para pelaku untuk berbuat korup. Lord Acton bilang, "Power tends to corrupt. Absolute power corrupt absolutely". Itulah mengapa pengawasan, cek dan ricek, monitoring, pelaporan, menjadi sangat penting. Kita tak bisa berapologi dengan kalimat "Laporkan saja bila merasa ada kecurangan, tak perlu ribut di medsos", "Biarkan proses perhitungan berjalan", "berpikir positif saja pada KPU", "Ini upaya mendelegitimasi KPU", dab "Hukum yang akan menindak bila ada kecurangan". Atau, dengan kata bijak, "Tak ada kecurangan", "Percaya saja pada KPU", dsb karena potensi manusia melakukan kekeliruan selalu ada.

Kecurangan pada pilpres, bila terjadi tak akan selesai dengan sekedar berpikir positif, mempercayai bahwa seseorang atau pihak itu tak berbuat curang. Pembiaran atas kekeliruan data, salah hitung, atau indikasi kecurangan adalah sebuah kebodohan.

Dari pemilu serentak ini kita belajar banyak. Masyarakat begitu antusias mengikuti pemilu, memberikan suara di TPS, mengawasi penghitungan suara, menjadi saksi dan pengawas, menjadi panitia pemilu dan penyelenggara, hingga mengawasi kotak suara. Kita juga belajar dari netizen. Mereka aktif melakukan cek dan ricek, mengunggah kesalahan atau akurasi penghitungan di lembar C1 dan input situng KPU.

Partisipasi politik di pemilu ini luar biasa. Partisipasi publik meningkat dari mayoritas general publik yang abai terhadap politik ke attentive publik yang peduli dengan proses dan pengawasannya. Kita tak dapat mengabaikan tragedi dari pemilu serentak ini. Lebih dari 400 orang anggota KPPS meninggal dunia, diduga karena kelelahan dan stress dalam melakukan penghitungan. Jangan sampai pengorbanan anggota KPPS dan tingginya partisipasi politik dicederai oleh tindakan curang yang justru tak menghormati sebuah proses demokrasi.

*Dosen Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Islam Bandung (Unisba)

Editor: Tokohkita

TERKAIT


TERPOPULER