Farouk Abdullah Alwyni

Membangun Kesadaran Indonesian Lives Matter & ESG Investing

  1. Beranda /
  2. Opini /
  3. Selasa, 15 Desember 2020 - 18:23 WIB

Farouk Abdullah Alwyni/Istimewa
Farouk Abdullah Alwyni
Foto: Istimewa

Polisi harus berada dalam posisi yang netral dan tidak bisa jadi instrument kepentingan politik tertentu di sebuah negara, apalagi bertindak sewenang-wenang terhadap sekelompok orang yang dianggap berseberangan dengan pemerintahan yang sedang berkuasa.

Baru-baru ini masyarakat dikejutkan oleh tewasnya enam laskar Front Pembela Islam (FPI) di tangan aparat kepolisian. Pihak kepolisian tentunya mempunyai dalih tersendiri bahwa ada perlawanan dari laskar FPI tersebut yang membuat mereka harus membela diri, dan akhirnya dalam kerangka penegakan hukum perlu membunuh laskar tersebut.

Tentunya, versi polisi ini dipertanyakan oleh divisi hukum FPI yang membantah keterangan polisi dan menyatakan bahwa mereka adalah korban penyiksaan dan pembunuhan polisi secara sewenang-wenang, karena laskar FPI adalah relawan tidak bersenjata. Indonesia Police Watch (IPW) juga menganggap ada kejanggalaan dalam penembakan enam laskar FPI (14/12).

Menurut IPW, Polri harus mau menyadari bahwa terjadi pelanggaran dalam kasus kematian anggota FPI. Pelanggaran tersebut, menurut IPW lagi, membuat personnel kepolisian melanggar Hak Asasi Manusia (HAM).  Lepas dari pro-kon yang ada, faktanya jelas, ada enamwWarga Negara Indonesia (WNI) tewas di tangan aparat kepolisian. Bahkan, dinyatakan oleh para saksi yang memandikan jenazah mereka banyak bekas-bekas penyiksaan di tubuh para korban tersebut.

Pembuhunan enam warga yang dianggap bukan kriminal, bukan koruptor, dan bukan teroris oleh aparat kepolisian yang berpakaian bebas (dan dikejar dengan bukan menggunakan mobil resmi kepolisian), tentunya layak untuk dikritisi lebih jauh. Permintaan untuk dibentuknya tim pencari fakta independen telah didengungkan oleh segenap komponen masyarakat, mulai dari beberapa anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan banyak organisasi masyarakat lainnya.

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM) juga telah mulai melakukan kerjanya untuk menginvestigasi persoalan tersebut. Meerka telah memanggil Kapolda Metro Jaya pada Senin, 14 Desember 2020. Kita semua mengharapkan KOMNAS HAM dapat menjalankan pekerjaannya secara profesional dan penuh integritas. Pasalnya, kekerasan yang menimbulkan dalam bentuk yang berbeda juga pernah dilakukan oknum aparat kepolisian pada tanggal 21-23 Mei 2019, menyusul demo di depan KPU, yang mana pihak kepolisian dianggap telah melakukan excessive force.

Amnesti Internasional Indonesia pada waktu itu membuat pernyataan bahwa Korps Brigade Mobil (Brigade Mobil) Polri telah melakukan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) serius terhadap warga tak berdaya saat melakukan penyisiran di Kampung Bali, Tanah Abang, Jakarta, usai kerusuhan 22 Mei. Sejauh ini kita tidak pernah mendengar sejauh mana para oknum polisi yang melakukan excessive force tersebut telah diadili dan diberikan hukuman yang setimpal.

Dalam konteks di atas, tentunya kita bisa kembali melihat ke belakang terkait apa yang terjadi di Amerika Serikat beberapa waktu yang lalu, ketika warga kulit hitam yang bernama George Floyd terbunuh oleh aparat kepolisian di Minneapolis. Kematian ini sontak memicu demonstrasi besar di berbagai kota di Amerika Serikat dalam waktu yang cukup lama dengan menampilkan slogan Black Lives Matter (BLM).

Gerakan BLM ini bahkan menyebar kebanyak negara-negara lainnya di Eropa, Australia, bahkan Korea Selatan dan Jepang. Ini merupakan gerakan universal kemanusiaan melawan kesewenang-kewenangan yang ditunjukkan oleh oknum kepolisian tersebut. Pada kenyataannya banyak juga akhirnya aparat kepolisian di Amerika Serikat yang menunjukkan simpati terhadap kematian George Floyd tersebut, dan ikut membungkuk sebagai satu tanda solidaritas terhadap sang korban dalam berbagai kesempatan ketika mengawal demonstrasi masa.

Lebih dari itu kematian George Floyd juga membangun kesadaran baru dibanyak negara maju, khususnya di kalangan muda untuk membedakan diri mereka dengan sebagian generasi sebelumnya terkait persoalan perbudakan dan penjajahan. Banyak patung-patung yang merupakan simbolisasi dari perbudakan, perdagangan budak, dan penjajahan yang dirusak dan paling tidak divandalisasi oleh para demonstran (bahkan patung Columbus pun dihilangkan kepalanya karena dianggap membawa penderitaan terhadap penduduk asli/Native Americans).

Dampak dari demo-demo tersebut juga disambut oleh pihak-pihak terkait baik didunia politik dan bisnis. Pertama tentunya polisi yang terlibat dalam tindak-tindak kekerasan kepada warga dipecat dan bahkan diproses hukum. Kedua, aturan-aturan yang lebih ketat dalam hal penindakan oleh aparat kepolisian mulai diberlakukan, hal ini untuk mengurangi kesewenang-wenangan sebagian oknum kepolisian.

Terakhir, dan yang paling keras adalah, gerakan untuk mengurangi anggaran kepolisian dan bahkan untuk menstop anggaran kepada aparat kepolisian mulai didengungkan (defund the police). Hal ini karena mereka melihat apa gunanya aparat kepolisian jika hanya merugikan masyarakat.

Kita tentu perlu belajar dari apa yang terjadi dinegara-negara maju diatas, khususnya di Amerika Serikat. Bahwa hilangnya nyawa manusia, khususnya masyarakat sipil, adalah sebuah hal yang tidak main-main. Kepolisian dibentuk untuk melayani dan melindungi masyarakat, bukan untuk melakukan kesewenang-wenangan terhadap warga sipil yang belum tentu bersalah.

Ketika demo-demo besar terjadi di Amerika Serikat diatas, seorang Gubernur New York, Andrew Cuomo- bahkan menyatakan bahwa polisi harus menegakkan –bukan menyalahgunakan hukum (“Police officers must enforce –NOT ABUSE- the law”). Terlebih lagi jika hal-hal yang ada lebih bersifat politis. Walau bagaimanapun dalam konteks dmeokrasi modern, hak politik warga perlu dijaga.

Polisi harus berada dalam posisi yang netral dan tidak bisa jadi instrument kepentingan politik tertentu di sebuah negara, apalagi bertindak sewenang-wenang terhadap sekelompok orang yang dianggap berseberangan dengan pemerintahan yang sedang berkuasa. Karena dalam konteks demokrasi modern, pemerintah yang berkuasa tidak boleh melakukan penyalah gunaan kekuasaan dengan menggunakan birokrasi, kepolisian, dan militer untuk kepentingan politiknya saja dan melakukan penekanan terhadap pihak-pihak yang berseberangan. Instrumen-instrumen negara tersebut harus mengayomi seluruh warga negara terlepas dari afiliasi politik yang ada.

Kita di Indonesia tentunya ingin melihat republik kita ini menjadi sebuah negara yang sejahtera dan maju, yang tidak kalah dengan negara-negara yang maju sekarang ini. Untuk itu perlu dibangun kesadaran kemanusiaan yang lebih baik untuk seluruh aparat kepolisian yang ada. Kita perlu membangun kesadaran “Indonesian Lives Matter”, bahwa hidup orang Indonesia itu adalah sesuatu yang berarti.

Kita harus membuang jauh-jauh sikap neo-feodal dan neo-kolonial dari bangsa dan negara ini, yang meremehkan warga-warga yang dianggap lemah, yang seakan-akan tidak berarti. Karena dengan mentalitas yang seperti itu bangsa ini tidak akan pernah maju dan akan terus terbelakang dengan sifat primitif-nya.

Lebih dari itu, ketika kita berusaha untuk menarik banyak investasi dari luar negeri, kita juga harus memahami kesadaran baru didunia bisnis global yang lebih perduli terhadap HAM, lingkungan, dan tata kelola yang baik (Good Governance). Dewasa ini investasi yang mempunyai dampak kemasyarakatan dan/atau bersifat berkelanjutan (Impact and/or sustainable investing) mempunyai peranan yang penting. Berdasarkan laporan dari McKinsey (2019), sustainable investing mengalami peningkatan yang luar biasa, mencapai US$ 30 triliun, peningkatan 10 kali lipat sejak tahun 2004.  

Di Amerika Serikat saja, pada awal 2018, diperkirakan 26?ri total asset (senilai US$ 13 triliun) yang dikelola secara professional adalah menggunakan pendekatan sustainable, responsible, dan impact investing. Pendekatan-pendekatan investasi yang seperti ini yang telah menjadi mainstream dalam indek-indeks saham internasional seperti Morgan Stanley Composite Index, Dow, dan Financial Times Stock Exchange (FTSE) dikenal juga dengan pendekatan Economic, Social, and Governance (ESG) Investing.

Berbagai dana-dana pensiun besar dalam skala global seperti misalnya AustralianSuper, Canada Pension Plan Investment Board, Stichting Pensioenfonds ABP (Belanda), Norway Government Pension Fund Global (Norwegia), Alecta (Swedia) dan masih banyak lagi  juga menggunakan pendekatan ESG dalam melakukan keputusan-keputusan investasi.

ESG Investing mempunyai prinsip bahwa melakukan bisnis adalah bukan hanya sekedar mencari keuntungan (not just making profit), tetapi juga berbuat kebaikan (but also doing good). Pendekatan ini pada esensinya adalah pendekatan bisnis yang juga perduli dengan lingkungan, hak asasi manusia/harkat martabat kemanusiaan, dan mempunyai standard tata kelola yang tinggi dalam artian tidak ingin membawa kemudharatan kepada masyarakat dan segenap pihak terkait.

Poin penting disini adalah perduli terhadap penegakan HAM (selain lingkungan) dewasa ini adalah bukan hanya urusan politik tetapi juga mulai masuk ke urusan bisnis. Dampaknya adalah jika kita sebagai sebuah negara tidak kunjung perduli terhadap HAM dan harkat martabat kemanusiaan bangsa kita sendiri pada akhirnya kita akan mengalami apa yang disebut dengan ‘market discipline’, yakni disiplin pasar.

Yang mana pada akhirnya kita pun akan dianggap sebagai negara yang tidak baik untuk melakukan bisnis, yang dapat berdampak terhadap arus investasi yang masuk ke Indonesia. Dan jangan sampai pada akhirnya bisnis-bisnis dan investasi-invetasi yang masuk ke Indonesia adalah bisnis-bisnis dan investasi-investasi kotor yang tidak perduli terhadap harkat dan martabat bangsa ini (dan juga lingkungan), dan hanya ingin memaksimalisasi keuntungan saja tanpa melihat dampak-dampak negatif yang dihasilkan.

Pilihan tentunya ada ditangan kita semua khususnya para elite politik. Apakah kita di Indonesia ingin menjadi negara yang menghargai bangsanya sendiri dengan perduli terhadap nilai-nilai keadilan dan kemanusiaan, yang justru akhirnya akan baik dalam perspektif bisnis internasional dan InsyaAllah dapat berkontribusi  dalam menghasilkan kesejahteraan dan kemajuan bangsa.

Tentunya, akan lebih dihargai dalam percaturan internasional, atau tetap menjadi negara dunia ketiga yang terbelakang, dengan pola fikir sempit, yang pada akhirnya hanya akan menjadi objek kepentingan bisnis-bisnis kotor dari luar? Sudah pasti, kita semua tidak akan menginginkan yang kedua, oleh karena itu membangun kesadaran ‘Indonesian Lives Matter’ dan pemahaman ‘ESG Investing’ adalah sebuah hal penting bagi kita semua dalam kerangka membangun Indonesia yang lebih adil, beretika, sejahtera, dan maju.

*Penulis adalah Chairman Center for Islamic Studies in Finance, Economics, and Development (CISFED), pernah menjalani ‘internship’ di Pusat Hak Asasi Manusia (HAM) Kantor Pusat Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di New York (United Nations High Commissioner for Human Rights/ Center for Human Rights, United Nations Headquarters, New York) ketika menyelesaikan studi S-2 di New York University, New York.

Editor: Tokohkita

TERKAIT


TERPOPULER