Hery Sucipto

Jernih Membaca Ijtima Ulama dan Multaqo Ulama

  1. Beranda /
  2. Opini /
  3. Senin, 6 Mei 2019 - 16:00 WIB

Hery Sucipto/Istimewa
Hery Sucipto
Foto: Istimewa

Umat Islam sudah semestinya menyadari dan mengikuti produk pertemuan ulama yang mementingkan kepentingan umum, yakni bangsa dan negara. Dengan begitu, umat terselamatkan dari "fatwa" sesat yang keluar dari syahwat politik dan kekuasaan sesaat.

Dalam dua minggu terakhir ini, dua pertemuan kalangan ulama dilakukan di Sentul, Bogor dan Jakarta. Yang pertama Ijtima Ulama 3 di Hotel Lor In, Sentul, Bogor, pekan lalu, dan kedua Multaqo Ulama, Habaib dan Cendekiawan Muslim yang dihelat di hotel Kartika Candra, Jakarta, Jumat (3/5) pekan lalu.

Apa yang menarik dari kedua pertemuan yang sama-sama digelar kalangan ulama itu? Pertemuan pertama, atau Ijtima Ulama, seperti kita ketahui bersama, sudah beberapa kali dilaksanakan. Dipelopori kalangan ulama pendukung paslon capres cawares 02, yakni Yusuf Martak, Samsul Maarif, Kholil Ridwan, Neno Warisman (yang diketahui mereka semua tercatat sebagai timses 02), Ijtima Ulama sudah tiga kali dilakukan.

Ijtima yang pertama, menghasilkan rekomendasi capres Prabowo harus berpasangan dengan kalangan ulama. Kala itu, mereka merekomendasikan dua nama: Salim Segaf Aljufri yang tak lain adalah ketua dewan syura PKS, dan dai kondang Abdul Shomad. Faktanya, Prabowo lebih memilih pengusaha Sandiaga Uno sebagai cawapresnya.

Pemrakarsa Ijtima Ulama yang juga para pelopor gerakan 212 itu memutar otak. Agar ada legitimasi, maka Ijtima Ulama 2 pun digelar. Hasil utamanya, memahami dan menerima cawapres Sandiaga Uno, yang notabene bukan produk Ijtima Ulama pertama.

Dalam perjalannya, melihat hasil sementara quick count pilpres yang tidak menguntungkan mereka, dilaksanakanlah Ijtima Ulama tiga. Hasilnya, lebih politis lagi, yakni meminta pemilu ulang, mendesak KPU dan Bawaslu menghentikan penghitungan sementara, serta menilai pemilu sarat dengan kecurangan. Intinya, mereka menolak hasil pemilu.

Sementara itu, di sisi lain ada pula kalangan ulama yang melaksanakan hajatan yang disebut Multaqo Ulama, Habaib, dan Cendekiawan Muslim untuk Kemaslahatan Bangsa. Hajatan ini diikuti sekitar 1300 ulama dari berbagai daerah. Ulama senior kharismatik KH Maemon Zubair dan Habib Luthfi bin Yahya menjadi inisator multaqo ulama tersebut.

Dari pesertanya, mewakili beragam ormas Islam. Ada delapan rekomendasi yang dihasilkan, kesemuanya untuk kepentingan umat dan bangsa. Seruannya juga meneduhkan, dan membuat suasana khususnya pasca pilpres ini, makin kondusif. Sama sekali tidak ada kepentingan politik praktis, seperti terjadi pada Ijtima Ulama jilid 3.

Legal dan Non-Legal

Kalau merujuk pada sah tidaknya atau beranjak pada etika keagamaan (hukum Islam), ada aturan untuk sebuah ijtima atau ijma (berkumpulnya) para ulama. Setidaknya, bila merujuk pada pendapat ulama kondang ahli fikih dan filsafat abad Pertengahan, Al Ghazali. Dalam "Al-Mustashfa min Ilmi al Ushul," (Kajian Terpilih dari Ilmu Ushul), Al-Ghazali menjelaskan, Ijma’ (ijtima') hanya boleh diikuti setelah memenuhi berapa rukun. 

Pertama, Ijtma’ harus disepakati seluruh umat Islam. Dalam hal ini, yang dimaksud Al-Ghazali, bahwa Ijma’ harus diikuti seluruh mufti dari berbagai kalangan lintas ormas dan lintas teritori (negara). Mufti yang dimaksudkan Al-Ghazali adalah ulama yang memenuhi kredibilitas untuk memutuskan suatu hukum. (Al-Mustashfa min Ilmi al-Ushul, 269).

Kedua, keberadaan perihal ijma’ itu sendiri. Dalam hal ini Al-Ghazali menghendaki bahwa perkara tersebut benar-benar disepakati oleh semua kalangan. Jika ada satu saja di antara para mufti yang masih diam (dan apalagi mempermasalahkan) maka tidak cukup syarat untuk disebut “ijtma’”, serta tidak boleh dijadikan hujjah (dasar) dan bahkan tidak boleh dijadikan dalil. Dan karenanya, tidak usah diikuti. (Al-Mustasfa min Ilmi al-Ushul, 284).

Merujuk pada pendapat Al-Ghazali tersebut, maka otoritas yang lebih bisa diterima dan diakui legalitasnya berikut diikuti  produknya, tak lain adalah Multaqo Ulama yang diinisiasi ulama dan habaib dari beragam kalangan dan untuk kepentingan umat dan bangsa.

Sementara, jika melihat pada forum Ijtima Ulama tiga, dimana produknya lebih pada kepentingan politik praktis, selain pesertanya dari kelompok tertentu, bukan beragam ulama dan kalangan ormas Islam, dengan sendirinya dapat dikatakan sebagai kegiatan Illegal dari segi hukum Islamnya (fikih).

Dalam Islam, fatwa tidak bisa dikeluarkan hanya untuk kepentingan segelintir atau kelompok tertentu, apalagi untuk politik praktis bagi-bagi kekuasaan. Fatwa dapat diwujudkan untuk kemaslahatan bersama seluruh warga bangsa. Ini pakemnya.

Oleh sebab itu, umat Islam sudah semestinya menyadari dan mengikuti produk pertemuan ulama yang mementingkan kepentingan umum, yakni bangsa dan negara. Dengan begitu, umat terselamatkan dari "fatwa" sesat yang keluar dari syahwat politik dan kekuasaan sesaat.

Dan forum Multaqo Ulama di Jakarta itu jelas menjadi pembimbing umat, demi kemaslahatan bangsa dan negara. Salam Indonesia Jaya. Selamat menunaikan ibadah ramadhan 1440. Semoga bangsa ini senantiasa diberikan petunjuk menjadi bangsa yang maju, sejahtera dan lebih baik.

*Anggota LHKI-PP Muhammadiyah

Editor: Tokohkita

TERKAIT


TERPOPULER