Rokhmin Dahuri

Sektor Pangan Punya Andil dalam Kemajuan Suatu Bangsa

  1. Beranda /
  2. Kabar /
  3. Nasional /
  4. Selasa, 9 Agustus 2022 - 21:08 WIB

"Semua elemen bangsa harus all out. Urusan pangan adalah hidup-matinya sebuah bangsa,” tegas Prof Rokhmin Dahuri mengutip pidato Presiden Soekarno pada Peletakan Batu Pertama Pembangunan Gedung Fakultas Pertanian, IPB di Bogor, 27 April 1952.

TOKOHKITA. Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan-IPB University, Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri, MS menjelaskan, bahwa pangan adalah hak azasi manusia, karena menentukan tingkat kesehatan, kecerdasan, kualitas SDM, dan kemajuan suatu bangsa. “You are, what you eat,” katanya.

Hal itu diutarakan Rokhmin pada kesempatan FGD bertema “Efektivitas Pemberian PMN Bagi BUMN Guna Mendukung Ketahanan Pangan” yang digelar di Pusat Kajian Anggaran Badan Keahlian Sekretaris Jenderal DPR RI, Senin, (8/8/2022)

Menurut Rokhmin, suplai pangan global cenderung menurun akibat demand semakin meningkat karena pertambahan penduduk, supply kian terbatas akibat alih fungsi lahan, Global Climate Change (GCC), dan kerusakan lingkungan lainnya, negara-negara produsen pangan mulai membatasi ekspor pangannya karena GCC, pandemi Covid-19, perang Rusia vs Ukraina, dan mafia pangan.

Kemudian akibat pandemi Covid-19, menurut FAO pada tahub dunia menghadapi krisis pangan. "Seiring dengan pertambahan penduduk, permintaan bahan pangan bakal terus meningkat. Lalu, kekurangan/kelangkaan pangan dapat memicu gejolak sosial dan politik, kejatuhan rezim pemerintahan," jelas Rokhmin.

Atas dasar itu, para pejabat dan pemangku kepentingan di Indonesia juga harus memandang dan melihat sektor pangan untuk kemajuan suatu bangsa. Menurutnya, pangan  jangan dianggap hanya sektor ekonomi tetapi juga sektor kehidupan, bahwa semakin tinggi hubungan tingkat konsumsi protein hewani (daging & seafood) dan kemajuan ekonomi bangsa.

"Semua elemen bangsa harus all out. Urusan pangan adalah hidup-matinya sebuah bangsa,” tegas Prof Rokhmin Dahuri mengutip pidato Presiden Soekarno pada Peletakan Batu Pertama Pembangunan Gedung Fakultas Pertanian, IPB di Bogor, 27 April 1952.

Menurut penelitian FAO, suatu negara dengan penduduk lebih dari 100 juta jiwa tidak mungkin bisa maju, sejahtera, dan berdaulat bila kebutuhan pangannya bergantung pada impor. Sebagai negara maritim dan agraris tropis terbesar di dunia, Indonesia memiliki potensi sangat besar untuk berdaulat pangan, dan bahkan feeding the world (pengekspor pangan utama). “Seharusnya kita tidak tiap tahun impor gandum, beras, sagu dst,” tandasnya.

Sebagai negara maritim dan agraris tropis terbesar di dunia, Indonesia memiliki potensi sangat besar untuk berdaulat pangan, dan bahkan feeding the world (pengekspor pangan utama). Oleh karenanya, Indonesia perlu melakukan revitalisasi dan pengembangan industri pengolahan pangan. Hal itu penting untuk mencapai kedaulatan pangan. “Penguatan dan pengembangan industri pengolahan dan pengemasan semua komoditas pangan semaksimal mungkin, kecuali beberapa komoditas pangan tertentu,” ujarnya.

Supaya produk olahan pangan Indonesia kompetitif di tingkat global , kata dia, lakukan bench marking dengan negara-negara produsen pangan olahan terbaik di dunia (Jepang, Korsel, Thailand, Singapura, Australia, Canada, AS, Uni Eropa, dan Turki).

Rokhmin juga menyebutkan, menyebutkan dua tantangan besar pemerintah dan pengusaha dalam mengembangkan serta menguatkan industri maritim Indonesia. Tantangan itu adalah nelayan dan pembudidaya yang miskin. “Mayoritas buruh tani, peternak, dan nelayan masih miskin. Sementara pemilik lahan rata-rata sudah sejahtera,” ungkap Ketua Umum Masyarakat Akuakultur Indonesia itu.

Selain itu, tantangan penguatan industri kelautan dan perikanan di Indonesia, diantaranya suku bunga pinjaman bank masih jauh lebih tinggi dibandingkan dengan negara lain, dan fungsi intermediasi (alokasi kredit) untuk sektor tersebut sangat rendah. “Dari total alokasi kredit perbankan nasional, pinjaman yang diberikan ke sektor kelautan dan perikanan hanya mencapai sekitar 0,29 persen dari total nilai pinjaman Rp2,6 triliun. Sementara alokasi kredit tertinggi diberi ke sektor perdagangan besar dan eceran sebesar 26,94 persen,” ujarnya.

Tidak kalah penting, Prof. Rokhmin Dahuri menjelaskan, suku bunga pinjaman tinggi yang diberikan kepada nelayan membuat mereka semakin sulit keluar dari angka kemiskinan. Fungsi alokasi kredit untuk sektor kelautan dan perikanan pun terbilang rendah dibanding dengan negara lain.

Di sisi lain, lanjutnya, Indonesia masih menjadi negara dengan pemberi suku bunga pinjaman tertinggi, yaitu sebesar 10,5 persen, dibanding beberapa negara Asia, seperti Vietnam (7,6 persen), Filipina (7,1 persen), Brunei Darussalam (5,5 persen), Singapura (5,3 persen), Malaysia (3,9 persen) dan Thailand (3,3 persen). “Konsekuensinya, nelayan dari negara tersebut lebih kompetitif dibanding Indonesia,” sebut Rokhmin.

Sementara itu, dari total alokasi kredit perbankan nasional, Rokhmin menjelaskan, pinjaman yang diberikan ke sektor kelautan dan perikanan hanya sekitar 0,29 persen dari total nilai pinjaman Rp 2,6 triliun. "Dampaknya, nelayan Indonesia menjadi sulit berkompetisi dengan negara lain," tuturnya.

Untuk mengatasi ini, Prof. Rokhmin Dahuri menyarankan, agar Bank Indonesia maupun penyedia jasa perbankan bersama pemerintah mampu menurunkan suku bunga pinjaman bagi nelayan dan pembudidaya skala kecil. “Sebab, tidak sedikit di antara mereka meminjam uang dari rentenir dengan bunga lima hingga 10 persen per bulan yang tergolong tinggi,” kata Member of International Scientific Advisory Board of Center for Coastal and Ocean Development, University of Bremen, Germany itu.

Editor: Tokohkita

TERKAIT


TERPOPULER