Al Mukhollis Siagian

Obat Pseudopolitic dan Skeptik Publik dalam Membangun Bangsa

  1. Beranda /
  2. Opini /
  3. Rabu, 26 Juni 2019 - 10:19 WIB

Al Mukhollis Siagian/Dokumen pribadi
Al Mukhollis Siagian
Foto: Dokumen pribadi

Boleh diuji, jangankan untuk tahap implementasi nilai moral dan etika dalam kandungan Pancasila, paham saja tentang Pancasila sebagai dasar negara pun akan memperoleh angka persentase yang kecil, seperti halnya dialog yang penulis lakukan pada beberapa kalangan pelajar, pekerja dan penyedia lapangan pekerjaan

Upaya pembangunan berkelanjutan secara global yang pada hari ini sudah memasuki keempat tahun. Indonesia ikut mendeklarasikan diri secara aktif untuk menyukseskannya sebagai bagian dari visi dan komitment perwujudan tujuan negara yang termaktub dalam pembukaan UUD 1945 pada tanggal 25 September 2015 di New York, Amerika Serikat. Akan tetapi pada hari ini juga, kondisi Indonesia dilanda keterpurukan/krisis kepercayaan masyarakat sebagai akibat kesemuan politik, lebih tepatnya hasil friksi kontestasi pemilihan umum menimbulkan kontras kerukunan dan keharmonisan.

Usia Indonesia dalam perpolitikan bisa dikatakan sudah cukup dewasa, namun terkait pemilihan umum secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil maka usia Indonesia masih sangatlah belia. Wajar saja apabila psikologi perpolitikan dalam pemilihan umum belum begitu matang dan sering menuai pertengkaran. Hal ini bisa kita dapati dalam lembaran-lembaran sejarah maupun yang sedang berlangsung, sebagai contoh penulis ambil kondisi termutakhir yaitu politik hubungan luar negeri bebas aktif presiden Jokowi hingga bisa memasuki Anggota Tidak Tetap Dewan Keamanan PBB 2019/2020 (perpolitikan dewasa) dan persengketaan pemilihan presiden 2019 (perpolitikan belia).

Sejatinya, setiap keadaan dalam kehidupan tentu menuai permasalahan sebagai hukum keseimbangan sosial, terlebih dikarenakan politik di Negara majemuk. Selama mengamati tata kelola perpolitikan belakangan ini, penulis menilai adanya pseudopolitik dalam tubuh elite politik dan skeptik publik. Sebagai akibatnya adalah terjadinya likuefaksi kerukunan dan keharmonisan kehidupan masyarakat berbangsa dan bernegara, sikap intoleran bertaburan dan lebih gentingnya adalah upaya dari sekelompok masyarakat yang ingin mengganti sistem pemerintahan.
Apabila melihat kondisi bangsa pada hari ini, maka pembangunan berkelanjutan maupun tujuan Negara pada pembukaan UUD 1945 bagi Indonesia dalam kontestasi global adalah suatu keniscayaan yang utopis. Oleh sebab itu, agar tidak terpuruk pada hal-hal utopis demikian, sebaiknya kita mengupayakan untuk membangun bangsa melalui Pancasila.

Pseudopolitik dan Skeptik Publik

Istilah pseudopolitik barangkali bukanlah hal baru dalam kamus diskursus, dialog, diskusi, maupun debat dalam kehidupan. Namun bukan berarti istilah ini penulis munculkan semerta-merta tanpa sebab. Fakta berkata, bahwa belakangan ini sering muncul kegaduhan politik yang berimbas pada ekonomi, pendidikan dan sosial. Dimana ketidakjelasan seringkali kita temukan, misalnya berita yang bertebaran nyaris tidak bisa dipercaya dari media manapun. Banyaknya berita bohong (hoax), ketidakakuratan berita di media dengan fakta dilapangan, ketertutupan informasi, dan lain sebagainya. Sehinnga hal ini menjadi salah satu pemicu terkikisnya kepercayaan publik (skeptik publik) terhadap kondisi perpolitikan bangsa.

Atas dasar inilah penulis memunculkan istilah pseudopolitik, artinya adalah sebuah kondisi politik yang minus substansi dan lupa esensi, atau bisa dikatakan politik semu. Kembali pada dua contoh perpolitikan diatas, bahwa politik hubungan luar negeri Indonesia tidak dipandang sebelah mata, namun pertengkaran politik akibat pemilu menjadikan Indonesia sebagai sorotan dunia dan membuka mata lebih lebar lalu menutupnya kembali. Jelas, keadaan ini menjadi kontradiksi dalam dunia perpolitikan.

Pseudopolitik ditengah kehidupan komponen Negara memberikan dampak buruk yang signifikan pada publik, yaitu berkurangnya trust dan bersifat skeptik. Dan hal inilah pemicu terjadinya berbagai konflik di tengah masyarakat, seperti halnya pelarangan rumah ibadah, kericuhan, perselihan antar ormas, konflik antarsuku, dan sebagainya.

Dalam hal ini, penulis tidak ingin menyalahkan sesiapapun terkecuali diri penulis sebagai seorang mahasiswa dan pemuda. Mengingat pernyataan Soekarno pada Sidang Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai bahwa “...Di dalam Indonesia Merdeka kita melatih pemuda kita agar supaya menjadi kuat, di dalam Indonesia Merdeka kita menyehatkan rakyat sebaik-baiknya...”.

Pernyataan demikian mengisyaratkan bahwa peran sentral jalannya perpolitikan berada pada pengawasan pemuda sebagai upaya menyehatkan rakyat. Tentunya pemuda yang dimaksud adalah sehat secara psikis dan fisik yang karenanya mampu menyebarkan nilai-nilai dan spirit kebaikan, etika dan moral.

Akan tetapi sebahagian besar pemuda pada hari ini juga mengalami kemerosotan moral (degradasi), ketidakpedulian (apatis), dan dilema dengan dunia pragmatis serta oportunis. Untuk itu, penyehatan segala penyakit keterpurukan harus disegerakan agar supaya mumpuni membangun bangsa kedepannya.

Memahami persoalan-persoalan bangsa yang penyebabnya berbentuk kongruen, maka penyelesaiannya tidaklah terlalu rumit. Terlebih mengingat kita memiliki Pancasila sebagai way of life and nation culture, maka Pancasilalah obatnya sebagai irisan dalam diagram venn pada rumusan kemajemukan bangsa “Berbeda-beda tetapi tetap satu jua” (Bhineka Tunggal Ika).

Pancasila sebagai Obat
Berdasarkan potret realitas keadaan diatas, kesemua permasalahan ini adalah ranah praktis. Tapi pada faktanya bahwa Pancasila hanya dijadikan sebagai pelengkap negara yang bersifat teoritis oleh sebahagian komponen bangsa. Boleh diuji, jangankan untuk tahap implementasi nilai moral dan etika dalam kandungan Pancasila, paham saja tentang Pancasila sebagai dasar negara pun akan memperoleh angka persentase yang kecil, seperti halnya dialog yang penulis lakukan pada beberapa kalangan pelajar, pekerja dan penyedia lapangan pekerjaan. Sehingga ini juga menjadi PR serius bagi Badan Pembina Ideologi Pancasila (BPIP) dalam memperkuat karakter Pancasila dan menanamkan mental Pancasilais pada semua komponen bangsa.

Pun demikian tidak boleh kita pungkiri bahwa sosialisasi empat pilar kehidupan masyarakat berbangsa dan bernegaran selalu digencarkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang salah satunya adalah Pancasila. Tujuannya agar supaya menumbuhkembangkan jiwa pancasilais dan raga nasionalis. Dalam tataran praktis, Pancasila harus dijadikan sebagai etos kerja atau aturan main dalam melangsungkan segala aktivitas agar memiliki moral dan karakter yang kuat.

Pada kondisi ini, Pancasila penulis posisikan sebagai nation culture yang memiliki nilai Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan dan Keadilan Sosial. Apabila ditarik irisan dari satu kesatuan nilai diatas melalui diagram venn, maka kebaikan dan pembangunan moral dan etika adalah irisannya.

Dengan demikian, memasukkan spirit Pancasilais pada seluruh komponen bangsa merupakan obat dari pseudopolitik dan skeptik publik dalam pembangunan bangsa. Karenanya, pejabat politik dan pejabat publik harus mampu menunjukkan mental Pancasilais pada masyarakat sebagai panutan untuk mengoptimalkan penjiwaan Pancasila pada seluruh komponen bangsa.

Sebagaimana kering tandusnya kehidupan masyarakat berbangsa dan bernegara dengan sinar terik kondisi pseudopolitik dan skeptik publik, maka Pancasila menjadi oase yang sejuk lagi menyegarkan. Juga sebagai way of life yang akan menuntun arah perjalanan bangsa dengan selamat. Pun demikian dengan menanam numbuhkembangkan mental Pancasilais pada seluruh komponen bangsa merupakan upaya perwujudan tujuan Negara pada Pembukaan UUD 1945 khususnya dan pembangunan berkelanjutan dalam kontestasi global.

*Penulis adalah Ketua Umum Phoenix 2018/2019 dan Presiden Wadah Pejuang Penegak Solusi Politik 2019/2020

Editor: Tokohkita

TERKAIT


TERPOPULER