Dwi Rio Sambodo

Pancasila dan Tantangan Melawan Pemiskinan

  1. Beranda /
  2. Opini /
  3. Kamis, 2 Juni 2022 - 08:02 WIB

Pidato pada tanggal 1 Juni 1945 ini yang di kemudian hari diperingati sebagai hari lahirnya Pancasila adalah momentum strategis bangsa Indonesia menghadapi belenggu penjajahan yang sangat menindas, baik mental maupun materil.

“Kita hendak mendirikan suatu negara, semua buat semua, bukan buat satu orang, bukan buat satu golongan, baik golongan bangsawan maupun golongan yang kaya, tetapi semua buat semua, bukan hanya untuk kelompok ini atau kelompok itu, tapi sekali lagi semua buat semua”

Kutipan pernyataan tersebut mengiringi pidato Bung Karno di hadapan sidang BPUPK tanggal 1 Juni 1945. Pidato ini menghentak dunia dengan lahirnya suatu gagasan tentang dasar Indonesia merdeka, yaitu Pancasila. Pidato ini tidak saja sebagai pernyataan lahirnya sebuah organisasi politik raksasa bernama Indonesia, lebih dari itu, pidato yang meminjam istilah Buya Syafii Ma’arif sebagai masterpiece- nya bangsa Indonesia ini adalah fundamen, pikiran yang sedalam-dalamnya (philosofische grondslag), jiwa dan hasratnya bangsa Indonesia.

Pidato pada tanggal 1 Juni 1945 ini yang di kemudian hari diperingati sebagai hari lahirnya Pancasila adalah momentum strategis bangsa Indonesia menghadapi belenggu penjajahan yang sangat menindas, baik mental maupun materil. Hegemoni penjajah beratus-ratus tahun akhirnya berhasil dirumuskan anti tesisnya oleh gagasan revolusioner Bung Karno dengan Pancasilanya, yang berintisarikan tentang perjuangan pembebasan dan persatuan bagi segenap tenaga rakyat Indonesia.

Pidato ini menjadi titik balik kesadaran kolektif sebuah bangsa, dari  kesadaran sebagai bangsa yang serba salah sebagai inlander (terjajah), menjadi kesadaran sebagai sebuah bangsa yang serba benar; benar sebagai pribumi, benar sebagai pemilik sah tanah bumi pertiwi, benar akan bangsa yang pernah mengalami kejayaan, benar akan bangsa yang tidak rendah diri, benar sebagai bangsa yang mempunyai mimpi dan gagasan yang besar akan lahirnya sebuah bangsa yang sejahtera, berkeadilan dan bermartabat.

Inilah yang dinamakan Bung Karno sebagai lompatan paradigma bangsa Indonesia. Maka kemudian menurut Sang Proklamator, kemerdekaan adalah jembatan emas dimana di seberangnya akan dibangun suatu tatanan masyarakat yang adil dan makmur.

Pasang surut ideologi bangsa

Sebagai ideologi bangsa, dalam perjalanannya, Pancasila juga mengalami pasang surut. Ketika Orde Baru berkuasa selama 32 tahun sejak 1966-1998, Pancasila direduksi menjadi ideologi yang kaku dan formalistik karena dianggap hanya sebagai pedoman perilaku individu yang didefinisikan melalui butir-butir sila Ekaprasetya Pancakarsa atau yang dulu kita kenal P4. Inilah strategi hegemoni kekuasaan untuk membungkam rakyat yang kritis terhadap kebijakan pemerintah saat itu. Mereka yang mempertanyakan secara kritis kebijakan dan arah pembangunan dianggap mengganggu ketertiban umum dan tidak sesuai dengan norma-norma Pancasila serta dicap sebagai tidak Pancasilais.

Pancasila adalah pandangan hidup bangsa, yang pokoknya digali untuk mengatur dan mengarahkan negara pada tujuan dan visi besar pendiriannya. Artinya segala peraturan dan kebijakan negara harus berorientasi pada terciptanya tatanan masyarakat yang berkesejahteraan dan berkeadilan. Pancasila sebagai ideologi bernegara, ditangan rakyat haruslah menjadi acuan untuk menilai apakah negara dijalankan sudah sesuai dengan visi besar dan tujuan pendiriannya.

Ketika kedaulatan negara sudah diremehkan oleh bangsa lain, kemandiriannya di bidang ekonomi sudah tidak ada lagi dan kebudayaannya berada di lorong gelap karena pengaruh pragmatisme dan hedonisme, Pancasila harusnya menjadi acuan untuk mengevaluasi perilaku dan mengingatkan penguasa atau siapapun juga  untuk kembali kepada tujuan mulia kita berikrar bersama menjadi sebuah bangsa.

Konsepsi bernegara oleh para Pendiri Bangsa (Founding Fathers) untuk mencapai tujuannya diatur dalam sebuah sistem demokrasi ala Indonesia. Bukan demokrasi liberal yang selalu mengatasnamakan rakyat tetapi ternyata pada hakikatnya hanya menguntungkan segelintir penguasa dan para pemilik modal (besar). Demokrasi yang dimaksud dalam Pancasila tidak hanya menyangkut demokrasi politik, akan tetapi juga tentang demokrasi ekonomi yaitu kesetaraan hak dan kewajiban rakyat dalam akses ekonomi untuk tercapainya kesejahteraan bersama, sekali lagi bersama-sama, bukan seakan-akan bersama.

Dalam prakteknya sejak era Orde Baru berkuasa puluhan tahun, demokrasi ekonomi yang mandiri berdikari sesuai cita-cita Pancasila, paradoksal dengan bangunan praktek sistem ekonomi yang lebih berorientasi pada pertumbuhan dan lebih menguntungkan para segelintir pemilik modal rakus. Kebijakan privatisasi, liberalisasi, dan deregulasi ekonomi yang sudah berjalan sejak tahun 1967 dan terus berlangsung, membawa ekonomi nasional cenderung dikuasai asing hingga di atas 50 persen. Sehingga untuk mengembalikkan kepada empunya yaitu kepentingan nasional menjadi perjuangan yang tak mudah.

Bangunan dan konsepsi  ekonomi yang mengacu pada sistem ekonomi pasar tidak hanya menerjang kebijakan di level nasional, tapi ternyata sudah merasuk jauh sampai ke level pemerintah lokal di daerah-daerah. Banyak contoh kebijakan dan produk hukum pemerintah daerah yang memperlihatkan absennya untuk membela kepentingan rakyat yang luas. Pun kecondongannya, elite daerah lebih mementingkan kebutuhan keterpilihan politik atau elektoralnya meskipun harus mengedepankan program pro rakyat yang seolah-olah.

Demokrasi Ekonom

Persoalan pemerintah Pusat adalah persoalan pemerintah Daerah, pun sebaliknya. Sistem dan konsep Ekonomi Kapitalis yang sudah berjalan hampir setengah abad di negeri ini sejak Orde Baru mengawali kekuasaannya dengan menerbitkan Undang-Undang Penanaman Modal Asing (UU  PMA) 1967, tentu saja tidak mudah untuk merubahnya begitu saja, hampir semua sendi kehidupan sudah berakar urat terjangkit virus kapitalistik itu sendiri, begitu pun Pemerintah Daerah

Pasca tumbangnya rezim Orde Baru yang sentralistik dengan sistem ekonomi yang berorientasi pertumbuhan (trickle down effect) dan kemudian lahirnya Orde Reformasi dengan sistem pemerintahan yang lebih desentralisasi, dimana pemerintah daerah diberi keleluasaan mengatur ekonominya tanpa arahan bangunan sistem dan konsepsi ekonomi yang jelas dari pusat. Maka tidak heran ketika begitu banyak produk hukum dan kebijakan ekonomi di tingkat daerah bertentangan dengan prinsip dasar konstitusi (baca: Pancasila dan UUD 1945).

Jakarta sebagai pusat dari segala hiruk pikuk politik dan ekonomi negeri ini tentu menjadi entitas pemerintahan lokal yang paling tersentuh dan terimbas liberalisasi kebijakan ekonomi nasional. Persoalan yang berhubungan dengan hajat hidup warga DKI Jakarta dari masa ke masa seolah tak kunjung terurai. Munculnya harapan dengan lahirnya kepemimpinan yang pro publik pun akhirnya tidak dapat diteruskan karena harus dihadang kepentingan politik citra, politik identitas nan kental muatan subyektifitasnya.

Masih mendera persoalan akses dan kualitas pendidikan yang dialami sebagian besar masyarakat, persoalan kesehatan yang tak kunjung usai sekitaran tidak terjangkaunya biaya pengobatan yang mahal oleh si miskin, persoalan akses ekonomi yang hanya menjadi kosmetik opini belaka, persoalan agraria pertanahan yang masih terbelit lingkaran setan mafia yang menyeret banyak pihak.  Persoalan minimnya lapangan kerja yang mengakibatkan pengangguran, persoalan transportasi yang belum optimal tuntas, menjamurnya mall yang terkesan angkuh secara psikis ekonomi, matinya pasar tradisional karena tidak diurus dan dikelola secara baik.

Kemudian, jaringan minimarket yang menghimpit usaha kecil warga, persoalan banjir karena pembangunan yang tidak terpimpin, terkontinyu dan terencana secara baik, jaminan sosial yang belum menyentuh sasaran secara substantif, dan banyak sederet masalah-masalah lagi adalah daftar panjang dari masalah ibukota yang tak terselesaikan karena arah kebijakan yang tidak memiliki watak kerakyatan. Hal ini mungkin tidak hanya terjadi di Jakarta, tetapi menjadi gambaran umum pemerintah daerah lainnya.   

Negeri yang dikaruniai kelimpahan sumber daya alam yang tiada duanya di muka bumi ini dibiarkan menjadi konsumen produk-produk impor. Konsep dan sistem ekonomi yang mengacu pada konsep kapitalisme dan neoliberal yang sudah berjalan selama kurang lebih lima dekade inilah yang membuat jurang ketidakadilan dan ketimpangan kesejahteraan antara si kaya dan si miskin makin melebar yang pada akhirnya membawa kepada kebangkrutan ekonomi nasional bila terus dijalankan. 

Konsep ekonomi ini tentu saja tidak sesuai dan menyimpang dari cita-cita Pancasila dan UUD 1945 yang menghendaki kesamaan hak dan kewajiban rakyat Indonesia terhadap akses ekonomi yang mensejahterakan atau yang diistilahkan oleh para pendiri bangsa sebagai demokrasi ekonomi.

Menjadi angin segar tatkala pemerintah nasional tegas menolak ekspor sebagian besar bahan baku ke luar negeri meskipun berkonskuensi pada aspek geopolitik dan ekonomi politik. Demi rakyat dan kepentingan nasional, kebijakan populis pro rakyat ini patut berlanjut dan kita dukung. Tentang impor pun demikian, kelebihan bonus demografi sudah sepatutnya memacu produksi nasional guna memenuhi pangsa pasar dalam negeri yang melimpah ruah. Orientasi kualitatif dan kebangkitan semangat kompetitif untuk tidak menjadi obyek penghisapan harusnya menjadi keniscayaan tantangan jaman.

Satu di antara ciri demokrasi ekonomi adalah penguatan peran negara dalam mengatur perekonomian, dalam hal ini tentu bukan pada negara yang dikooptasi oleh kekuatan yang korup dan mafia ekonomi. Karena kekuatan seperti ini hanya akan menggunakan negara sebagai alat memperkaya diri sendiri maupun kelompok. Negara yang kita dukung harusnya negara yang berani dan cerdas merumuskan regulasi yang berpihak pada kepentingan rakyat yang luas.

Faktanya, dalam krisis keuangan global, hampir semua negara besar beralih pada pengembalian fungsi negara  dengan melakukan kontrol yang ketat dan cenderung protektif pada kepentingan nasionalnya. Adagium bahwa pasar memiliki mekanisme sendiri dalam menjawab persoalan publik terbukti gagal. Menjadi tanggungjawab sejarah generasi sekarang biar tidak dianggap murtad oleh para pendiri bangsa ini untuk mengembalikannya pada visi dan tujuan mulia pendiriannya yaitu membawanya pada puncak kejayaan: merdeka, bersatu berdaulat, adil dan makmur dalam Sosialisme Indonesia.

Kewajiban Reaktualisasi Pancasila

Kewajiban historis  generasi sekarang untuk mereaktualisasikan kembali Pancasila menjadi ideologi kerja yang operasional dan mampu rnembuktikan secara nyata serta konkret akan tujuan dan visi mulianya, yaitu, sebagai teori perjuangan yang mampu memerdekakan dan membebaskan rakyat dari kemiskinan dan pemiskinan struktural, yang terbukti dalam sejarah sebagai alat perjuangan yang menolak keras berbagai bentuk penjajahan diatas muka bumi ini.

Kondisi global dan dalam negeri akhir-akhir ini didominasi oleh isu terorisme dan ketimpangan kesejahteraan. Fenomena gerakan terorisme yang selalu mengatasnamakan agama harusnya dapat dijernihkan pemaknaannya sebagai dampak ketidakadilan global, termasuk isu terorisme digunakan sebagai kuda tunggangan kekuatan global dalam rangka mengamankan  ekonomi politiknya.  Kondisi ini seolah menemukan momentum bagi revitalisasi dan reaktualisasi nilai Pancasila.

Semoga anak bangsa ini mengambil peran historis untuk membawa bangsa Indonesia  kepada puncak kejayaannya dan kembali menjadi tokoh utama dalam tatanan dunia baru yang berkeadilan. Sekali lagi, Pancasila yang bukan hanya dijadikan dogma belaka, namun sebagai bintang penuntun yang nyata terasa bagi perjuangan hadirnya kesejahteraan rakyat yang berkeadilan dengan semangat persatuan. 

 

* Penulis adalah Ketua DPC PDI Perjuangan Jakarta Timur dan Sekretaris Fraksi PDI Perjuangan DPRD DKI Jakarta

Editor: Tokohkita

TERKAIT


TERPOPULER