Rokhmin Dahuri
Cegah Ekspor Ilegal Benih Lobster, Ini yang Harus Dilakukan
Kebijakan stop ekspor BBL hanya akan berhasil, KKP, Ditjen Bea dan Cukai, Polri, TNI, dan aparat penegak hukum lainnya solid, kerja cerdas, keras dan ikhlas untuk tidak memberi celah sedikitpun bagi para penyelundup ekspor BBL.
TOKOHKITA. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Provinsi Lampung menggelar focus group discussion (FGD) “Pengembangan Pesisir Lampung Sebagai Sentra Lobster“ di Kabupaten Tanggamus di meeting room Hotel Royal 21 Gisting, Lampung, Rabu (22/11/2023).
Turut hadir dalam acara tersebut Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan-IPB University, Prof. Dr. Ir. Rokhim dahuri, MS, selaku narasumber, sekretaris dan pejabat Bappeda Provinsi Lampung, para kepala perangkat daerah Kabupaten Tanggamus, kepala Politeknik Perikanan Kota Agung, Ketua HNSI Kabupaten Tanggamus, Ketua Komunitas Maritim Indonesia (Kommari) Kabupaten Tanggamus, dan pelaku usaha pengumpul lobster serta nelayan tangkap.
Dalam pemaparannya, Rokhmin menyoal kebijakan setop total ekspor benih bening lobster (BBL) gagal. Menurutnya, harga jual BBL ekspor jauh lebih mahal yakni 5-10 kali lipat dari pada harga jual kepada pembudidaya di dalam negeri. "Akibatnya, kebijakan larangan penangkapan BBL baik untuk ekspor maupun budidaya (Permen KP No. 56/2016) telah mengakibatkan marak dan masifnya ekspor BBL ilegal, yang merugikan negara triliunan rupiah per tahun," sebut Ketua Umum Masyarakat Akuakultur Indonesia itu
Adapun harga jual BBL untuk ekspor ke Vietnam jauh lebih tinggi ketimbang harga jual kepada pembudidaya BBL di dalam negeri, karena kapasitas pembudidaya Vietnam lebih baik, dengan survival rate 70% (dari BBL sampai lobster ukuran konsumsi, sekitar 300 gram/ekor). "Dari pada pembudidaya Indonesia, survival rate-nya kurang dari 30%," ungkap Penasehat Menteri KKP ini.
Oleh sebab itu, kebijakan stop ekspor BBL hanya akan berhasil, KKP, Ditjen Bea dan Cukai, Polri, TNI, dan aparat penegak hukum lainnya solid, kerja cerdas, keras dan ikhlas untuk tidak memberi celah sedikitpun bagi para penyelundup ekspor BBL.
Selain itu pemerintah harus secepat mungkin atau paling lambat tiga tahun meningkakan kapasitas (survival rate) pembudidaya lobster Indonesia. "Sehingga sama dengan kapasitas pembudidaya lobster di Vietnam. Artinya, harga jual BBL dalam negeri sama dengan harga ekspor," jelas Rokhmin.
Sememtara itu, pengelolaan sumber daya lobster berkelanjutan, disarankan untuk menjaga agar ekosistem perairan laut yang menjadi habitat (tempat) seluruh siklus hidupnya tetap sehat, tehidar dari pencemaran, dan jenis-jenis perusakan lingkungan lainnya.
Selain itu, restocking dan penangkapan BBL dan lobster ukuran konsumsi secara bertanggung jawab dan berkelanjutan (sustainable). "Ekspor BBL secara ketat, terkendali serta terbatas perlu diperhatikan, adapula pengembangan ekosistem Integrated Supply Chain Management System (ISCMS) Provinsi Lampung sangat diperlukan.
Rokhmin juga memberikan penjelasan bahwa dua jenis lobster (Mutiara dan Pasir) bisa ditangkap dan diekspor untuk budidaya berkelanjutan. Di Provinsi Lampung ada beberapa daerah yang bisa menjadi tempat budidaya dan ekspor BBL, diantaranya Pesisir Barat dan Tanggamus.
Sementara kendala dan permasalahannya, menurut Ketua Dewan Pakar MPN (Masyarakat Perikanan Nusantara), yaitu: Pertama, Kesulitan mendapatkan BBL akibat belum ada HATCHERY, ekspor ilegal BBL, dan lemahnya sistem logistik.
Kedua, Terbatasnya ketersediaan pakan untuk budidaya lobster (kekerangan dan ikan rucah segar). Indonesia belum memiliki sentra penghasil kekerangan, dan ketersediaan ikan rucah pun bersifat musiman. Ketiga, Wabah penyakit. Keempat, keterbatasan SARPRAS budidaya lobster. Kelima, Kapasitas teknologi budidaya dan kualitas SDM masih relatif rendah. Keenam, Kebijakan pemerintah yang belum kondusif, dan sering berubah.
Editor: Tokohkita