Konferda I PA GMNI Sumbar

Rokhmin Dahuri Beberkan Penyebab Kaum Nasionalis Dianggap Tak Ramah di Tanah Minang

  1. Beranda /
  2. Kabar /
  3. Nasional /
  4. Senin, 25 Juli 2022 - 15:54 WIB

pengerahan kekuatan militer untuk menumpas pemberontakan PRRI menjadi awal perpecahaan yang menimbulkan luka dan trauma mendalam bagi masyarakat Sumbar kepada Soekarno, selain reaksi atas beberapa tokoh besar asal Minangkabau yang disingkirkan oleh Pemerintahan Soekarno dengan berbagai cara.

TOKOHKITA. Sebelum meletus pemberontkanan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI), hubungan masyarakat Minang dengan Presiden Soekarno sangat erat, seperti bersama Mohammad Hatta memimpin Indonesia, dan bekerja sama dengan pahlawan nasional asal Minang lainnya dalam sejarah perjuangan Indonesia.

Demikian diungkapkan Ketua DPP PDI Perjuangan Bidang Kelautan dan Perikanan, Prof Dr Ir Rokhmin Dahuri MS, pada Konferda I Persatuan Alumni (PA) Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Provinsi Sumatra Barat  bertema “Gerakan Nasionalis di Sumatera Barat”, di Padang, akhir pekan lalu.

Menurut dia, pengerahan kekuatan militer untuk menumpas pemberontakan PRRI menjadi awal perpecahaan yang menimbulkan luka dan trauma mendalam bagi masyarakat Sumbar kepada Soekarno, selain reaksi atas beberapa tokoh besar asal Minangkabau yang disingkirkan oleh Pemerintahan Soekarno dengan berbagai cara.

Pada saat kepemimpinan Soeharto pun cenderung kurang mendukung pergerakan Islam, padahal di tanah  minangkabau di era tersebut masih didominasi oleh gerakan Islam dan program DeSukarnoisasi. Tak pelak, membuat aliran politik nasionalisme cenderung kurang disukai oleh masyarakat Minangkabau.

Sejarah tersebut menjadi catatan tersendiri dan sampai saat ini masih memberikan dampak terhadap dinamika politik di Sumatra Barat. Dis amping itu, menjadi collective memory bagi masyarakat Sumbar (Minang), yang mana melihat Bung Karno tidak ramah terhadap Islam, Umat Islam, dan masyarakat Minang.

"Pada umumnya nasionalis di Sumbar dipandang kurang ramah terhadap syariat Islam. Mayoritas orang Minang, baik yang tinggal di Sumbar maupun diaspora berpendapat PDI-Perjuangan kurang ramah terhadap Islam, Umat Islam, dan masyarakat Minang,” jelas Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan-IPB University ini..

Dalam kesempatan itu, Rokhmin memaparkan, nasionalis adalah orang (warga negara) Indonesia yang mencintai negara-bangsa Indonesia (NKRI) dengan cara mempertahankan Pancasila sebagai Dasar Negara dan mengimplementasikan nilai-nilainya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Selanjutnya, seorang nasionalis memiliki toleransi yang tinggi terhadap keberagaman suku, agama, dan lainnya demi keharmonisan, kedamaian, persatuan, dan kesatuan bangsa, dan berkontribusi secara maksimal dan bersinergi dengan komponen bangsa lainnya dalam mewujudkan cita-cita Kemerdekaan – RI, yakni Indonesia yang maju, adil-makmur, dan berdaulat (Indonesia Emas) paling lambat pada 2045.

Pergerakan nasionalis di masa penjajahan seluruh kaum Nasionalis bahu-membahu, bekerjasama secara sinergis dengan komponen bangsa lainnya untuk mengusir penjajah dari Bumi Pertiwi, dan memerdekaan NKRI. Sedangkan pada pasca merdeka setiap nasionalis mengeluarkan kemampuan terbaiknya dan bersinergi dengan komponen bangsa lainnya untuk mewujudkan Indonesia Emas (Raya) paling lambat pada 2045.

Beberapa gerakan perlawanan bangsa Indonesia yang cukup besar terhadap kolonial Belanda: Perang Paderi (1821-1837) di Minangkabau, Perang Diponegoro (1825-1830) di Jawa Tengah, dan Perang Aceh (1872- 1912). Ketiga perang ini berakhir dengan kekalahan masyarakat Indonesia. Perang tersebut belum dilandasi semangat nasionalisme dan kesadaran akan kesatuan bangsa, tetapi hanya perlawanan berdasarkan semangat primodial dan kesukuan.

“Ketiadaan semangat nasionalisme bisa jadi menjadi penyebab utama kekalahan masyarakat Indonesia dalam peperangan tersebut,” sebut Dewan Pakar Ikatan Cendikiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) Pusat ini.

Atas dasar itu, Rokhmin menyampaikan, strategi peningkatan peran nasionalis dan elektoral PDI-P Di Sumbar, yakni: memberikan literasi dan edukasi masyarakat Sumbar tentang kebajikan dan maslahatnNasionalisme untuk keharmonisan, kedamaian, persatuan, dan kesatuan bangsa.

Kemudian, sosialisasi dan advokasi untuk pelurusan sejarah tentang stigma negatip Presiden Soekarno terhadap masyarakat Sumbar; Perilaku keseharian Kaum Nasionalis-Muslim Sumbar seyogyanya bersendikan Syarak dan Kitabullah (Islam) yang tidak bertentangan dengan Pancasila.

Seluruh nasionalis Sumbar, baik di jajaran pemerintahan, lembaga legislatif, lembaga yudikatif, BUMN, swasta, LSM, dan lembaga lainnya hendaknya berupaya untuk mengembangkan lapangan usaha ekonomi yang dapat mensejahterakan seluruh rakyat Sumbar secara adil dan berkelanjutan (sustainable).

“Nasionalis –Muslim Minang (GMNI dan alumninya) mesti lebih aktif dan inovatif mensosialisasikan bahwa Nasionalisme sejalan dengan Islam,” tandasnya.

Editor: Tokohkita

TERKAIT


TERPOPULER