Rokhmin Dahuri
Membangun Indonesia dari Pinggiran Lewat Pengembangan Ekonomi Biru
green economy atawa ekonomi hijau adalah ekonomi yang dibangun dan digerakkan oleh aktivitas manusia (produksi, transportasi, distribusi, dan konsumsi) yang mengemisikan sedikit CO2 (low carbon), menggunakan SDA secara efisien (resource efficient), dan secara sosial hasilnya dapat dinikmati oleh umat manusia secara adil (socially inclusive)
TOKOHKITA. Ketua Dewan Pakar Asosiasi Pemerintah Daerah Kepulauan dan Pesisir Seluruh Indonesia (Aspeksindo) Rokhmin Dahuri memaparkan peta jalan pembangunan berbasis ekonomi biru dan inovasi menuju daerah kabupaten dan kota di wilayah pesisir yang maju, sejahtera, dan mandiri.
Hal tersebut disampaikan pada acara Munas dan Peringatan HUT ke-4 Aspeksindo, yang bertajuk “Membangun Indonesia dari Pinggiran, Arah Investasi Berbasis Inovasi dan Teknologi ke Arah Ekonomi Hijau dan Ekonomi Biru secara daring, Kamis (26/8/2021).
Menurut Rokhmin, green economy atawa ekonomi hijau adalah ekonomi yang dibangun dan digerakkan oleh aktivitas manusia (produksi, transportasi, distribusi, dan konsumsi) yang mengemisikan sedikit CO2 (low carbon), menggunakan SDA secara efisien (resource efficient), dan secara sosial hasilnya dapat dinikmati oleh umat manusia secara adil (socially inclusive). "Sedangkan blue economy atau ekonomi biru adalah aplikasi ekonomi hijau di sektor-sektor ekonomi kelautan," kata Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan-IPB University ini.
Kenapa sektor blue economy sangat strategis untuk dikembangkan di Indonesia, Rohkmin bilang karena potensinya sangat besar. Lihat saja, total potensi sebelas sektor blue economy Indonesia mencapai US$ 1,348 triliun per tahun atau lima kali lipat APBN 2019 (Rp 2.400 triliun = US$ 190 miliar) atau 1,3 PDB Nasional saat ini. Jika potensi ini dimanfaatkan maka mampu menyetap lapangan kerja sebanyak 45 juta orang atau 40% total angkatan kerja Indonesia. Pada tahun 2018 saja kontribusi ekonomi kelautan bagi PDB Indonesia sekitar 10,4%.
Artinya, potensi pengembangannya masih sangat besar. "Negara-negara lain dengan potensi kelautan lebih kecil seperti Thailand, Korsel, Jepang, Maldives, Norwegia, dan Islandia, kontribusinya sekitar 30%," sebut Penasehat Menteri Kelautan dan Perikanan-RI 2020 -2024. Namun, dari 11 sektor ekonomi kelautan tersebut, setidaknya empat sektor yang perlu dioptimalkan yakni, perikanan tangkap, perikanan budidaya, industri pengolahan hasil perikanan, dan industri bioteknologi kelautan.
Lebih lanjut, Rokhmin menjabarkan contoh betapa hebatnya raksasanya potensi ekonomi daribudidaya udang Vanammei. Potensi lahan pesisir yang cocok untuk budidaya udang Vanammei sekitar 3 juta hektare (ha). Jika dalam lima tahun dikembangkan 0,5 juta ha (17%) untuk budiaya intensif Udang Vanammei dengan padat tebar 60 PL (benur)/m2, produktivitas sekitar 40 ton/ha/tahun.
Hitungannya, produksinya adalah 500.000 ha x 40 ton/ha/tahun maka akan menghasilkan panen udang sebanya 20 juta ton/tahun. Atau setara 20 miliar kg/tahun. Dengan demikian, pendapatan kotor yang dihasilkan adalah 20 miliar kg/tahun x US$ 5/kg = US$ 100 miliar/tahun yakni senilai Rp 1.350 triliun/tahun (50% APBN 2018) atau 10% pertumbuhan.
Editor: Tokohkita