Ketua Yayasan Perspektif Baru Hayat Mansur

Pajak Karbon Dukung Pertumbuhan Energi Terbarukan

  1. Beranda /
  2. Kabar /
  3. LINGKUNGAN /
  4. Selasa, 27 Juli 2021 - 10:39 WIB

Ketua Yayasan Perspektif Baru Hayat Mansur/Istimewa
Ketua Yayasan Perspektif Baru Hayat Mansur
Foto: Istimewa

Tujuan utama pajak karbon adalah untuk meredam emisi secara nasional. Namun upaya tersebut perlu kebijakan pendukung lainnya. Salah satunya, pengenaan pajak karbon harus kebijakan insentif yang mendorong peralihan ke energi terbarukan yang ramah lingkungan.

TOKOHKITA. Kebijakan pajak emisi karbon dapat meningkatkan pertumbuhan energi terbarukan karena bisa menjadi daya tarik dalam pengembangan energi terbarukan. Namun hal itu harus didukung juga dengan adanya reward atau kebijakan insentif yang mendorong peralihan ke energi terbarukan. Pemerintah berencana menerapkan pajak karbon mulai tahun depan  Kebijakan ini sebagai salah satu upaya pemerintah untuk mengurangi emisi karbon.

Nantinya, produsen listrik berbasis energi fosil seperti Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) dan Pembangkit Listrik Tenaga Gas (PLTG) akan ikut terkena pajak karbon ini. Ketua Yayasan Perspektif Baru Hayat Mansur menilai, kebijakan pemerintah yang akan menghadirkan pajak emisi karbon memperbesar harapan energi terbarukan dapat berkembang lebih cepat dan kompetitif dengan energi fosil. 

Yang terang, tujuan utama pajak karbon adalah untuk meredam emisi secara nasional. Namun upaya tersebut perlu kebijakan pendukung lainnya. Salah satunya, pengenaan pajak karbon harus kebijakan insentif yang mendorong peralihan ke energi terbarukan yang ramah lingkungan. Hal ini bisa dilakukan dengan menggunakan dana dari pajak karbon untuk membiayai insentif tersebut.

Artinya, perusahaan tidak hanya menerima hukuman (punishment) jika menghasilkan emisi karbon, tetapi juga didorong dengan adanya insentif (reward) yang bisa didapat jika beralih ke teknologi ramah lingkungan. “Selain itu, pemerintah juga harus berkomunikasi dengan semua pihak sehubungan kesiapan dan konsekuensi yang bakal dihadapi terkait dengan kebijakan ini,” kata Hayat di Jakarta, Selasa (27/7/2021).

Dengan demikian, Hayat menegaskan, dalam kebijakan tersebut tidak bisa mengandalkan otoritas pajak saja, melainkan juga harus melibatkan kolaborasi berbagai instansi dan publik agar tujuan pengurangan emisi karbon tercapai dengan beralih ke energi bersih. Apalagi. dari sisi ketersediaan energi bersih, Indonesia termasuk negara paling kaya sumber energi terbarukan dengan memiliki potensi energi terbarukan besar mencapai 442,4 GW. Salah satu yang terbesar adalah dari energi air mencapai 75 GW (75.000 MW). 

"Pemanfaatan air sebagai energi listrik di Indonesia juga bisa mencapai kapasitas besar dan mampu mengurangi emisi karbon sangat signifikan. Misalnya, PLTA Batang Toru berkapasitas 510 MW di Tapanuli Selatan, Sumatera Utara diatur untuk berkontribusi pada pengurangan emisi karbon sekitar 1,6 juta ton per tahun atau setara dengan kemampuan 12 juta pohon menyerap karbon," terang dia.

Atas dasar itu, pemanfaatan energi terbarukan seperti PLTA sangat penting untuk upaya mitigasi perubahan iklim yang kini makin menjadi kenyataan, seperti peningkatan curah hujan,  banjir, dan kekeringan berkepanjangan. Pada akhirnya, perubahan iklim dapat mengakibatkan kemusnahan semua spesies dan kehidupan di muka bumi. Berdasarkan Persetujuan Paris pada 2015, semua negara harus menurunkan emisi karbonnya termasuk di sektor energi untuk menjaga menjaga ambang batas suhu bumi di bawah dua derajat Celcius dan berupaya menekan hingga 1,5 derajat Celcius di atas suhu bumi pada masa pra-industri.

Menurut Hayat, Indonesia berkomitmen untuk mengurangi emisi karbon sebanyak 29?ngan usaha sendiri pada 2030, dan bisa mencapai 41% jika ada dukungan internasional. Salah satu instrumen untuk mengendalikan emisi gas rumah kaca adalah perlu adanya  ketentuan mengenai pengenaan pajak karbon. "Pajak karbon juga untuk sumber pendanaan upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim," ujarnya.

Catatan saja, pajak karbon pertama kali diterapkan di Finlandia pada 1990. Kemudian diikuti negara-negara Skandinavia lainnya, seperti Swedia dan Norwegia pada 1991. Selain itu, negara-negara lainnya juga ikut menerapkan kebijakan pajak karbon, yakni Jepang (2012), Inggris (2013), dan Tiongkok (2017). Di wilayah Asia Tenggara, Singapura menjadi negara pertama yang menerapkannya pada 2019. 

Editor: Tokohkita

TERKAIT


TERPOPULER