Rokhmin Dahuri
Memperjuangkan Hak dan Kesejahteraan Nelayan dalam RUU Cipta Kerja
Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan-IPB Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri, MS mengatakan ada dua pihak yang berbeda pandangan dalam menyikapi muatan dalam RUU Cipta Kerja di sektor kelautan dan perikanan. Argumentasi pemerintah dan pihak yang pro terhadap penyusunan RUU Cipta Kerja di sektor kelautan dan perikanan. Di sisi lain ada yang kontrak terhadap rancangan aturan anyar ini lantaran dianggap bisa mengancam kepentingan nelayan dan kelestarian laut.
TOKOHKITA. Salah satu substansi yang masuk dalam RUU Cipta Kerja yakni sektor kelautan dan perikanan. Di dalam RUU Cipta Kerja ada sejumlah hal yang bakal diatur dari mulai perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan serta penegakan hukum dan perizinan plus investasi.
Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan-IPB Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri, MS mengatakan ada dua pihak yang berbeda pandangan dalam menyikapi muatan dalam RUU Cipta Kerja di sektor kelautan dan perikanan. Argumentasi pemerintah dan pihak yang pro terhadap penyusunan RUU Cipta Kerja di sektor kelautan dan perikanan. Di sisi lain ada yang kontrak terhadap rancangan aturan anyar ini lantaran dianggap bisa mengancam kepentingan nelayan dan kelestarian laut.
"Argumentasi pemerintah dan pihak yang pro karena menilai RUU Cipta Kerja di sektor kelautan dan perikanan dapat memperbaiki iklim investasi dan ease of doing business, sehingga akan meningkatkan dya saing, produktivitas, investasi, ekspor, dan pertumbuhan ekonomi untuk mewujudkan Indonesia maju, adil-makmur, dan berdaulat pada 2045," katanya saat menjadi narasumber dalam diskusi virtual bertajuk RUU Citpa Kerja dan Nasib Nelayan yang digelar PP Muhammadiyah, Sabtu (10/9/2020).
Menurut Rohkmin, pihak yang mendukung penyusunan RUU Cipta Kerja memandang dalam sejumlah ketentuannya bisa membuka penciptaan lapangan kerja baru yang sangat dibutuhkan oleh masyrakar. Dengan demikian akan tercipta peningkatan kesejahteraan rakyat, termasuk buruh, petani, dan nelayan.
Adapun pihak yang kontra melihat RUU Cipta Kerja di sektor kelautan dan perikanan melihat sebaliknya, yakni hak dan kesejahteraan buruh, petani, dan nelayan akan semakin tergerus. "Kerusakan lingkungan akan semakin meluas dan masif, membanjirnya tenaga kerja asing dan ancaman terhadap kedaulatan bangsa," ungkap Koordinator Penasehat Menteri Kelautan dan Perikanan 2020-2024.
Yang terang, RUU Cipta Kerja sektor kelautan dan perikanan beberapa ketentuan dalam UU Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan sebagaimana diubah terakhir dengan UU Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, UU Nomor 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam, UU Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan, UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sebagaimana diubah dengan UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Rokhmin menyebutkan, revisi dilakukan untuk memberikan kemudahan bagi masyarakat terutama pelaku usaha dalam mendapatkan perizinan berusaha dan kemudahan persyaratan investasi di sektor kelautan dan perikanan. Sementara beberapa perubahan yang mendasar pada RUU Cipta Kerja sektor KP pertama, soal definisi nelayan kecil, tidak lagi menyertakan ukuran kapal seperti pada UU No. 45/2009 yang menggunakan ukuran kapal dibawah 5 gross ton (GT) dan UU No. 7/2016 ukuran kapal dibawah 10 GT.
Kedua, soal kewenangan pengaturan perizinan berusaha, penetapan standar mutu hasil perikanan, persyaratan administrasi dan kelayakan teknis kapal perikanan, perubahan status zona inti kawasan konservasi nasional, sanksi administratif, serta impor komoditas perikanan dan komoditas pergaraman, tidak lagi ditangani langsung oleh menteri, namun dialihkan kepada pemerintah pusat (presiden) melalui peraturan pemerintah.
Ketiga, soal perizinan usaha perikanan, jika sebelumnya terdapat tiga izin yakni Surat Izin Usaha Perikanan (SIUP), Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI), dan Surat Izin Kapal Pengangkut Ikan (SIKPI), kini disimplifikasi menjadi satu izin saja, yaitu izin berusaha dari Pemerintah Pusat.
Keempat, pengaturan perencanaan WP3K, peninjauan kembali dapat dilakukan lebih dari 1 kali dalam 5 tahun apabila terjadi bencana alam, perubahan batas wilayah, dan perubahan kebijakan nasional yang bersifat strategis. Selain itu, pemerintah pusat berwenang memberi izin meski belum/tidak ada dalam rencana zonasi yang ditetapkan Pemerintah Daerah apabila terdapat kebijakan nasional yang bersifat strategis.
Kelima, ketentuan sanksi pada penanganan dan pengolahan ikan yang tidak memenuhi persyaratan serta pengoperasian kapal perikanan yang tidak membawa dokumen perizinan, tidak lagi menyertakan sanksi denda dan pidana, namun hanya berupa sanksi administrasi.
Terlepas dari pro dan kontra penyusunan RUU Cipta Kerja, Rohmin berharap para pemangku kepentingan bisa menempatkan nelayan Indonesia menjadi tuan rumah di wilayah perairan NKRI, yakni pemanfaatan sumber daya ikan di wilayah perairan mesti oleh nelayan dan kapal ikan Indonesia.
"Karena, saat ini harga kapal ikan modern buatan luar negeri lebih murah dari pada buatan dalam negeri. Maka, untuk sementara, nelayan (pengusaha) Indonesia diizinkan membeli kapal ikan modern dari luar negeri, sembari secara simultan Indonesia meningkatkan kapasitas galangan kapalnya. Selanjutnya, penggunaan kapal ikan dan alat tangkap ikan modern jangan dilarang, tetapi diatur dan dikendalikan," jelas Ketua Umum Masyarakat Akuakultur Indonesia ini
Kebijakan tersebut penting lantaran faktanya di lapangan konsisi nelayan di Indonesia masih memperhatikan. Rokhmin pun memaparkan masih ada sekitar 40% nelayan yang masih hidup dibawah garis kemiskinan dengan pendapatan < US>
Umumnya, tidak dilengkapi dengan fish finder, yakni aplikasi untuk menditeksi lokasi ikan atau fishing ground, sehingga produktivitas hasil tangkapan rendah yang akhirnya berpengaruh pada pendapatan kotor dari nelayan tradisional inu yang masih rendah," bebernya. "Produktivitas tangkapan yang rendah karena sebagian nelayan laut Indonesia menggunakan alat penangkap ikan dari jenis pancing (39%) dan jaring insang (30%)," sebut Rokhmin.
Tak cuma itu, kebanyakan nelayan kita belum melakukan best handling practices terhadap ikan hasil tangkapannya. Alhasil, ikan hasil tangkapan nelayan pada saat sampai di pelabuhan perikanan (tempat pendaratan ikan) kualitasnya kurang bagus. Ini yang menyebabkan harga jual ikan menjadi murah. Sementara itu, sebagian besar pelabuhan perikanan (PPN, PPP, dan TPI) hanya sebagai tempat tambat-labuh kapal ikan.
"Pelabuhan yang ada tidak dilengkapi dengan industri hulu dan industri hilirnya, dan kurang memenuhi persyaratan sanitasi dan higienis. Akibatnya, fungsi sebagai penyedia sarana produksi dan pembelian (market) ikan dari nelayan tidak berjalan dengan optimal, yang ujungnya harga jual ikan nelayan sangat fluktuatif dan rendah," jelas Ketua Dewan Pakar MPN (Masyarakat Perikanan Nusantara) ini.
Mirisnya, posisi nelayan dalam sistem tata niaga atau bisnis sangat tidak diuntungkan. Pasalnya, ketika nelayan membeli sarana produksi (alat tangkap, BBM, beras dan perbekalan melaut lainnya), harganya jauh lebih tinggi ketimbang harga pabrik dari sarana produksi tersebut. Sebaliknya, pada saat mereka menjual ikan hasil tangkapannya, harganya jauh lebih rendah dari pada harga ikan yang sama di tangan konsumen (pasar) terakhir.
"Penghasilan nelayan terganggu, karena cuaca buruk atau paceklik ikan. Sekitar empat bulan nelayan tidak melaut, mereka menganggur, tidak ada mata pencahariaan alternatif. Akibatnya, mereka terjerat utang dengan bunga sangat tinggi kepada rentenir," urai Rokhmin.
Editor: Tokohkita