Rusdianto Samawa

Industri Kelautan dan Perikanan Hancur Lebur

  1. Beranda /
  2. Opini /
  3. Minggu, 11 Agustus 2019 - 20:32 WIB

Rusdianto Samawa/Istimewa
Rusdianto Samawa
Foto: Istimewa

Kesimpulan yang bisa diambil dari tulisan ini adalah: Industri Maritim: Kelautan dan Perikanan Hancur Lebur. Apa saja industrinya yakni industri pengolahan ikan, industri galangan kapal, industri lobster, industri alat tangkap, industri akuakultur, industri manufaktur perikanan, dan industri lainnya di bidang kelautan dan perikanan hancur.

Judul di atas respon Menteri KKP atas kritik Prof. Rokhmin Dahuri. Rupanya Menteri KKP belum bisa menerima kritikan, masukan dan saran. Sejak awal pemerintahan Jokowi - JK, Menteri KKP selalu tampil monoton dan kaku dalam pengambilan kebijakan. Terutama kalau di Dunia twitterland tindakannya selalu berujung pemblokiran karena tak bisa menerima kritik.

Beberapa orang yang mengalami pemblokiran twiternya, seperti Akun @Chalistarano, @AffanArfandia, @FaezalAssegaf dan banyak lagi akun-akun nelayan lainnya yang mengalami pemblokiran, kalau dihitung ada puluhan diblokir. Menurut para psikolog, orang yang menutup diri atas evaluasi terhadap dirinya sendiri dengan membenarkan tindakan seolah sudah benar, maka orang itu komunikasinya searah dan tindakannya cenderung refresif.

Sesuai dengan pendapat para psikolog, tentu tindakan pemblokiran atas twiter para pengamat, aktivis nelayan dan para ahli perikanan kelautan merupakan tidak menutup diri dari rasa tak percaya diri. Ya, tindakan Menteri sebagai pejabat publik seperti ini tentu mengurangi nilai-nilai dialog, apresiasi, dan demokrasi. Masak ingin dipuji terus. Menteri itu pejabat publik yang dipercaya Presiden untuk menyelsaikan amanat rakyat.

Kritik Prof. Rokhmin Dahuri atas kebijakan Menteri KKP selama kurang lebih lima tahun ini telah membuat: "Industri Perikanan Hancur Lebur." Ya, sangat objektif dan memenuhi unsur ilmiah dalam kritiknya. Karena lontaran kritik Rokhmin Dahuri soal kebijakan, bukan masalah pribadi. Namun, Menteri KKP selalu menyerang identitas pribadi para pengkritiknya, bahkan saya sendiri mengalami kriminalisasi hingga saat ini.

Masalah hukum sudah dua tahun lebih, saya sendiri menyatakan banding. Tapi bagi saya, perjuangan nelayan: tangkap dan budidaya yang paling penting. Apapun gelombang hidup ini, hadapi saja. Karakter monoton dan gaya komunikasi Menteri KKP seperti ini tak akan menyelsaikan masalah dan akan menambah khasanah ketidaksukaan terhadap para pengkritiknya.

Ya, bukti monoton itu sangat nyata sekali. Metode dan cara menteri Kelautan dan Perikanan menanggapi pernyataan tentang keterpurukan perekonomian nasional yang salah satunya disebabkan oleh sektor kelautan dan perikanan yang dipimpinnya dalam lima tahun terakhir. Secara fakta itu benar. Silahkan lihat Industri dan manufacturing perikanan collapse alias hancur.

Walaupun dalam klarifikasinya ada benarnya, menyatakan bukan karena kinerja sektor kelautan dan perikanan yang buruk, melainkan karena industri perikanan illegal alias tidak dilaporkan dalam kegiatan ekonomi. Kondisi itu sudah berlangsung sejak lama hingga sekarang. Kami mendukung menertibkan Industri Perikanan yang tidak bayar pajak. Apakah tak bisa menertibkan sistem pajaknya saja dengan menggunakan lembaga penagih pajak?. Kan bisa. Tinggal dikomunikasikan dan dibicarakan dengan menteri keuangan. Tetapi tak pantas Menteri KKP juga ikut mematikan usaha nelayan yang ada dibawah korporasi tersebut. Misalnya di Prov. Bali, nelayan Long Line penangkap Tuna sekitar 10ribu beroperasi tahun 2014 - 2015 terpaksa tersendat -sendat.

Nelayan di Provinsi Bali hadapi tiga bentuk ancamannya, yakni: Pertama, Pembekuan struktur industri perikanan: melalui instrumen evaluasi dan monitoring pajak melalui auditor professional. Sehingga dapat diketahui bahwa Industri perikanan tersebut tidak bayar pajak. Maka seharusnya hanya soal pajak yang dicarikan solusinya. Nelayan tetap melaut.

Kedua: Pelarangan melalui Peraturan Menteri No. 56 Tahun 2016, Peraturan Menteri No. 01 Tahun 2015, Peraturan Menteri No. 71 tahun 2016. Semua peraturan ini membuat nelayan tak bisa apa-apa. Seharusnya kita mengetahui definisi, pengertian dan perbedaan antara Industri Perikanan dengan nelayan itu sendiri.

Perbedaannya: Industri perikanan merupakan struktur kapitalis yang berdiaspora melalui institusi perikanan yang kegiatannya jual beli, produksi, dan menyiapkan pekerja. Sementara nelayan berada pada posisi mencari dan berusaha dilaut secara bebas. Nelayan sudah tentu di dalamnya ada perbedaan jenis, warna, alat, dan sebagainya.

Artinya struktur antara Industri perikanan dengan nelayan ada prinsip kerja, hak, koordinasi dan garis putus. Secara prinsip: Pertama, nelayan butuh kerja untuk hidup dengan menyiapkan bahan baku industri yang diperlukan. Kedua, nelayan dapatkan hak dari hasil kerjanya. Ketiga, nelayan bisa jadi ada dibawah koordinasi korporasi Industri sehingga banyak industri pekerjakan nelayan kecil dengan skema: kapal disiapkan disertai alat tangkapnya.

Mengapa perlu dijelaskan perbedaan nelayan dengan industri perikanan?. Karena Menteri KKP selalu menghubung-hubungkan bahwa industri perikanan yang dihancurkannya adalah industri pencuri ikan. Kalimat dan diksi pencuri ikan ini merupakan upaya pelemahan terhadap spirit nelayan yang sedang menghadapi banyak masalah. Terutama akibat pelarangan alat tangkap yang selama ini menjadi sumber perlawanan nelayan terhadap pemerintahan.

Maka, nelayan secara organisatoris maupun personal mengusulkan kepada Presiden Indonesia Joko Widodo, sebaiknya mencari Menteri KKP sesuai dengan keilmuan, keahlian, leadershipnya rata-rata ditingkat kematangan dan rasional sehingga program Presiden "Poros Maritim Jilid II" dapat terlaksana dan terkomunikasi dengan baik.

Saat ini, nelayan butuh figur menteri yang lebih tepat untuk mengurai masalah sehingga nelayan, buruh nelayan, pekerja kapal dan pengusaha mendapat angin segar dan kehidupan baru bagi nelayan tangkap dan budidaya, terutama bagi Industri perikanan bisa bangkit kembali dari kuburnya.

 

Riset: Perikanan dan Kelautan Hancur

Pada tahun 2017 industri perikanan Bitung terkubur dalam hitungan bulan setelah hantaman Tsunami dan gelombang besar sehingga sekitar 12ribu pekerja Industri Perikanan di Bitung mengalami PHK masal dan dirumahkan. Penyebabnya, ada hantaman gelombang tsunami PHK, industri perikanan hancur dan nelayan mengalami tekanan hidup atas terpangkasnya pendapatannya. Penyebab utamanya Peraturan Menteri:

1. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 10/PERMEN-KP/2019 Tentang Sistem Pemantauan Kapal Perikanan

2. Peraturan Menteri Kelautan Dan Perikanan Nomor 5/PERMEN-KP/2019 Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 23/PERMENKP/ 2013 Tentang Pendaftaran dan Penandaan Kapal Perikanan.

3. Peraturan Menteri Kelautan Dan Perikanan Nomor 1/PERMEN-KP/2017 Tentang Surat Laik Operasi Kapal Perikanan.

4. Peraturan Menteri Kelautan Dan Perikanan Nomor 71/PERMEN-KP/2016 Tentang Jalur Penangkapan Ikan dan Penempatan Alat Penangkapan Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia.

5. Peraturan Menteri Kelautan Dan Perikanan Nomor 32/PERMEN-KP/2016 Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 15/PERMEN-KP/2016 Tentang Kapal Pengangkut Ikan Hidup.

6. Peraturan Menteri Kelautan Dan Perikanan Nomor 15/PERMEN-KP/2016 Tentang Kapal Pengangkut Ikan Hidup.

7. Peraturan Menteri Kelautan Dan Perikanan Nomor 11/PERMEN-KP/2016 Tentang Standar Pelayanan Minimum Gerai Perizinan Kapal Penangkap Ikan Hasil Pengukuran Ulang.

8. Peraturan Menteri Kelautan Dan Perikanan Nomor 13/PERMEN-KP/2015 Tentang Pentunjuk Pelaksanaan Penertiban Surat Rekomendasi Pembelian Jenis Bahan Bakar Minyak Tertentu Untuk Usaha Perikanan Tangkap.

9. Keputusan Menteri Kelautan Dan Perikanan Nomor 61/KEPMEN-KP/2014 Tentang Produktifitas Kapal Penangkap Ikan.

10. Peraturan Menteri Kelautan Dan Perikanan Nomor 42/PERMEN-KP/2014 Tentang Perubahan Keempat Atas Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan PER.02/MEN/2011 Tentang Jalur Penangkapan Ikan dan Penempatan Alat Penangkapan Ikan dan Alat Bantu Penangkapan Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia.

11. Peraturan Menteri Kelautan Dan Perikanan Nomor 36/PERMEN-KP/2014 Tentang Andon Penangkapan Ikan.

12. Peraturan Menteri Kelautan Dan Perikanan Nomor 39/PERMEN-KP/2013 Tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Menteri Kelautan Dan Perikanan Nomor PER.06/MEN/2007 Tentang Organisasi Tata Kelola Kerja Pelabuhan Perikanan.

13. Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 84 Tentang 2013

Perekrutan dan Penempatan Awak Kapal.

14. Peraturan Menteri Kelautan Dan Perikanan Nomor 23/PERMEN-KP/2013 Tentang Pendaftaran dan Penandaan Kapal Perikanan.

15. Peraturan Menteri Kelautan Dan Perikanan Nomor 18/PERMEN-KP/2013 Tentang Perubahan Ketiga Atas Menteri Kelautan Dan Perikanan Nomor PER.02/MEN/2011 Tentang Jalur Penangkapan Ikan dan Penempatan Alat Penangkapan Ikan dan Alat Bantu Penangkapan Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia.

16. Peraturan Menteri Kelautan Dan Perikanan Nomor 10/PERMEN-KP/2013 Tentang Sistem Pemantauan Kapal Perikanan.

17. Peraturan Menteri Kelautan Dan Perikanan Nomor 1/PERMEN-KP/2013 Tentang Pemantauan Kapal Penangkap Ikan dan Pengangkut Ikan.

18. Peraturan Menteri Kelautan Dan Perikanan Nomor PER.05/MEN/2012 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.02/MEN/2011 Tentang Jalur Penangkapan Ikan dan Penempatan Alat Penangkapan Ikan dan Alat Bantu Penangkapan Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia.

Sejumlah 18 Peraturan Menteri itu merupakan penyebab industri perikanan hancur. Dalam riset dan penelitian baru yang di adakan oleh Asosiasi Nelayan bahwa penerapan peraturan menteri yang dibuat selama lima tahun ini belum mampu menaikkan tingkat pendapatan nelayan. Walaupun tujuan peraturan menteri yang ditetapkan untuk meningkatkan kesejahteraan nelayan. Namun, hingga hari ini belum seberapa pendapatan nelayan. Walaupun pemerintah sering bermain angka-angka dimedia, tetapi sesungguhnya nelayan sangat susah. Salah satu contoh paling dekat dan disaksikan mata kepala sendiri serta ikut memanen udang di tambak milik paman, bibi dan keluarga di Teluk Santong, Plampang, Sumbawa bahwa kondisi perikanan budidaya udang sangat besar dalam hadapi ancaman yang lebih parah dari yang diperkirakan sebelumnya.

Koran Suara NTB, 16 Februari 2017 memuat fakta itu dengan menampilkan judul berita: "29.000 Hektar Tambak Udang di NTB Terbengkalai." Ya terbangkalai tutup dan mangkrak. Ada 30.000 hektar potensi pengembangan tambak udang rakyat di NTB. Seluas 9.000 hektar di antaranya telah digali, 700 hektar sampai 1.000 hektare yang baru dimanfaatkan. Sekitar 29.000 hektar masih belum dimanfaatkan alias terbengkalai. Sementara Dinas Kelautan dan Perikanan NTB ingin ada pengembangan budidaya udang rakyat (udang vaname konsumsi) sehingga dapat dijadikan salah satu alternatif bagi nelayan eks penangkap benih lobster, maupun masyarakat umumnya untuk berkembang.

Untuk pemanfaatan potensi tersebut, tidak disertai dengan kontrol dan evaluasi. Untuk mengatasi krisis udang itu. Padahal potensi pengembangan udang vaname konsumsi ini tersebar di Lombok Timur, Lombok Tengah, Lombok Barat, Sumbawa dan Bima. Di Lombok Tengah ada 200 hektar yang sudah digali, lokasinya di Kodang. Sementara Lotim ada 30 hektar di Jerowaru. Sumbawa sekitar 200 hektar, dan Dompu sekitar 350 hektare.

Dari sisi bisnis, keuntungannya dalam setengah hektar, pembudidaya hanya mengeluarkan biaya sebanyak Rp 6 juta, dengan penghasilan bisa mencapai Rp 20 juta. Petani Budidaya bisa nebar tiga kali setahun. Setelah memeriksa data dari 32 tempat di Pulau Lombok dan Sumbawa, ternyata nelayan: budidaya sendiri merugi akibat berbagai peraturan tentang ekspor udang yang dianggap terlalu berat syarat dan teknisnya. Apalagi kualitas udang perikanan Indonesia dibawah standar.

Kehidupan nelayan dan pembudidaya terutama Marikultur semakin susah. Selain itu, sebanyak 14 pabrik Surimi di Pantura mati suri, sentra industri pengolahan perikanan di Belawan, Muara Baru, Cilacap, Benoa, Bitung, Ambon, Kaimana, dan Sorong juga mati suri akibat kekurangan bahan baku. Penyebab utamanya yakni 18 Peraturan Menteri diatas tadi.

Selain itu, 38 perusahaan galangan: merugi, tutup, dan mangkrak. Program kapal yang dibangun atas program KKP pun tak bisa diselesaikan. Semua pemilik galangan mengeluh soal porsentase penyelsaian dan penyiapan bahan baku. Sementara deadline waktu sangat pendek sehingga menyebabkan pembangunan bantuan kapal untuk nelayan tahun 2016, 2017, dan 2018 mengalami mangkrak. Malah KPK, kejagung dan Kepolisian sendiri sedang penyidikan kasus kapal, pengadaan mesin. Artinya bahwa itu ada masalah.

Kehancuran investasi pengusaha lokal perusahaan galangan sebagai unsur penggerak Poros Maritim Indonesia disebabkan oleh Peraturan Menteri Keuangan No. 238 Tahun 2015 tentang tata cara pengajuan Persetujuan Kontrak Tahun Jamak (Multiyears contract/MYC) dalam pengadaan barang/jasa pemerintah kepada menteri keuangan untuk penambahan biaya pembangunan kapal. Tentu kemunculan peraturan tersebut, karena sumber masalah terjadi pada tahap kebijakan Kementerian Kelautan dan Perikanan yang selalu berubah.

Sehingga sangatlah wajar sekali, kritik Prof. Dr. Rokhmin Dahuri yang menyebutkan: capaian kinerja kabinet Jokowi periode pertama diantaranya efek jera IUU fishing oleh nelayan asing, dwelling time menurun dari 8,5 hari menjadi 4 hari, logistic performance index membaik sehingga persentase biaya logistik terhadap PDB menurun.

Kemudian, program tol laut pada umumnya telah meningkatkan efisiensi angkutan penumpang dan barang antarpulau yang berdampak pengurangan pada disparitas harga barang antara Jawa vs Luar Jawa, serta meningkatnya jumlah wisman dan devisa pariwisata. Tapi kinerja ekonomi kelautan dari  nelayan dan masyarakat kelautan lain, pertumbuhan ekonomi, kontribusi terhadap PDB, nilai ekspor, pemerataan pembangunan, dan penyediaan lapangan kerja masih jauh dari optimal.

Ya, argumentasi Prof. Rokhmin Dahuri diatas sangat beralasan, bahwa dibawah kepemimpinan Menteri KKP, banyak industri perikanan yang gulung tikar karena terus-terusan menerbitkan larangan melalui peraturan menteri. Masalah utamanya diekonomi sektoral hancur lebur. Walaupun dari sudut penegakan hukum sudah cukup membuahkan hasil. Paling tidak, ada efek jera soal illegal fishing, soal konservasi juga.

Ya, benar sekali. Apa yang diungkap oleh Prof. Rokhmin Dahuri juga menilai Menteri KKP kurang menangkap peluang pengembangan industri perikanan. Salah satunya budidaya perikanan (aquaculture). Padahal, potensinya di Indonesia sangat besar. Belum lagi mengenai value edit process, industri pengolahan dan industri bioteknologi juga dinilai belum dikembangkan dengan baik. Karena eksekusinya hanya dimensi penegakan hukum. Tapi dimensi kesejahteraan dan dimensi ekonomi serta dimensi ipteknya kurang didorong. Apabila dari segi ekonomi, kesejahteraan dan iptek didorong dengan baik, maka pencapaiannya diyakini akan sangat baik.

Perbedaan Visi

Visi besar pemerintahan Joko Widodo dalam mewujudkan "Poros Maritim Dunia" 5 tahun lalu sangat fantastis. Bahkan, pemerintah bertekad mempercepat pembangunan industri perikanan dan kelautan untuk menjadi penggerak ekonomi tanah air. Diharapkan, dengan luas perairan yang mencapai 70 persen dari total wilayah Indonesia, kontribusi sektor perikanan dan kelautan dapat terus meningkat terhadap Produk Dometik Bruto (PDB) nasional yang kini hanya 30 persen.

Potensi ekonomi sektor kelautan di Indonesia bisa mencapai USD 1,2 triliun per tahun dan diperkirakan mampu menyerap tenaga kerja sebanyak 40 juta orang. Volume ekspor perikanan dalam lima tahun ini menurun. Bisa cek datanya 2014 sekitar 1,2 juta ton. Sejak 2015 sampai dengan sekarang di bawah 1 juta ton.

Presiden Joko Widodo mencontohkan, sejumlah negara yang cukup memaksimalkan potensi kelautan dan perikanan, diantaranya Jepang dengan kontribusi sebesar 48,5 persen terhadap PDB nasional atau setara USD 17.5 triliun dan Thailand yang meski garis pantainya tidak sepanjang Indonesia namun mampu menyumbang devisa hingga USD 212 miliar.

Program pembangunan sektor tersebut harus kita lakukan lebih terarah dan lebih tepat sasaran. Untuk itu, saya ingin kebijakannya harus mampu mengonsolidasikan program pembangunan yang ada serta memberikan dampak positif bagi peningkatan kesejahteraan nelayan dan rakyat Indonesia.

Menurut Mantan Menteri Perindustrian Saleh Husin, bahwa Industri perikanan termasuk dalam sektor prioritas berdasarkan Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional (RIPIN) tahun 2015-2035. Pengembangan industri perikanan ini memerlukan dukungan kementerian atau lembaga terkait lainnya sehingga berjalan secara sinergi. Setelah di evaluasi banyak yang tutup dan tampak lesu. Karena sebelumnya kurang koordinasinya antar kementerian dan Kelembagaan.

Saleh Husin pun merinci, tahun 2015-2019, kebijakan pengembangan industri perikanan berfokus pada aneka produk olahan ikan, pengembangan teknologi pengolahan minyak ikan dan penyusunan standar minyak ikan. Selanjutnya, tahun 2020-2024 akan difokuskan pada pengembangan minyak ikan sebagai pangan fungsional dan pangan fungsional berbasis limbah industri pengolahan ikan (food grade). Sedangkan, tahun 2025-2035 diharapkan industri pengolahan ikan telah menjadi bagian dari industri  pangan fungsional. Namun, saat ini pada lesu, tutup dan tak beroperasi karena bahan baku susah mereka dapatkan. Bisa jadi karena kebijakan pemerintah melalui peraturan yang ada.

Saleh Husin juga memberikan analisis bahwa agar mampu meningkatan nilai tambah pada produk industri perikanan tersebut. Maka pengembangan teknologi pengolahan menjadi faktor penting dalam pelaksanaan program hilirisasi industri pangan berbasis perikanan sesuai yang diamanatkan pada Rencana Industri Perikanan Indonesia (RIPIN).

Produk olahan ikan yang kini sudah dapat diproduksi di Indonesia, diantaranya ikan dalam kaleng, ikan beku, minyak ikan, tepung ikan dan pakan. Salah satu produk olahan yang mempunyai potensi besar yaitu minyak ikan, dimana saat ini produsen minyak ikan di Indonesia baru mampu menghasilkan minyak ikan dengan kategori crude oil dan belum bisa memproduksi minyak ikan pangan (food grade).

Ya, sebetulnya dalam satu lini produksi industri perikanan bisa menambah nilai ekspor produk ikan. Namun, saat ini tahun 2019 menunjukkan penurunan tajam tetapi masih relatif bisa diatasi. Bayangkan saja, industri pengolahan ikan di Indonesia terdiri dari 636 Usaha Pengolahan Ikan (UPI) skala besar dan 36.000 UPI skala kecil atau rumah tangga dengan teknologi sederhana. Sekarang mereka tutup, hancur, mandek dan mangkrak.

Salah satu industri pengolahan ikan yang cukup berkembang di Indonesia yaitu industri pengalengan ikan. Saat ini industrinya berjumlah 41 perusahaan, dengan jumlah pekerja 46.500 orang dan nilai investasi mencapai Rp. 1,91 triliun. Kapasitas terpasang industri ini mencapai 630.000 ton dengan nilai produksi 315.000 ton pada tahun 2015 (utilisasi produksi hanya 50%). Selanjutnya, pada tahun 2015, nilai ekspor ikan dalam kaleng mencapai USD 23 juta dengan nilai impornya sebesar USD 1,9 juta.

Upaya yang diharapkan untuk menghidupkan industri tersebut sangatlah papah, bahan baku susah, serta jaminan mutu dan keamanan produk industri pengolahan ikan. Ya, tentu semua itu disebabkan oleh Peraturan Menteri yang tidak melalui kajian apapun sehingga menyebabkan industri perikanan hancur.

Begitu juga, menurut Wayan Sudja (2019), bahwa pembudidaya ikan kerapu, bangkrut akibat Permen KP no 32/2016. Pembudidaya berbagai jenis ikan, antara lain pembudidaya ikan nila di Danau Toba, yang dikorbankan untuk tutup usahanya, padahal sumber pencemaran berasal dari industri pariwisata, hotel, restaurant dan lain-lain. Pengumpul benih lobster, bangkrut dan jatuh miskin akibat Permen KP No 56/2016.

Wayan Sudja pun, menyentil tentang kapal mangkrak, bahwa nelayan yang dapat bantuan dengan kapal-kapal <5>
Menurut Wayan Sudja, semua keburukannya ditutupi dengan propaganda penenggelaman kapal. Orang awam non-perikanan tidak paham, bahwa kota-kota seperti Bitung, Tual, Sorong dan lain-lain pusat industri pengolahan perikanan sekarang menjadi kota mati. Tadinya kota-kota pusat industri perikanan tersebut adalah wilayah pengekspor produk-produk perikanan Indonesia.

Menurut Muhibbudin atau Budhy Fantiho (2019), bahwa industri perikanan hancur lebur adalah fakta. Volume ekspor perikanan dalam lima tahun ini menurun. Ada bisa cek datanya. 2014 sekitar 1,2 juta ton. Sejak 2015 sampai dengan sekarang dibawah 1 juta ton. Saat ini UPI (Unit Pengolahan Ikan) utilitasnya saat rata rata dibawah 40% sebelumnya di atas 50% termasuk produksi pakan ikan nasional juga turun, dibawah 70?ri kapsitas, sebelumnya mendekati 90%.

Budhy menambahkan: jumlah unit kapal tangkap yang beroperasi juga jauh menurun. Budidaya kerapu, kepiting sudah lenyap di era Susi. Bisa dilihat di Muara Baru sebagai pelabuhan perikanan terbesar, berapa banyak kapal yang parkir dan UPI di Muara Baru juga banyak yang tutup, Harga ikan terutama ikan tangkapan semuanya naik (harga). Ini indikator memang supply yang turun.

Budhy juga memperjelas bahwa hampir semua pelaku usaha mengeluh, kinerja usahanya turun semua. Apa itu industri pencurian? Pencuri ikan Asing sudah berkurang tapi sampai sekarang tetap ada. Namun, kinerja nelayan, pembudidaya dan industri semuanya anjlok, bahkan banyak yang sudah tutup usaha.

Terkait dengan stok ikan, saat ini ini memang terkesan tinggi (12,54 juta ton) karena metode penghitungannya diperbaiki, sampling lebih banyak dan item pengamatan lebih banyak. Sebenarnya dari dulu stock ikan sudah tinggi juga, para ahli berestimasi antara 6,5 – 16 juta ton. Namun untuk menghindari over fishing maka ditetapkan hanya 6,5 saja.

Jumlah unit kapal tangkap yang beroperasi juga jauh menurun. Budidaya kerapu, kepiting sudah lenyap. Bisa dilihat di Muara Baru sebagai pelabuhan perikanan terbesar, berapa banyak kapal yang parkir dan UPI di Muara Baru juga banyak yang tutup, harga ikan terutama ikan tangkapan semuanya naik (harga). Ini indikator memang supply yang turun.

Adapun, kesimpulan yang bisa diambil dari tulisan ini adalah: Industri Maritim: Kelautan dan Perikanan Hancur Lebur. Apa saja industrinya yakni industri pengolahan ikan, industri galangan kapal, industri lobster, industri alat tangkap, industri akuakultur, industri manufaktur perikanan, dan industri lainnya di bidang kelautan dan perikanan hancur. Silakan bantah tulisan ini, jangan baper main lapor kepolisian untuk kriminalisasi dengan tujuan membungkam pergerakan nelayan.

Penulis adalah Ketua Umum Front Nelayan Indonesia (FNI)

Editor: Tokohkita

TERKAIT


TERPOPULER