Cerita Mia Berlebaran di Tahanan

  1. Beranda /
  2. Feature /
  3. Senin, 10 Juni 2019 - 11:31 WIB

Suasana kunjungan keluarga tapol perempuan kamp Plantungan, 1977. Sumber: Gerwani: Kisah Tapol Wanita di Kamp Plantungan.
Suasana kunjungan keluarga tapol perempuan kamp Plantungan, 1977. Sumber: Gerwani: Kisah Tapol Wanita di Kamp Plantungan.
Foto:

Ketika waktu kunjungan dibuka, bagian prosar menggelar bazar kecil untuk menjual hasil produksi para tapol. Ada koleksi kerajinan tangan yang bisa dibeli sebagai kenang-kenangan, seperti sapu tangan, baju, dan hiasan dinding yang dihiasi sulam.

TOKOHKITA. Lebaran tahun 1966. Mia Bustam, perempuan pelukis Lekra yang jadi tahanan politik (tapol) 1965, sibuk bukan kepalang begitu gerbang Vredeburg dibuka. Besek-besek mengalir deras tak henti-henti. Ada yang berisi lontong, ketupat, jadah, gula, dan makanan tahan lama seperti serundeng dan abon.

Besek-besek itu merupakan bingkisan lebaran yang dikirim keluarga kepada para tapol. Bingkisan itu menjadi satu-satunya tali penghubung antara keluarga dan tapol di hari raya lantaran bertemu para tapol tak diperbolehkan.

Bingkisan-bingkisan itu mesti disalurkan Mia, kepala tapol perempuan, ke kepala pleton kamp lelaki maupun perempuan. Para tapol yang menerima kiriman dipanggil ke pos piket lewat megaphone. “Hari itu semua penghuni kamp makan besar. Saking besarnya kami dengar di kamp pria bayak yang sakit perut, kekenyangan,” kata Mia dalam memoarnya Dari Kamp ke Kamp seperti ditulis Historia.

Mia sendiri tak mendapat panggilan. “Tak ada kiriman bagiku,” sambungnya. Seorang petugas yang iba lantas mengambil sedikit-sedikit dari semua kiriman itu, menaruhnya di besek, lalu diberikan ke Mia.

Ada banyak tapol yang bernasib seperti Mia, tak dapat kiriman. Mia menyaksikan anak lelaki menjilat-jilat daun pisang bekas bungkus opor. Ia pun heran dengan rekan-rekan sepleton anak itu yang tak membagi kirimannya sedikit pun. Mia jadi teringat anak lelakinya, Tedjabayu, yang juga ditangkap. Terdorong rasa iba, Mia mengajak ibu-ibu yang sepleton dengannya untuk mengumpulkan ketupat, lauk, apem, dan makanan lain.

Ketika hendak memberikan makanan itu, Mia mendapati si anak sedang mengais-ngais makanan dari tumpukan bungkus. “Ssst, jangan nggragas (rakus, red.). Makan apa itu? Ini sedikit kiriman untukmu,” kata Mia. Si anak muda terdiam sejenak, keheranan. Sejurus kemudian ia terima besek itu, membawanya lari, dan lupa mengucapkan terima kasih. “Kami tertawa, merasa lega setidaknya hari itu bisa membuat orang sedikit bahagia,” katanya.

Suasana lebaran di Kamp Plantungan lain lagi. Pada malam takbiran, para tapol Plantungan menyiapkan zakat fitrah untuk dibagikan kepada masyarakat sekitar kamp. Pembagian zakat itu diatur sendiri oleh tapol dengan bantuan rohis. Meski dalam tahanan, para tapol masih sanggup memberikan zakat dengan menyisihkan sedikit uang dari hasil penjualan yang dikelola petugas prosar (produksi dan pemasaran).

Amurwani Dwi Lestariningsih dalam Gerwani: Kisah tapol Wanita di Kamp Plantungan menyebut pada hari lebaran, para tapol salat di dalam masjid kamp. Pimpinan rohis bertindak sebagai imam. Selepas salat, semua penghuni kamp saling mengucapkan selamat dan bermaafan, juga kepada komandan dan petugas kamp. Petugas biasanya memberikan waktu kunjungan keluarga selama dua hari berturut-turut.

Pengunjung diterima di gedung kamp sebelah timur. Di dalam bangsal, bangku dan meja ditata per kelompok supaya para tapol bisa duduk bergerombol dengan keluarganya masing-masing. Ada juga acara makan bersama dan saling berkenalan antarkeluarga. Namun dalam pertemuan ini para tamu dilarang ambil foto.

Ketika waktu kunjungan dibuka, bagian prosar menggelar bazar kecil untuk menjual hasil produksi para tapol. Ada koleksi kerajinan tangan yang bisa dibeli sebagai kenang-kenangan, seperti sapu tangan, baju, dan hiasan dinding yang dihiasi sulam. Digelar pula kantin umum dengan beragam stan makanan, seperti kue, gado-gado, dan minuman.

Keluarga tapol yang hendak berkunjung dilarang gondrong. Kalau ada tamu yang gondrong, petugas kamp siap memangkas rambut mereka di pintu gerbang sebelum diperbolehkan masuk kamp. Meski mendapat kesempatan bertemu sanak-saudara, tidak banyak tapol yang menggunakan kesempatan ini.

Mereka khawatir, kalau-kalau saudaranya berkunjung malah terseret masalah karna ketahuan punya kerabat tapol. “Akan membahayakan kedudukannya kalau ketahuan mertuanya seorang tapol G30S,” kata Mia tentang menantunya, dosen ITB Arifin Wardima.

Editor: Tokohkita

TERKAIT


TERPOPULER