Rokhmin Dahuri, Ketua Dewan Pengawas Himapindo

Menjadi Pengusaha Sebelum Sarjana

  1. Beranda /
  2. Kabar /
  3. EDUKASI /
  4. Kamis, 2 Mei 2019 - 23:18 WIB

Rokhmin Dahuri, Ketua Dewan Pengawas Himapindo/RD
Rokhmin Dahuri, Ketua Dewan Pengawas Himapindo
Foto: RD

Menurut Rokhmin, selain untuk kesejahteraan dan kebahagian dirinya, seorang entrepreneur atau pengusaha juga menciptakan lapangan kerja untuk orang lain, menjadi “tangan di atas”, dan menjadi manusia terbaik di sisi Allah SWT.

TOKOHKITA. Rokhmin Dahuri, Ketua Dewan Pengawas Himpunan Mahasiswa Pengusaha Muda Indonesia (Himapindo) menjadi keynote speaker pada Talkshow Entrepreneur Bertajuk "Menjadi Pengusaha Sebelum Sarjana" di Universitas Djuanda, Kamis (2/5/2019).

Kegiatan yang digagas Bogor Entreprenur City & Himapindo Bogor Raya bekerjasama dengan Dewan Perwakilan Mahasiswa Fakultas Pertanian Universitas Djuanda ini merupakan upaya untuk menumbuhkan motivasi serta mendorong generasi muda masa kini agar menggali potensi diri. Harapannya, mampu percaya diri dan tak ragu untuk menjadi seorang entrepreneur muda yang berani menciptakan peluang bisnis baik lokal maupun internasional.

Menurut Rokhmin, selain untuk kesejahteraan dan kebahagian dirinya, seorang entrepreneur atau pengusaha juga menciptakan lapangan kerja untuk orang lain, menjadi “tangan diatas”, dan menjadi manusia terbaik di sisi Allah SWT. Sebagai Muslim, teladan paling ideal sebagai pengusaha adalah Nabi Muhammad SAW. “Nabi sudah berbisnis sejak usia 18 tahun hingga sebelum diangkat menjadi rasul pada usia 40 tahunan. Artinya, 30 tahunan sudah menjadi pengusaha,” ujarnya.

Sebab itu, pekerjaan yang terbilang mulia adalah menjadi pengusaha sesuai tuntutan Al-quran dan hadist. Memang, dalam sejumlah hadist dikisahkan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ditanya, “Pekerjaan apakah yang paling baik?” Beliau menjawab, “Pekerjaan seseorang dengan tangannya sendiri dan jual beli yang bersih.” (HR. Al-Baihaqi). Kemudian,  dari Al-Miqdam bin Ma’dikarib RA: Nabi SAW bersabda,“Tidak ada makanan yang lebih baik dari seseorang kecuali makanan yang ia peroleh dari uang hasil keringatnya sendiri. Nabi Allah, Daud AS, makan dari hasil keringatnya sendiri.” (HR. Al-Bukhori).

Dengan demikian, praktik berwira usaha ini sudah cukup lama dan hidup dalam tradisi kenabian. Sejumlah sahabat Nabi Muhamad SAW juga seorang pebisnis seperti Utsman bin Affan, Abdurrahman bin Auf dan Urwah Al Bariqi. “Jadi, Nabi dan para sahabat ini adalah teladan yang sangat baik sebagai pengusaha sukses. Tapi kenapa di masyarakat kita yang masyoritas Muslim masih sangat sedikit mau bercita cita jadi pebisnis. Umumnya ingin jadi pegawai atau PNS,” tanya Rokhmin

Padahal menjadi pengusaha itu bisa berbuat apa saja karena memiliki kemampuan ekonomi yang memadai. Tengok saja, di pentas politik banyak bupati, gubernur, menteri bahkan presiden, juga anggota legislatif banyak yang berlatar belakang seorang pengusaha. Sebab itu, ia mengajak para mahasiswa untuk mulai merintis usaha kecil-kecilan sejak di bangku kuliah. Artinya, sebelum sarjana punya bisnis sendiri.

“Saya juga dulu jual beli ikan, jual ikan asin jambal roti bareng dengan orantua yang keluarga nelayan. Ciputra dulu, sebelum sukses sekarang juga dari keluarga yang tergolong miskin. Dan  tak jauh beda dengan Chairul Tanjung. Nah, pengusaha-pengusaha sukses itu bisa jadi inspirasi dan motivasi, Anda sebagai mahasiswa untuk terjun ke dunia bisnis,” ajak Rokhmin.

Lebih lanjut mantan menteri kelautan ini memaparkan kondisi Indonesia yang sesunguhnya punya peluang menjadi negara manju dengan motor penggeraknya para insan wirausahawan. Pertama, jumlah penduduk kita saat ini mencapai 265 juta orang atau terbesar keempat di dunia. Dengan jumlah kelas menengah yang terus bertambah, dan dapat bonus demografi dari tahun 2020–2040 itu merupakan potensi human capital (daya saing) dan pasar domestic yang luarbia sabesar. Kedua, Indonesia kaya sumber daya alam (SDA) baik di darat maupun di laut. Ketiga, dari sisi geoekonomi dan geopolitik yang sangat strategis, dimana45?ri seluruh komoditas dan produk dengan nilaiUS$ 15 triliun per tahun dikapalkan melalui Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI).

Meski demikian, negara kita memang rawan bencana alam. Tapi potensi ancaman ini semestinya sebagai tantangan yang membentuk etos kerja unggul yakni inovatif, kreatif, dan entrepreneur, serta akhlak mulia bangsa. Hanya saja faktanya memang, sudah 73 tahun merdeka, Indonesia masih sebagai negara berpendapatan menengah bawah dengan kapasitas IPTEK kelas-3. Alias, belum menjadi negara maju, adil-makmur, dan berdaulat sesuai cita-cita Kemerdekaan RI.

Rokhmin menyebutkan, kondisi yang dihadapi Indonesia saat ini adalah pendapatan per kapita masih sebagai negara berpendapatan menengah bawah yakni sebesar US$ 3.870. “Pendapatan per kapita negara menengah-atas adalah US$ 4.086 -US$ 12.615 dan negara maju  lebih dari US$ 12.166, sedangkan negara menegah bawah pendapatan per kapitanya sekitar US$ 1.036 -US$ 4.085 dan negara miskin sekitar US$ 1.035. “Indonesia masih terjebak sebagai negara menengah-bawah meski sudah 73 tahun merdeka,” aku Ketua Penasehat KADIN Bidang KP ini.

Di sisi lain, kita juga masih dihadapkan pada persoalan-persoalan yang membuat Indonesia masih suit untuk naik kelas dengan peningkatan angka pendapatan perkapita yang signifikan. Masalah klasik itu antara lain pengangguran dan kemiskinan. Berdasarkan data BPS pada Maret 2017, dengan garis kemiskinan Rp 380.000/orang/bulan, jumlah rakyat miskin 27,77 juta jiwa atau 10,64% total penduduk. Per Maret 2018, dengan garis kemiskinan Rp 400.000/orang/bulan, jumlah rakyat miskin menurun menjadi 25,95 juta jiwa atau 9,82% total penduduk. Angka kemiskinan dibawah 10?ru pertama kali terjadi sejak Kemerdekaan NKRI 1945.

Namun, jumlah penduduk yang rentan miskin dengan pengeluaran  Rp 400.000/orang/bulan –US$ 45 (Rp 652.500)/orang/bulan), sehingga masih terdapat 69 juta jiwa  Artinya, jumlah penduduk miskin ditambah rentan miskin ada sebanyak 94,95 juta jiwa. Tak ayal, kesenjangan sosial dan ekonomi yang terburuk keempat di dunia, diparitas pembangunan antar wilayah, gizi buruk dan stunting growth, daya saing dan IPM yang rendah, plus kerusakan lingkungan dan SDA. Alhasil, Indonesia menduduki peringkat ke-4 sebagai negara dengan tingkat kesenjangan ekonomi tertinggi (terburuk) di dunia.

Menurut laporan Credit Suisse’s Global Wealth Report 2016, 1% orang terkaya di Indonesia menguasai49,3% kue kemakmuran secara nasional jika merujk data Credit Suisse’s Global Wealth Report 2016. Mirisnya, kekayaan empat orang terkaya (US$ 25 miliar atau setara Rp 335 triliun) sama dengan total kekayaan 100 juta orang termiskin atau 40% penduduk  Indonesia sesuai laporan Oxfam, 2017. 

Kemudian, sekitar 0,2% penduduk terkaya Indonesia menguasai 66% total luas lahan nasional dari catatan KPA, 2015. Bahkan,  dalam dekade terakhir, pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya dinikmati oleh 20% penduduknya, sedangkan 80% sisanya tidak kebagian bila merujuk data Bank Dunia, 2017. “Ketimpangan sosial akan berdampak buruk terhadap kohesifitas sosial, stabilitas politik, dan akhirnya mengguncang iklim investasi dalam negeri,” tukas Rokhmin mengingatkan.

Celakanya, Indonesia dihadapkan pada defisit transaksi berjalan akibat volume barang konsumsi dari impor lebih tinggi ketimbang ekspor dan produksi dalam negeri. Hal ini juga tidak terlepas dari kondisi deindustrialisasi terutama di sektor manufaktur, yang kinerjanya mengalami penurunan.

Lantas apa yang kudu dilakukan agar Indonesia lepas dari jebakan kelas menengah kebawah? Menurut Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan-IPB ini adalah mencetak sebanyak-banyaknya pengusaha. “Dari penelitian Mc Lelland dan Bank Dunia, prasyarat suatu negara-bangsa menjadi maju, sejahtera, dan berdaulat adalah jumlah entrepreneurnya minimal 7% lebih dari total penduduknya. Sampai 2018, jumlah entrepreneur di Indonesia baru 3% total penduduk, tetapi yang aktif dan produktif hanya 0,43%. Sedangkan, di Thailand, Malaysia, dan Singapura berturut-turut sudah mencapai 4%, 5%, dan 7%,” beber Rokhmin.

Editor: Tokohkita

TERKAIT


TERPOPULER