Ena Nurjanah
Menelisik Program Pendidikan Kandidat Capres 2019
Tema pendidikan menjadi menarik untuk dicermati. Hal ini karena hampir memasuki usia 74 tahun kemerdekaan Indonesia, aspek pendidikan masih dibebani dengan berbagai persoalan. Hal ini pun bisa dibuktikan dengan kualitas pendidikan Indonesia secara global berada dalam peringkat yang kurang menggembirakan.
Tahun 2019 ini bangsa Indonesia memiliki agenda yang cukup istimewa, yaitu pemilihan umum (Pemilu) terhadap calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres). Saat ini tahapan Pilpres 2019 memasuki masa kampanye. Komisi Pemilihan Umum (KPU) juga menyelenggarakan kampanye dalam bentuk debat secara terbuka antar capres dan cawapres yang dapat disaksikan oleh seluruh rakyat Indonesia melalui saluran televisi. Dan saat ini, debat memasuki tahapan ketiga dengan mengambil tema tentang: kesehatan, pendidikan, ketenagakerjaan, dan sosial budaya.
Tema pendidikan menjadi menarik untuk dicermati. Hal ini karena hampir memasuki usia 74 tahun kemerdekaan Indonesia, aspek pendidikan masih dibebani dengan berbagai persoalan. Hal ini pun bisa dibuktikan dengan kualitas pendidikan Indonesia secara global berada dalam peringkat yang kurang menggembirakan.
Menurut data UNESCO dalam Global Education Monitoring (GEM) Report 2016, kualitas pendidikan di Indonesia hanya menempati peringkat ke-10 dari 14 negara berkembang. Kondisi pendidikan harus menjadi perhatian serius para calon presiden dan calon wakil presiden. Mereka harus didorong untuk memiliki kepedulian sekaligus kesungguhan mencari solusi dari berbagai masalah pendidikan melalui gagasan program yang mereka gulirkan.
Di antara persoalan dunia pendidikan yang sering kali mengemuka adalah mengenai kurikulum yang tidak kunjung selesai. Penyeragaman kurikulum tanpa melihat kondisi geografis, keberagaman siswa didik, ketersediaan sarana dan prasarana. Yang pada akhirnya semua itu menjadi masalah yang terus membebani para anak didik sekaligus para guru yang mengajar.
Penerapan Kurikulum yang juga tidak sejalan dengan pelaksanaan ujian nasional (UN). Seperti ketika penerapan kurikulum pendidikan mengakomodir adanya keberagaman kecerdasan dari tiap anak, tetapi saat UN semua anak dianggap memiliki kecerdasan yang sama, yaitu hanya cerdas secara intelegensi. Sementara kecerdasan-kecerdasan lainnya, seperti kecerdasan kinestetis, kecerdasan linguistik, dan yang lainnya tidak lagi diperhitungkan.
Penerapan ujian nasional berbasis komputer (UNBK) yang dilakukan secara nasional, tanpa melihat kemampuan dari masing-masing sekolah maupun wilayah. Hal ini menjadi beban tersendiri yang harus dihadapi oleh siswa maupun gurunya. Yang sering terjadi adalah pihak sekolah berusaha memaksakan diri agar dianggap mampu menyelenggarakan UNBK tanpa berpikir realistis akan kemampuan sesungguhnya dari sekolah tersebut.
Masalah pendidikan yang juga mengemuka dalam setiap tahun ajaran adalah sistem zonasi dalam penerimaan siswa didik baru. Maksud dari penyelenggaraan sistem zonasi sebenarnya bagus agar tidak ada lagi sekolah unggulan dan sekolah biasa. Namun, pemerintah mengabaikan ketersediaan sekolah negeri di setiap wilayah, sehigga hal ini justru menimbulkan perasaan terabaikan dari para siswa yang berada di suatu wilayah yang tidak memiliki sekolah negeri.
Sehingga nilai-nilai UN tinggi yang mereka miliki tidak ada artinya. Siswa dengan nilai tinggi akan dikalahkan oleh siswa dengan nilai rendah tapi jarak rumahnya lebih dekat dengan sekolah negeri. Hal ini akan menimbulkan demotivasi, berdampak melemahkan semangat belajar dari para siswa yang sudah berjuang keras untuk mendapatkan nilai terbaik.
Belum lagi munculnya permasalahan kekerasan yang terjadi di sekolah. Baik yang terjadi antara murid dan murid, maupun antara guru dan murid. Hal ini juga harus menjadi perhatian serius pemerintah dalam membangun sistem pendidikan yang kondusif bagi semua pihak yang terlibat di dalam dunia pendidikan.
Persoalan lain yang juga cukup menyita perhatian dunia pendidikan saat ini adalah keberadaan para guru honorer. Kesejahteraan mereka belum banyak mendapat perhatian. Padahal, kesejahteraan guru akan sangat mempengaruhi performa mereka dalam mengajar. Para guru honorer rata-rata sudah mengabdi bertahun-tahun namun dengan penghasilan yang sangat minim.
Sesungguhnya guru adalah bagian penting bagi sebuah sistem pendidikan. Guru merupakan roda penggerak dari berjalannya pendidikan serta menghidupkan suasana belajar dengan kemampuannya. Jadi sudah selayaknya keberadaan guru mendapat perhatian yang sama dengan permasalahan pendidikan lainnya.
Para guru honorer sesungguhnya bagian tak terpisahkan dari seluruh guru yang ada di Indonesia. Mereka juga harus mendapat perhatian serius dari pemerintah. Mereka telah menjadi bagian dari elemen guru yang mampu memenuhi kekurangan guru-guru PNS yang jumlahnya tidak mencukupi. Mereka lah yang telah memenuhi kebutuhan pengajar hampir disetiap wilayah di Indonesia. Dengan demikian, sudah selayaknya ada kebijakan yang sungguh-sungguh dari para calon pemimpin yang akan datang terhadap kesejahteraan para guru honorer.
Begitu banyak persoalan pendidikan yang harus mendapat perhatian serius dari para calon pemimpin bangsa ini. Saat yang tepat bagi seluruh bangsa Indonesia untuk mencermati keseriusan capres dan cawapres terhadap persoalan pendidikan. Harapan terbesarnya adalah agar Indonesia mampu bangkit mengejar ketertinggalan dengan negara-negara lain dalam dunia pendidikan.
*Ketua Lembaga Perlindungan Anak GENERASI
Editor: Tokohkita