Rokhmin Dahuri

Universitas Masih Fokus Siapkan Mahasiswa Cepat Kerja Ketimbang Jadi Entrepreneur

  1. Beranda /
  2. Kabar /
  3. EDUKASI /
  4. Senin, 1 Agustus 2022 - 15:43 WIB

Apabila dievaluasi dari sistem pendidikan di Indonesia, hambatan yang mungkin ditemui, yaitu sistem pendidikan di perguruan tinggi Indonesia masih terfokus pada bagaimana menyiapkan para mahasiswa yang cepat lulus dan mendapatkan pekerjaan, bukan lulusan yang siap menciptakan pekerjaan.

TOKOHKITA. Menurut Regional Innovation and Entrepreneurship Research Center (2019), Indonesia menduduki peringkat ke- 75 Global Entrepreneurship Index (GEI) dari 137 negara di dunia dengan skor 26. Sementara, peringkat 5 tertinggi diduduki oleh negara Amerika (86,8), Swiss (82,2), Kanada (80,4), Denmark (79,3), dan Inggris (77,5).

Perkembangan kewirausahaan di Indonesia pada tahun 2019 menunjukkan tren yang positif, hal ini bisa dilihat dari adanya peningkatan dari 61,65 juta unit pada Tahun 2016, menjadi 65,46 juta pada tahun 2019, atau mengalami peningkatan rata-rata sebesar 2% per tahun.  Namun, rasio kewirausahaan nasional mengalami penurunan dari yang sebelumnya senilai 3,27% pada tahun 2019 menjadi 2,93% pada tahun 2020 dan turun kembali menjadi 2,89% pada tahun 2021 (belum mencapai target: 3,55%). 

"Persentase pertumbuhan wirausaha di Indonesia hanya sebesar 0,07% jika merujuk data Kemenkop UKM," kata Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB University,  Prof Dr Ir Rokhmin Dahuri saat menyampaikan orasi ilmiah berjudul “Memperkokoh Karakter Kewirausahaan di Era Disrupsi 4.0 Perubahan Iklim, Ketegangan Geopolitik,dan Post Truth.” pada Dies Natalis ke-61 UNM di Ballroom Theather Menara Pinisi UNM, Sulawesi Selatan, Senin (1/8/2022).

Menurut Rokhmin, kontribusi kewirausahaan terhadap perekonomian Indonesia tahun 2019 dapat dikatakan dominan, karena kontribusi PDB UMKM terhadap PDB nasional sebesar 60,5%, total tenaga kerja yang terserap sebesar 96,9%, membuka lapangan kerja sebanyak 99,9%. Mengutip data Masyarakat Industri Kreatif Teknologi Informasi dan Komunikasi Indonesia (MIKTI) dalam buku Mapping & Database Startup Indonesia 2021, terdapat 1.190 perusahaan rintisan (startup) di Indonesia. Dari jumlah tersebut, sebanyak 32,7% startup termasuk ke dalam bidang usaha general. 

Kemudian, sebanyak 16,48% startup bergerak dalam bidang content creator atau pembuatan konten. Lalu, ada 14,59% startup yang bergerak di bidang e-commerce, sedangkan yang bergerak di bidang fintech atau teknologi finansial sebanyak 8,52%. Selain itu, data dari MIKTI menunjukkan mayoritas startup tersebut berbadan usaha dalam bentuk perseroan terbatas (PT) dengan persentase 51,39%. Sebanyak 7,13% startup berbadan usaha commanditaire vennootschap (CV). Sementara, 29,1% startup belum berbadan usaha 12,38% lainnya tidak diketahui. 

"Dari data MIKTI tersebut dapat disimpulkan bahwa perkembangan startup di Indonesia masih bergerak pada sektor jasa saja yang hanya bisa menyelesaikan dan mempercepat sektor distribusi, padahal sektor produksi pun sangat membutuhkan inovasi dan peran serta para startup untuk memenuhi berbagai kebutuhan dengan skala yang besar," papar Ketua Dewan Pakar Asosiasi DPRD Kabupaten Seluruh Indonesia (ADKASI) itu.

Rokmnin melanjutkan, perkembangan startup digital di Indonesia pada tahun 2019 dan 2020 menjadi tahun-tahun yang penting sekaligus menantang. Pada tahun 2019, Indonesia yang diwakili oleh Jakarta berhasil masuk dalam jajaran kota dengan ekosistem startup terbaik di dunia. Bahkan di tahun 2020, rilis Global Startup Ecosystem Report 2020, yang dikeluarkan oleh Genome yang juga bekerjasama dengan MIKTI di Indonesia, menyatakan Jakarta sebagai peringkat kedua dalam Top 100 Emerging Ecosystem Ranking (MIKTI, 2021).

Meski demikian, perkembangan entrepreneurship di Indonesia masih banyak menghadapi hambatan. Rokhmin bilang, setidaknya ada tiga hambatan utama. Pertama, perguruan tinggi dinilai memiliki peran dalam mencetak lulusan yang berpotensi menciptakan lapangan kerja sendiri. Namun, kenyataannya sebagian besar lulusan Perguruan Tinggi cenderung memilih menjadi pencari kerja (job seeker) dibanding menciptakan lapangan kerja (job creator). 

Apabila dievaluasi dari sistem pendidikan di Indonesia, hambatan yang mungkin ditemui, yaitu sistem pendidikan di perguruan tinggi Indonesia masih terfokus pada bagaimana menyiapkan para mahasiswa yang cepat lulus dan mendapatkan pekerjaan, bukan lulusan yang siap menciptakan pekerjaan. 

Di sisi lain, penyediaan sarana dan prasarana untuk kewirausahaan masih terbatas. Celakanya, kesiapan perguruan tinggi dalam mengelola program kewirausahaan seperti Program Kreativitas Mahasiswa (PKM), Pelaksanaan Kuliah Kerja Usaha (PKU), dan Program Magang Kewirausahaan (PMK) masih belum sesuai dengan tujuan yang diharapkan.

Kedua, minat berwirausaha di kalangan generasi muda sebenarnya sudah mulai berkembang, tetapi banyak hal yang terkadang menjadi penghambat. Beberapa tantangan yang dihadapi generasi muda, yaitu masih berkembangnya persepsi masyarakat yang menganggap bahwa bekerja sebagai pegawai pemerintah lebih terjamin dibandingkan menjadi wirausahawan. "Belum lagi masih kentalnya anggapan bahwa menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) adalah suatu prestasi yang sangat membanggakan," kritik Rohmin.

Hambatan ketiga adalah regulasi pemerintah tidak memudahkan wirausahawan untuk mendapatkan akses pembiayaan, karena diwajibkan untuk memiliki legalitas usaha dan memenuhi berbagai persyaratan yang cukup sulit bagi pelaku usaha. Pinjaman usaha yang digunakan sebagai modal terbanyak berasal dari pinjaman bank sebesar 49,36%; pinjaman perorangan sebesar 33,47%, pinjaman koperasi 6,85%, program pemerintah 4,97%; lembaga keuangan non-bank 2,90%; dan swasta 2,44%. "Besarnya persentase pinjaman usaha industri mikro dan kecil (IMK) yang berasal dari perorangan menunjukkan bahwa usaha ini masih bersifat sangat tradisional," sebut Ketua Umum Masyarakat Akuakultur Indonesia (MAI) itu.

Atas dasar itu, perlu penguatan dan pembangunan entrepreneurship. Rokhmin menyodorkan tiga pendekatan. Pertama, strategi pengembangan kewirausahaan oleh perguruan tinggi dengan memberikan materi kewirausahaan yang lebih banyak praktik lapangan (learning by doing) dibandingkan pemberian materi yang sifatnya simulasi dalam kondisi yang tidak riil. 

Selanjutnya, perguruan tinggi seharusnya melakukan update kurikulum yang berorientasi pada kebutuhan dunia kerja (demand driven) seperti academic knowledge, analitical skill, managerial skill, teamwork, communication skill, dan leasdership; mengusahakan standar pelayanan minimal dalam menyelenggarakan program pendidikan kewirausahaan sehingga pola penyelenggaraan kewirausahaan dapat mencapai sasaran secara optimal. 

Kedua, melakukan edukasi kepada masyarakat berkaitan dengan kewirausahaan. Khususnya kepada para orang tua agar memotivasi dan mendidik anaknya untuk bisa menjadi entrepreneur sukses yang menciptakan lapangan pekerjaan dan bermanfaat untuk masyarakat sekitar.

Ketiga, pemerintah harus melakukan beberapa upaya antara lain pemberdayaan UKM guna mendorong kegiatan usaha ekonomi di sektor informal yang berskala mikro, terutama yang masih berstatus keluarga miskin melalui peningkatan kapasitas usaha, keterampilan, perlindungan, dan pembinaan usaha. Pemerintah harus berperan memudahkan wirausahawan dalam akses pinjaman modal, pemerintah juga harus terus mengalokasikan sebagian APBN/APBD untuk perkuat UKM, selain itu meningkatkan peranan Lembaga Pengelola Dana Bergulir (LPDB) dalam menggulirkan berbagai bantuan perkuatan kepada para wirausaha. 

"Yang tidak kalah penting untuk dilakukan adalah meningkatkan akses pasar melalui peningkatan kualitas, desain, dan harga yang bersaing di pasar domestik maupun internasional, selain itu untuk meningkatkan akses pemasaran juga diperlukan adanya penyederhanaan regulasi," pungkas Penasehat Menteri Kelautan dan Perikanan 2020-2024.

Editor: Tokohkita

TERKAIT


TERPOPULER