Dodi Permana
Jangan Cuma Gagah Sok Berantas Korupsi
Secara moral, kebijakan yang tak mementingkan kepentingan rakyat beresensi penghianatan terhadap rakyat. Terlebih rakyat sangat membutuhkan. Justru, kebijakan pemimpinnya malah berpihak pada kapitalis yang tak jelas mamfaatnya bagi rakyat. Ini penting untuk disoroti.
Sebuah pemberitaan di salah satu media online menyebutkan bahwa Jawa Barat menjadi provinsi terkorup dalam catatan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sebagai masyarakat Jawa Barat justru saya ikut berbangga. Kenapa? Karena hal itu pertanda masyarakat (aktifis,ormas,LSM dll) sangat peduli terhadap Jawa Barat.
Ini juga berarti orang Jawa Barat aktif mengawasi dan melaporkan berbagai masalah hukum pada KPK atau lembaga penindakan korupsi yang lainya. Masyarakat itu faham bahwa penegak hukum termasuk KPK lebih banyak sukses penindakannya terhadap pejabat korup sekelas ikan mujair. Sedangkan, koruptor kelas ikan hiu, ikan paus, malah melempem.
Pasalnya, begitu banyak cukong bank yang maling hingga ratusan triliun malah bebas oleh yang namanya KPK. Ironisnya, saat ini, aparatur penegak hukum lainya lebih fokus dan tampil gagah menuntut Ulama yang di pidana hanya karena kerumunan. Walau rakyat tahu bahwa hal ini tidak akan menyelesaikan permasalahan saat ekonomi yang tengah sulit, bahkan bisa pailit.
Jika kita perhatikan, amanah konstitusi UUD'45 menitik-beratkan pada upaya mensejahterakan rakyat. Oleh sebab itu, penindakan korupsi menjadi salah satu upaya memperlancar pembangunan dan pertumbuhan kesejahteraan rakyat. Meski demikian, hal tersebut bukan satu-satunya yang harus mendapat fokus penindakan aparat hukum dalam menjaga negara demi kemakmuran rakyat.
Ada hal yang lebih penting dalam menjaga ananah UUD45 yang kerap kali terabaikan. Yakni, menjaga amanah UUD'45 untuk memakmurkan rakyat (Pasal 33, Ayat 3 UUD'45). Tidak sedikit para pemimpin yang memiliki wewenang telah kehilangan moralnya dalam membuat kebijakan. Mohon maaf, saya contohkan yang di Jawa Barat, terutama di daerah pekotaan di Bandung.
Seorang pemimpin daerah (tak perlu saya sebut namanya), yang rela dan tega menggusur masyarakatnya. Padaha, telah tinggal di lahan tersebut selama lebih dari 50 tahun. Nyatanya, hanya demi menyewakan lahan tanah pemerintah pada cukong kapitalis, yang sekarang sudah menjadi taman. Padahal di saat yang sama rakyatnya sangat kekurangan ruang publik.
Apalagi, jika melihat para pelaku UMKM. Ada yang setiap minggu bertumpuk di Gazibu hingga menutup jalan.
Tentu hal itu membutuhkan solusi. Misal merelokasi ke tempat tanah milik pemerintah daerah yang luas, nyaman, terjangkau dan saling menguntungkan.
Alangkah tepat dan bermanfaat, juga menguntungkan jika seorang pemimpin yang cerdas membuat kawasan hijau bertaman juga berbisnis bersama UMKM demi keindahan kota sekaligus mensejahterakan ekonomi rakyat nya. Lah, kok diserahkan pada cukong yang saat ini masih menjadi taman mewah tapi tak jelas manfaat bagi masyarakat. Bahkan, sempat menuai kritik dari masyarakat karena taman berbayar mahal.
Sekalipun ada alasan sebuah perusahaan sudah kontrak dengan walikota yang lawas sejak puluhan tahun lalu, tapi bukan berati itu milik perusahaan tersebut. Bahkah, walikota sebelumnya yang terpidana korupsi saja, tak berani mengeksekusi rakyatnya sendiri demi cukong.
Secara moral, kebijakan yang tak mementingkan kepentingan rakyat beresensi penghianatan terhadap rakyat. Terlebih rakyat sangat membutuhkan. Justru, kebijakan pemimpinnya malah berpihak pada kapitalis yang tak jelas mamfaatnya bagi rakyat. Ini penting untuk disoroti.
Belum lagi kebijakan pemerintah yang alasan pembangunan tapi memperbesar utang dengan gaya bebas.
Walau pembangunan yang sifatnya tidak penting apalagi darurat seperti kereta cepat. Atau berutang untuk pembangunan gaya-gayaan belaka, sedangkan rakyatnya sendiri sengsara. Rakyat Indonesia memang baik. Tapi hukum adalah keadilan dan moral.
* Penulis adalah aktivis kemanusian, tinggal di Bandung
Editor: Tokohkita