Wimar Witoelar
Karpet Merah untuk Energi Hijau
Indonesia termasuk 10 besar negara penghasil emisi karbon. Sektor energi menjadi penghasil emisi karbon terbesar kedua mencapai 29% setelah sektor kehutanan (41%). Penyebabnya, pembangkit listrik kita masih dinominasi berbahan bakar fosil, yaitu mencapai 90%.
Di tengah fokus pada pandemi COVID-19, kita harus tetap menaruh perhatianbesar juga pada ancaman perubahan iklim. Semangat dan upaya melawan perubahan iklim harus sama besarnya dengan upaya melawan COVID-19.
Saat ini perubahan iklim makin terlihat nyata. Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) melaporkan bahwa tanda-tanda dan dampak perubahan iklim, seperti kenaikan permukaan laut, hilangnya es, dan cuaca ekstrem, meningkat selama 2015-2019. Periode tersebut menjadi periode lima tahun terhangat yang pernah tercatat.
WMO juga memperkirakan suhu global rata-rata tahunan dalam lima tahun mendatang akan cenderung setidaknya 1°C di atas tingkat pra-industri di masing-masing tahun pada 2020 hingga 2024.
Jika kita gagal dalam mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim, maka kehidupan manusia dan ekosistem di bumi terancam punah. Bahkan upaya pemulihan dari dampak perubahan iklim bisa membutuhkan waktu ratusan tahun.
Energi Terbarukan
Selama ini salah satu sumber emisi karbon dunia yang memicu terjadi perubahan iklim berasal dari pembangkit listrik berbahan bakar fosil seperti batubara, minyak bumi, dan gas. Karena itu upaya penting dari sektor energi untuk mitigasi perubahan iklim adalah segera beralih memakai energi hijau, yaitu energi terbarukan yang rendah emisi karbon dioksida atau ramah lingkungan.
Indonesia termasuk 10 besar negara penghasil emisi karbon. Sektor energi menjadi penghasil emisi karbon terbesar kedua mencapai 29% setelah sektor kehutanan (41%). Penyebabnya, pembangkit listrik kita masih dinominasi berbahan bakar fosil, yaitu mencapai 90%.
Jika pembangkit bahan bakar fosil terus dominan hingga pertengahan abad ini, maka sektor energi diperkirakan menjadi penyumbang emisi karbon terbesar di Indonesia. Karena itu pemanfaatan energi terbarukan menjadi sangat penting dan harus menjadi prioritas.
Sumber energi terbarukan di Indonesia sangat melimpah. Potensi energi terbarukan kita total mencapai 417,8 Gigawatt (GW) dari arus laut, panas bumi, bioenergi, bayu, surya, dan air. Namun sayangnya, saat ini kita baru memanfaatkan energi terbarukan sebesar 10,4 GW (2,5%).
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat perkembangan pembangkit listrik tenaga (PLT) energi terbarukan berkisar 500 MW per tahun dalam empat tahun terakhir. Tanpa ada upaya serius dan konsisten dari para pemangku kepentingan, maka kapasitas PLT energi terbarukan hanya akan tumbuh 2.500 MW pada 2025. Padahal agar dapat mencapai target 23?lam bauran energi nasional pada 2025 perlu tambahan kapasitas PLT energi terbarukan berkisar 10.000 MW.
Gelar Karpet
Pertumbuhan energi terbarukan yang tergolong minim bukan karena kapasitas PLT nya hanya bisa menghasilkan daya listrik yang kecil jika dibandingkan energi fosil. Satu contoh, proyek PLTA Batang Toru di Sumatera Utara yang memakai sistem run-of-the-river (memanfaatkan aliran sungai) akan menghasilkan 510 MW.
Selain menghasilkan daya listrik yang besar, proyek tersebut juga akan menghemat konsumsi karbon dalam jumlah 1,6 juta ton atau setara dengan cadangan karbon 12 juta pohon per tahun. Nilai tambah lain dari PLTA adalah karena bahan bakunya air, maka menjaga kelestarian alam sekitarnya menjadi suatu keharusan agar kuantitas dan kualitas air tetap terjaga untuk dapat menghasilkan energi listrik.
Adanya nilai tambah tersebut menjadi penambah daya tarik bagi investor untuk masuk ke sektor ini. Buktinya, belum lama ini orang terkaya Australia Andrew Forrest melalui perusahaannya Fortescue Metals Group (FMG) sangat tertarik untuk mengembangkan energi terbarukan di Kalimantan Utara.
Ketertarikan FMG makin menunjukkan sektor energi terbarukan Indonesia termasuk sunrise area. Apalagi kini transformasi ekonomi dunia sedang bergerak ke arah pertumbuhan ekonomi hijau. Paradigma ini menjadi portofolio bisnis bagi kalangan investor, dan telah menjadi standar di negara maju.
Indonesia harus cepat menangkap peluang tersebut. Namun hal itu tidak bisa dilakukan secara business as usual. Pemerintah perlu menggelar program karpet merah untuk menarik lebih banyak investasi baik dari dalam maupun luar negeri untuk pengembangan energi hijau atau terbarukan, termasuk untu mencapai target energi terbarukan pada 2025.
Sebagai poin awal yang strategis, program kampanye komunikasi untuk sosialisasi mengenai energi terbarukan penting menjadi prioritas untuk menumbuhkan kesadaran dan partisipasi semua pihak. Dampak perubahan iklim dan kondisi sumber energi fosil Indonesia yang makin menipis sehingga ketahanan energi terancam harus menjadi dorongan bagi semua pihak segera beralih ke energi terbarukan.
Langkah tersebut harus diiringi dengan pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mempersiapkan kerangka kebijakan dan peraturan khusus yang mendukung pengembangan energi terbarukan. Kehadiran Undang-Undang (UU) tentang Energi Terbarukan sangat penting untuk payung legislasi dan turunan regulasi lainnya.
Pemerintah dan DPR yang saat ini membahas RUU Energi Terbarukan bisa bercermin kepada India dan Chili yang telah berhasil mengakselerasi pembangunan energi terbarukan berkat kehadiran UU khusus mengenai hal tersebut. Terakhir, upaya akselerasi pemanfaatan energi terbarukan perlu dukungan kebijakan pemerintah memberikan insentif fiskal untuk memfasilitasi dan meningkatkan investasi di sektor ini.
Stimulus fiskal layak diberikan karena energi terbarukan dapat menjadi strategi pemulihan ekonomi hijau pasca COVID-19. Ini menjadi inisiatif pembangunan rendah karbon yang bisa mendorong penyerapan tenaga kerja, mendorong industri dalam negeri, hingga berkontribusi pada pencapaian target iklim.
Keberhasilan kita mengembangkan energi hijau atau terbarukan berarti kemenangan untuk masa depan Indonesia yang lebih sejahtera melalui ekonomi hijau.
* Penulis adalah Pakar Komunikasi Hijau (Green Communications Specialist) dan mantan Juru Bicara Presiden Abdurrahman Wahid (1999-2001)
Editor: Tokohkita