Sachrial

Dari Sukabumi Bermodal Rp15.000 Demi Menemui Habib Lutfi

  1. Beranda /
  2. Opini /
  3. Rabu, 28 Oktober 2020 - 20:37 WIB

Sachrial/Dokumen pribadi
Sachrial
Foto: Dokumen pribadi

Kisah inspiratif ini sedikit banyak akan membuktikan bahwa para santri mempunyai ketauhidan yang tinggi atas segala keterbatasannya, tapi tak punya rasa gentar, minder dalam mencapai tujuan mulianya. Cerita ini bermula dari pertemuan yang tak disengaja antara saya dengan Putra, santri dari Sukabumi.

Peran samtri dan ulama tak bisa dilupakan begitu saja oleh bangsa ini. Santri dan ulama memiliki sumbangsih terbesar atas terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Meski mereka tak pernah teriak NKRI Harga mati, tapi para ulama dan santri telah banyak menjadi syuhada untuk kemerdekaan bangsa ini. 

Ada pula yang seringkali berkoar NKRI Harga Mati tapi perusak demokrasi, pelanggar Pancasila, mengeruk SDA, merampas uang negara dan anehnya belum juga mati-mati malah bertambah tajir. Maka tak bisa dielakan peran ulama dan santri dalam memerdekan republik ini sangat begitu kuat dan kental.

Resolusi Jihad yang dikumandangkan ulama besar KH Hasyim Ansyari disambut dengan semangat jihad yang tinggi oleh para santri dan seluruh umat Muslim untuk melawan penindasan dan penjajahan. Para ulama dan santri telah berhasil  memberangus "kebebasan menindas dan menindas kebebasan". Inilah karya besar ulama dan santri.

Rasanya masih kurang menjadikan Resolusi Jihad diperingati sebagai hari santri, memberikan peran lebih bagi para ulama dan santri untuk mengelola bangsa ini menjadi sangat signifikan.Terlebih, perlakuan hormat dan mulia bagi semua para santri menjadi sangat urgen.

Kejadian para ulama yang diserang menunjukkan betapa penghormatan kepada kaum ulama mengalami penurunan perilaku berbangsa. Dalam rangka memperingati Hari Santri Nasional dan menyambut Maulid Nabi Muhammad SAW, yang mana Rasulullah merupakan pahlawan pembebas perbudakan. 

Dalam tulisan singakat ini, saya ingin berbagi kisah nyata tentang seorang santri salafi dari Sukaraja, Sukabumi. Setidaknya bisa membuktikan secara kekinian atas fakta sejarah panjang 75 tahun kemerdekaan NKRI, dalam bingkai peran para ulama dan santri yang ikut terlibat perjuangan dalam mengusir kaum kolonial.

Kisah inspiratif ini sedikit banyak akan membuktikan bahwa para santri mempunyai ketauhidan yang tinggi atas segala keterbatasannya, tapi tak punya rasa gentar, minder dalam mencapai tujuan mulianya. Cerita ini bermula dari pertemuan yang tak disengaja antara saya dengan Putra, santri dari Sukabumi ini. Saat ia turun dari mobil truk tronton tanpa box di perempatan Gede Bage.

Dengan mengenakan peci tanpa jaket dan menggunakan sarung, anak muda ini berjalan menuju Pasar Gede Bage. Sementara saya melaju kencang mendahuluinya. Tiba-tiba saja saja, saya ingin berrhenti sekadar buang air kecil. Tepat di depan motor, santri ini menghampiri saya. "Pak ikut ke depan, ya," pintanya. Tanpa ragu, saya pun langsung membonceng. Karena, saya tahu tadi anak ini nebeng di truk toronton itu. 

Sepanjang perjalanan saya sempat mengobrol soal asal usul dan tujuannya. Saya kaget juga setelah mengetahui kalau anak santri ini hendak pergi ke Pekalongan. Tujuannya, ingin menemui Habib Lutfi. Saya terharu mendengar pengakuan Putra. Ternyata, energi orang sholeh seperti Habib Lutfi bisa menarik santri dari pesantren yang jaraknya sekitar 410 kilometer. Ini tarikan positif. 

Akhirnya, kami berdua sampai di Cileunyi. Sejenak rehat, sambil melanjutkan obrolan. Usia santri ini masih muda belia. Ya, baru sekitar 21 tahun. Putra mondok di Pesantren Salafi Sukaraja, Sukabumi. Ia kembali mengutarakan tekadnya untuk menemui Habib Lutfi untuk mengaji kitab sekaligus memperingati maulid nabi. Di dalam tasnya tersimpan baju dan kitab. Putra hanya berbekal uang sebesar Rp 15.000, itupun sudah habis dipakai beli rokok setengah dan makan.  

Putra bertolak dari Sukabumi ba'da Magrib, Senin (26/10/2020). Sesekali berjalan kaki sembari mencari tumpangan truk gundul. Bila normal, perjalanan Sukabumi-Pekalongan dapat memakan waktu tujuh jam. Karena bergaya seperti dalam film Hitchikker yang berkelana dengan ikut tumpangan, tanda Liften (boncengan) selalu diarahkan kepada kendaraan yang melewatinya. Kalau enggak diangkut, dia jalan. Bagi Putra, menumpang kendaraan menjadi kenikmatan perjuangan menemui Habib Lutfi.

Yang terang, dari Sukabumi turun di Cianjur. Di Cianjur tiga kali menumpang. Hingga akhirnya ketemu truk gundul arah Bandung. Tiba di Pasar Caringin sekira pukul 23.00 WIB. Dari Caringin kemudian jalan dan akhirnya ketemu tronton sampai arah Gede Bage. Ya, akhirnya bertemu saya hingga bisa ngobrol di Cileunyi.

Mendengar perjalanannya, saya merasa malu. Betapa gagah beraninya anak santri ini. Dengan segala keterbatasnya, dia bisa arungi perjalanan 410 km menuju Pekalongan. Betapa besar energi hikmah Habib Lutfi, hingga akhirnya bisa menyeleksi anak sholeh yang gigih hanya untuk menimba ilmu.

Saya pun tergelitik untuk bertanya lagi. "Kan, uang sudah habis, bagaimana nanti diperjalanan dan sesampaiknya di tujuan?" "Ah, biasa aja pa," jawabnya. "Kalau di lokasi aku ngehodam aja, pak," ucap Putra.  Lalu, saya tanya kenapa mesti repot-repot datang ke Pekalongan?" Putra bilang, "Saya ingin belajar ilmu tarekat. Habib Lutfi itu ahli hikmah dan juga sebagai keturunan Rasulullah. Karena saya tak bisa ketemu Rasul, maka yang paling bisa saya lakukan menemui dan belajar dari keturunannya." 

Mendengar jawaban anak santri ini kembali membuat saya malu. Karena malu, saya pun hisap rokok sedalam-dalamnya.

Saya pun kembali mengajukan pertanyaan. "Apa bedanya Habib Lutfi dan Habib Riziq Shihab (HRS)." Menurut Putra, kedua ulama ini pada dasarnya sama berdakwah dan juga sama sebagai keturunan nabi. "Bedanya Habib Lutfi semua orang dirangkul, sedangkan HRS yang tidak sepaham atas dalil kebenaran-Nya, dia lawan. HRS terbuka, tapi sebenarnya sama niatnya untuk mencintai ummat dan negri ini," jelas dia.

Mendengar jawabn dari anak santri ini sungguh tanpa pretesi apapun. Andai semua berpendapat sama dengan anak santri ini, boleh jadi negeri ini enggak bakalan gonjang-ganjing. Sebagai rasa tidak mampuku menghormati Habib lutfi dan memuliakan maulid, saya antarkan santri ini hingga Nagreg.

Rasanya pertemuan dengan santri yang berusia 21 tahun yang tak gentar menempuh perjalanan berjarak 410 km, membuat saya semakin yakin memang para ulama dan santri pada saat 75 tahun ke belakang mempunyai peran penting dalam kemerdekaan ketimbang para politsi sekarang dan para buzzer.

Via pesan WhatApp, Putra mengabari saya jika sudah sampai tujuan di Pekalongan, Magrib tadi (28/10/2020) dengan selamat. Adapun total perjalanan yang ia tempuh selama dua hari. Subhanalloh, inilah bukti kegigihan sang santri dalam mewujudkan tekadnya untuk bertemu Habib Lutfi dalam penyambutan hari lahir Rasullulah Muhammad SAW.

Saya do'akan engkau sampai di tujuan, titip salam buat para santri dan Habib Lutfi dari diriku yang tak bisa berbuat banyak untuk umat.

*Penulis adalah seorang advokat 

Editor: Tokohkita

TERKAIT


TERPOPULER