Jazilul Fawaid

Menjaga Keberlangsungan UMKM

  1. Beranda /
  2. Opini /
  3. Jumat, 28 Agustus 2020 - 17:38 WIB

Persoalan digitalisasi juga menjadi persoalan lainnya yang harus disikapi. Di era disrupsi saat ini, perilaku konsumen mengalami pergeseran, yakni preferensi kepada hal-hal yang sifatnya instan dan effortless. Oleh sebab itu e-commerce dan digitalisasi menjadi jawabannya.

Pandemi COVID-19 yang menghantam Indonesia sejak awal Maret lalu, telah mengguncang sektor perekonomian nasional, tidak terkecuali usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Fenomena yang terjadi pada hari ini cukup menarik untuk dikaji secara mendalam oleh para pembuat kebijakan nasional (policy maker). Ketika terjadi krisis moneter 1998 dan krisis ekonomi dunia 2008, UMKM menjadi pilar penting yang menopang keberlangsungan perekonomian, di saat banyak unit usaha ekonomi lainnya yang terdampak dan berguguran.

Namun demikian, resiliensi yang ditunjukkan pada 1998 dan 2008 tersebut tidak mampu dipertahankan ketika pandemi virus corona (Covid-19) hadir dan menerjang tanpa pandang bulu. UMKM bukan hanya menjadi pelaku usaha yang terdampak, tapi tak berlebihan apabila disebut lumpuh.

Beda dengan 1998

Pada 1998, krisis yang menerjang Indonesia lebih disebabkan oleh hal-hal yang sifatnya makro seperti sistem keuangan yang terbuka, namun tidak didukung oleh sistem pengawasan yang baik, penerapan sistem mata uang fixed rate, serta adanya aliran dana investasi asing yang masuk secara besar dan cepat, terutama jangka pendek (short term). Unit usaha yang terdampak otomatis adalah korporasi-korporasi dengan skala binis menengah ke atas. Pada zaman itu, UMKM hadir sebagai penopang perekonomian.

Belum terhubungnya UMKM dengan sektor perbankan secara masif, usaha yang dilakukan dari rumah, variasi bisnis yang dijalankan yang umumnya banyak didominasi oleh kebutuhan rumah tangga, serta menyerap banyak tenaga kerja, menjadikan UMKM sebagai unit usaha yang tidak terimbas krisis. Situasinya cukup berbeda dengan hari ini. Untuk mencegah penyebaran Covid-19 yang berlangsung masif, pemerintah pusat dan daerah memutuskan untuk memberlakukan kebijakan penjarakan sosial (social distancing).

Pada tataran lebih lanjut, pemerintah akhirnya memutuskan untuk menempuh kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Hal ini tentu saja berdampak pada operasionalisasi bisnis para pelaku usaha. Sebagai konsekuensinya, kapasitas mereka untuk melakukan supply terganggu karena harus merumahkan atau bahkan memutuskan hubungan kerja dengan karyawan (PHK).

Begitu juga dengan biaya operasional yang harus dikurangi karena terimbas krisis. Di sisi demand, para pelaku usaha mengalami penuruan omzet yang signifikan sebagai konsekuensi penurunan daya beli masyarakat (purchasing power). Inilah yang dialami oleh hampir seluruh pelaku usaha, tidak terkecuali UMKM.

Respons pemerintah

Menyadari peran vital UMKM, pemerintah memang tidak tinggal diam. Pemerintah memberikan berbagai bantuan untuk menyokong kapasitas supply UMKM seperti restrukturisasi utang, subsidi bunga dan pajak, serta bantuan produktif sebesar 2,4 juta rupiah per unit usaha. Kebijakan untuk memberikan bantuan ini sangat rasional mengingat kontribusi UMKM terhadap produk domestik bruto (PDB) selama 2017-2018 lebih dari 60 persen. 

Total serapan tenaga kerja juga sangat besar, yakni 116,9 juta tenaga kerja atau mencapai 97 persen. Dapat dikatakan bahwa UMKM merupakan unit usaha nasional yang mengedepankan prinsip padat karya (labour extensive). Dengan kontribusi sedemikian, jika tidak ada kebijakan yang menopang eksistensi UMKM di era pandemi saat ini, maka besar kemungkinan akan terjadi kelumpuhan kapasitas produksi nasional dan pemludakan jumlah pengangguran terbuka.

Berbicara mengenai pengangguran, tentu saja tidak terlepas dari berbagai dampak derivatifnya seperti meningkatnya kriminalitas dan tingginya angka kemiskinan. Ini tentu akan menjadi bencana bagi perekonomian nasional. Kebijakan-kebijakan yang dipaparkan di atas merupakan kebijakan untuk penguatan kapasitas produksi (supply side) UMKM. Jika objektif utama dari kebijakan tersebut dapat tercapai, yakni keberlangsungan eksistensi UMKM dan kapasitas mereka untuk berproduksi, persoalan lanjutan yang harus disikapi adalah bagaimana caranya agar produk-produk UMKM nasional dapat terserap oleh pasar. Untuk menjawab tantangan ini, pemerintah harus bersikap cermat dan hati-hati.

Baru-baru ini muncul kebijakan afirmatif dari pemerintah untuk menyerap produk-produk UMKM melalui pengalokasian anggaran belanja lembaga negara sebesar kurang lebih 321 triliun rupiah. Sebagai komitmen untuk merealisasikan kebijakan ini, Kementerian BUMN misalnya, menetapkan bahwa proyek pengadaan barang dan jasa yang bernilai 250 juta hingga 14 miliar akan diserahkan kepada UMKM.

Cermat dan jangka panjang

Kebijakan ini pada dasarnya patut diapresiasi karena menunjukkan kejelian pemerintah dalam melihat linkage antara sisi penawaran dan permintaan. Namun demikian, menurut hemat kami, ada beberapa hal yang harus dicermati. Pertama, kebijakan ini tidak serta-merta membuat strategi penyerapan produk UMKM bertumpu sepenuhnya pada proyek-proyek pengadaan nasional. Strategi penyerapan tetap harus berpedoman pada pasar sebagai konsumen utama, baik pasar dalam bentuk korporasi, maupun rumah tangga.

Hal ini dikarenakan ukuran pasar yang sesungguhnya jauh lebih besar dan potensial. Dengan tetap menjadikan pasar sebagai pangsa utama produk-produk, tanggung jawab pemerintah untuk tetap menggerakkan perekonomian rakyat di masa pandemi juga tidak terabaikan. Harapan agar UMKM tetap kreatif dan inovatif di masa pandemi juga harus dihidupkan agar pascapemulihan ekonomi nasional, produk-produk UMKM juga dapat menembus pasar internasional.

Kedua, kebijakan afirmatif dengan menghubungkan proses pengadaan barang dan jasa lembaga negara dengan UMKM harus dilaksanakan secara terukur dan komprehensif seperti penetapan kriteria UMKM yang bisa diikutkan, kapasitas UMKM untuk memenuhi tingkat komponen dalam negeri (TKDN) pada produk-produknya, ketersediaan sistem rekrutmen UMKM, monitoring dan pengawasan, termasuk transparansi dalam proses operasional antara UMKM dan lembaga-lembaga negara yang menjalankan.

Hal ini semata-mata untuk mencegah moral hazard dalam setiap pelaksanaan kebijakan. Tidak dimungkiri, ada potensi terjadi kecurangan (fraud) dalam proses ini semisal adanya UMKM “jadi-jadian” atau UMKM yang sengaja dibentuk oleh pihak-pihak tertentu untuk menerima proyek. Hal ini tentu tidak kita harapkan untuk terjadi.

Berbagai kebijakan yang ditempuh tersebut akan menjadi semakin komprehensif apabila diletakkan dalam horizon berfikir yang lebih luas. Persoalan yang dihadapi UMKM sangatlah banyak, bahkan sudah eksisting dan belum terselesaikan jauh sebelum pandemi melanda. UMKM masih banyak yang kesulitan untuk mendapatkan akses pinjaman dari perbankan, khususnya UMKM yang berstatus sebagai start-up company. Jikapun mendapat akses, proses yang harus dilalui cukup kompleks dan birokratis. Hal ini menjadikan UMKM kerap tidak mampu bersaing secara sehat dengan unit usaha rintisan lainnya yang didukung oleh dana asing dan pemodal besar.

Persoalan digitalisasi juga menjadi persoalan lainnya yang harus disikapi. Di era disrupsi saat ini, perilaku konsumen mengalami pergeseran, yakni preferensi kepada hal-hal yang sifatnya instan dan effortless. Oleh sebab itu e-commerce dan digitalisasi menjadi jawabannya. Di sinilah peran pemerintah harus hadir untuk memberikan dukungan, baik dukungan finansial, maupun pelatihan teknis agar para pelaku UMKM lebih akrab dengan hal-hal yang berbau teknologi, semata-mata agar produk-produk mereka lebih mudah diakses dan diserap masyarakat.

Singkat kata, upaya menjaga keberlangsungan UMKM merupakan ikhtiar jangka panjang yang harus dilakukan secara komprehensif ke depan, tidak semata-mata karena pandemi.

*Penulis adalah  Wakil Ketua MPR RI Periode 2019-2024

Editor: Tokohkita

TERKAIT


TERPOPULER