Sachrial

Terbukti Sudah Betapa Sembrononya Pemerintah

  1. Beranda /
  2. Opini /
  3. Selasa, 19 Mei 2020 - 22:06 WIB

Sachrial/Dokumen pribadi
Sachrial
Foto: Dokumen pribadi

Semoga Ramadhan ini menjadikan manusia yang kukuh. Kalau dalam istilah Soekarno, satunya kata dengan perbuatan. Pentas kemarin telah mempertontonkan antara kata dan sikap bertemu dalam titik ambyar atau istilah lain amburasut.

Pukulan paling berat buat media lokal oleh media asing yang telah menyoroti bahwa pemerintahan Indonesia dalam penanganan pandemik virus corona (Covid-19) digolongkan sebagai negara terburuk di Asia Tenggara  dalam penanganan wabah tersebut.

Apapun pembelaan pemerintah terhadap sorotan media asing, semua sudah sangat terlanjur dijatuhkan atas penanganan yang buruk tersebut. Seperti kebiasaan dalam pribahasa, 'gajah di pelupuk mata tak tampak, semut dilautan terlihat jelas'.

Media lokal telah menjadi rabun melihat gajah di pelupuk mata. Sementara media asing menjadi sangat awas melihat semut di seberang lautan. Inilah kritik buat pemerintah dan media nasional atas apa yang telah terjadi. Terlepas dari media asing yang dipersepsikan intervensi oleh pemerintah, tentu inilah konsekuensi atas dunia dalam lipatan dan globalisasi. Semua bisa tampak.

Terbukti sudah, bahwa kita sebagai negara dengan PDB sekitar US$ 1,1 triliun. Karena PDB-nya yang besar negara kita masuk dalam jajaran 10 besar negara tertinggi dari nilai PDB tersebut. Ternyata, PDB tinggi tak menjamin apapun terhadap rakyatnya. Media asing membandingkan PDB negara Etopia, Bangladesh, dan Nigeria yang hanya sekitar US$ 81 miliar-US$ 375 miliar bisa melakukan rapid test yang signifikan per satu juta penduduk yakni 24-45 orang.

Negara tetangga kita, Singapur bahkan bisa melakukan rapid test hingga 12.423 per satu juta penduduk, Lantas, Malaysia sebanyak 21.153 per satu juta penduduk. Indonesia yang masuk 10 negara PDB tertinggi di dunia secara langsung terburuk se Asia Tenggara hanya mampu melakukan rapid test  sebanyak 65 orang per satu juta penduduk. 

Lalu kemana uang PDB-nya? Dasar otak pemerintah yang konsumtif menyatakan bahwa anggaran rapid test didalihkan tidak digunakan berdasar populasi, tapi akan melakukan dan mendatangkan alat  PCR buatan Swiss yang mampu mengecek hingga 10.000 per hari. Apa karena memang bawaan banyak uang negara ini ingin lebih canggih atau memang aparatnya hoby shoping?

Tapi anehnya, walau PDB-nya tinggi, negara ini masih mau mungut uang dari rakyat dengan acara panggung berdalih konser amal yang hanya terkumpul sekitar Rp 4 miliar. Motor listrik dan celana dalem istri-istri pejabat dilelang saja agar dapat anggaran besar. 

Konser Amal yang dilakukan oleh Staf Khusus Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Antonius Benny Susetyo dengan mengatasnamakan Pancasila dan badan-badan lainnya nyatanya hanya mampu mengumpulkan donasi dibawah konser amal yang digalang almarhum Didi Kempot sebesar Rp 5,3 miliar. Nah, realita itu menunjukkan bahwa simbol negara tak laku jual alias tak layak untuk beramal. Sementata Bung Haji Rhoma Irama menghasilkan Rp 700 juta. Yang terang, Didi Kempot mampu menyelenggarakan konser dengan standard dan protokol kesehatan, sebagai pencegahan penularan Covid-19.

Terbukti sudah bahwa para aparat pemerintah yang membuat aturan dan anjuran bahkan perpu juga keppres Covid-19, nyatanya semua mengingkari apa yang telah ditetapkan. Terbukti, sudah betapa kita hidup dalam ke ambayaran peraturan. Maka, tak salah jika kita adalah negara kedua tertinggi setelah Italia yang tingkat kematiaannya banyak. Maklum, aparatnya banyak ikut konser ketimbang konsenstrasi pada persolan dan keselamatan nyawa penduduk republik in.

Romo Beny telah menyandera Bimbo yang religius pada konflik horizontal. BPIP telah mementaskan pelanggaran dan telah menjilat Covid-19. Terbukti sudah, bahwa kita diisi penuh kaum munafik yang mana bila berjanji dan membuat peraturan terdepan dalam pengingkaran. Romo Beny, ketua MPR, pejabat BNPB tidak memilki empati atas larangan umat beragama yang paling mendasar untuk beribadah di rumah saja.

Semua bisa longgar hanya karena konser amal. Konser amal telah menunjukkan ketokohan yang tidak bersuri tauladan. Terbukti sudah konser amal yang dilakukan semakin mempertegas tangkapan mata media asing bahwa kita negara terburuk dalam penanganan pandemik corona.

Semoga Ramadhan ini menjadikan manusia yang kukuh. Kalau dalam istilah Soekarno, satunya kata dengan perbuatan. Pentas kemarin telah mempertontonkan antara kata dan sikap bertemu dalam titik ambyar atau istilah lain amburasut. Salam satunya kata dengan perbuatan.

*Penulis aktif di Firma Hukum Dark Justiceadalah dan kader PDIP

Editor: Tokohkita

TERKAIT


TERPOPULER