Rokhmin Dahuri

Mendambakan Sektor Perikanan yang Produktif, Berdaya Saing, Mensejahterakan, dan Berkelanjutan

  1. Beranda /
  2. Opini /
  3. Selasa, 19 Mei 2020 - 11:11 WIB

Rokhmin Dahuri/Istimewa
Rokhmin Dahuri
Foto: Istimewa

Akhirnya, pembangunan perikanan tangkap, perikanan budidaya, industri pengolahan hasil perikanan, dan industri bioteknologi perairan sebagaimana diuraikan diatas memerlukan infrastruktur berkualitas yang memadai, modal (finansial) yang mencukupi, inovasi teknologi termasuk Industri 4.0, SDM berkualitas, iklim investasi dan kemudahan berbisnis yang kondusif dan atraktif, serta harmonisasi regulasi dan kebijakan antara kementerian/lembaga terkait dengan pemerintah daerah.

Sebagai aktivis mahasiswa, penulis bersama sejumlah aktivis lain di Senat Mahasiswa Fakultas Perikanan IPB maupun Himpunan Mahasiswa Perikanan (HIMARIN), cikal bakal  Himpunan Mahasiswa Perikanan Indonesia (HIMAPIKANI ), pada kurun 1978–1981 seacara reguler sering mendiskusikan tentang bagaimana menjadikan perikanan sebagai sektor pembangunan (ekonomi) yang bergengsi dan mampu berkontribusi signiikan bagi terwujudnya Indonesia yang maju, adil-makmur, dan berdaulat. 

Sebuah sektor pembangunan yang nelayan, pembudidaya ikan, pengolah hasil perikanan, pedagang ikan, dan stakeholders perikanan lainnya bisa hidup makmur dan sejahtera, seperti halnya mereka yang bekerja di sektor perminyakan pada waktu itu. Sebuah sektor pembangunan yang mampu menciptakan lapangan kerja dalam jumlah besar, dan dapat memenuhi kebutuhan ikan dan produk perikanan untuk konsumen (pasar) domestik maupun ekspor. Sebuah sektor ekonomi yang bisa mendulang devisa yang besar, dan menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkualitas (inklusif) secara berkelanjutan.

Pada waktu itu, kami yakin, bahwa seluruh rakyat Indonesia, terutama masyarakat perikanan, pun mendambakan profil sektor perikanan semacam itu. Visi (mimpi) tentang profil sektor perikanan tersebut disyahkan menjadi agenda perjuangan mahasiswa perikanan se Indonesia pada Kongres Mahasiswa Perikanan Indonesia Pertama di Kampus IPB Bogor pada Juli 1979. Kongres Mahasiswa Perikanan Indonesia itu didahului dengan Pekan Olah Raga Mahasiswa Perikanan Nasional di Kawasan Wisata Bahtera Jaya, Ancol, Jakarta.  

Kami juga berkesimpulan, bahwa untuk mewujudkan sosok perikanan tersebut, tidak mungkin secara kelembagaan hanya dikelola oleh setingkat Direktorat Jenderal Perikanan yang sejak Indonesia merdeka tahun 1945 di bawah Departemen Pertanian. Mengingat tiga perempat wilayah NKRI berupa laut (termasuk ZEEI) dan sekitar 30 persen wilayah daratnya pun berupa ekosistem perairan (seperti rawa, sungai, danau, dan bendungan) dengan potensi produksi perikanan yang luar biasa besar. Maka, urusan perikanan hanya mungkin berhasil, bila dikelola oleh lembaga setingkat Departemen (Kementerian).

Alhamdulillah, gagasan untuk mendirikan Departemen Perikanan pun terus bergulir. Pada 1987 IPB bekerjsama dengan LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) menyelenggarakan Seminar Kelautan Nasional di Gedung LON (Lembaga Oseanologi)-LIPI, Ancol dan menghasilkan rekomendasi utama mengusulkan kepada Presiden Soeharto untuk mendirikan Departemen Perikanan. Kemudian, pada 1993 IPB bekerjasama dengan TNI-AL menggelar Konferensi Kelautan Nasional, dan menghasilkan rekomendasi yang sama dengan Seminar IPB–LIPI itu. 

Pada 1995 MPN (Masyarakat Perikanan Nusantara) menyelenggarakan Seminar Perikanan Nasional di Hotel Indonesia, Jakarta. Dan, salah satu rekomendasinya adalah segera dibentuknya Departemen Perikanan. Penulis sebagai Ketua SC (Steering Committee) bersama almarhum Bapak Letjen. TNI. Purn. Tuk Setyohadi (Ketua Umum MPN) dan anggota SC lainnya seperti Bapak Ir. Mustafa Abubakar, Prof. Daniel Monintja, Dr. Soen’an Hadipurnomo, Dr. Fuad Cholik, dan Ibu Esther Satyono menyampaikan hasil dan rekomendasi Seminar kepada Wakil Presiden RI, Prof. Dr. BJ. Habibie.

Pada 1997 IPB bekerjasama dengan DKN (Dewan Kelautan Nasional) dan Bappenas menyusun Buku Grand Strategy Pembangunan Kelautan Nasional.  Sebagai Ketua Tim Penyusun buku tersebut, penulis bersama Rektor IPB dan Ketua DKN menyampaikan buku tersebut kepada Menteri Koordinator Bidang Ekonomi dan Kepala Bappenas, Bapak Prof. Dr. Ginanjar Kartasasmita.  Salah satu rekomendasi terpenting dari buku tersebut adalah perihal perlunya segera didirikan Departemen Perikanan.

Lalu, pada Juli 1999 penulis sebagai Kepala PKSPL (Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan) IPB diminta oleh DPR-RI untuk menyusun position paper tentang dasar pertimbangan (reasonings) urgensi pembentukan Departemen Kelautan dan Perikanan. Pada akhir Juli 1999, saya bersama anggota Tim Penyusun (Prof. Ismudi Muchsin; Ir. KA. Azis, MSc; Dr. Enang Haris; Dr. Tridoyo Kusumastanto; Dr. Kadarwan Suwardi; Dr. Bambang Widigdo; Dr. Menofatria Boer;  dan Dr. Linawati Herjito) memaparkan position paper tersebut di DPR RI yang saat itu dipimpin oleh Ketua DPR RI, Bapak Akbar Tanjung.  

Alhamdulillah pada September 1999 berdirilah Departemen Eksplorasi Laut dalam Kabinet Persatuan Indonesia di bawah kepimimpinan Presiden KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan Wakil Presiden Megawati Soekarnoputri. Sejak medio 2000, namanya berganti menjadi Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP), dan sejak Nopember 2004 (awal pemerintahan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono, SBY) namanya berganti lagi menjadi Kementerian Kelautan dan Perikanan. Menteri pertama adalah Bapak Ir. Sarwono Kusumaatmadja. 

Kemudian, pada 4 Juni 2001 Presiden Gus Dur mengangkat penulis sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan menggantikan Bapak Sarwono Kusumaatmaja. Setelah pelantikan pagi hari, malam harinya penulis dipanggil Presiden Gus Dur di Istana Negara. Beliau berpesan agar sektor kelautan dan perikanan dapat dijadikan sebagai salah satu sektor unggulan (a leading sector) dalam pembangunan nasional yang mampu mensejahterakan nelayan, pembudidaya, dan masyarakat kelautan lainnya.

Berarti mimpi kami para aktivis mahasiswa perikanan se Indonesia pada akhir 1970-an cocok benar dengan amanat Presiden RI tersebut kepada penulis.  Pada 20 Oktober 2001, Ibu Megawati Soekarnoputri dilantik menjadi Presiden RI ke-5 oleh MPR RI menggantikan Presiden Gus Dur.  Di era Kabinet Gotong Royong (20 Oktober 2001–20 Oktober 2004) yang dipimpin oleh Presiden Megawati Soekarnoputri bersama Wakil Presiden Hamzah Haz. Dan, penulis dipercaya kembali sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan.

Selama masa Kabinet Gotong Royong, sektor kelautan dan perikanan semakin menjadi prioritas pembangunan nasional. Bukan hanya sebagai sektor unggulan, tetapi sektor KP (Kelautan dan Perikanan) juga ditetapkan sebagai prime mover (penghela) pembangunan nasional dan sumber pertumbuhan ekonomi baru untuk kesejahteraan rakyat, terutama para nelayan, pembudidaya ikan, dan masyarakat KP lainnya. Maka, pada 13 Oktober 2003 Presdien Megawati Soekarnoputri mencanangkan GERBANG MINA BAHARI (Gerakan Pembangunan Perikanan dan Kelautan Nasional) diatas Kapal Dalpele, TNI-AL di tengah Teluk Tomini. 

Esensi dari GERBANG MINA BAHARI menurut Keputusan Presiden RI saat itu adalah bahwa sektor KP, termasuk industri bioteknologi kelautan, pariwisata bahari, transportasi laut, dan industri dan jasa maritim menjadi prioritas dan penghela pembangunan ekonomi nasional. Lebih dari itu, sektor-sektor pembangunan (kebijakan publik) lainnya (seperti moneter, fiskal, infrastruktur, RTRW, IPTEKS, dan pendidikan) secara terpadu, sinergis, dan ’total football’ diwajibkan mendukung pembangunan KP sebagai prime mover. 

Landasan pembangunan sebagai dasar GERBANG MINA BAHARI adalah prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan (sustainable development), yakni paradigma pembangunan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi berkualitas serta kesejahteraan seluruh rakyat secara berkeadilan, dan secara simultan menjaga keberlanjutan (sustainability) dari ekosistem perairan darat, pesisir, dan lautan beserta segenap sumber daya alam dan jasa-jasa lingkungan (environmental services) yang terkandung di dalamnya. 

Sejauh pengetahuan penulis, selama dua periode (2004–2009 dan 2009–2014) pemerintahan Presiden SBY (Kabinet Indonesia Bersatu), kaidah-kaidah pembangunan berkelanjutan tetap dijadikan sebagai dasar pembangunan KP nasional. Mirip dengan GERBANG MINA BAHARI, di awal periode kedua pemerintahan Presiden SBY dicanangkanlah program MINAPOLITAN.

Kendati belum sempurna, namun hasilnya cukup menggembirakan. Sebelum berdirinya KKP pada 1999 total produksi perikanan Indonesia hanya sekitar 3 juta ton menduduki peringkat ke-6 di dunia. Tahun 2004 meningkat menjadi sekitar 10 juta ton yang merupakan negara produsen perikanan terbesar ketiga di dunia.  Kemudian, sejak 2009 Indonesia menjadi produsen perikanan terbesar kedua di dunia, hanya kalah dari China. Sebelum introduksi udang Vanamme pada September 2001, produksi udang budidaya Indonesia hanya menempati peringkat-10 dunia. Sejak 2009 Indonesia menjadi produsen udang Vanamme terbesar ketiga di dunia. 

Produktivitas dan produksi komoditas (spesies) budidaya lainnya (seperti ikan kerapu, kakap, bawal bintang, teripang, abalone, bandeng, udang windu, nila salin, patin, lele, nila, gurame, rumput laut, ikan hias, dan kerang mutiara) pun terus meningkat. Sejak 2004 kewenangan regulasi dan kebijakan pengelolaan produksi tambak garam dialihkan dari Kementerian Perindustrian ke KKP.  Kalau sebelumnya pemenuhan garam konsumsi maupun garam industri sebagian besar dari impor, maka sejak 2012 pemenuhan garam konsumsi sepenuhnya berasal dari produksi tambak garam dalam negeri. Bahkan, sejak dua tahun terakhir Indonesi kelebihan stok garam konsumsi sekitar 2 juta ton. 

Kontribusi sektor perikanan terhadap PDB pada 1999 kurang dari 2 persen, pada 2014 kontribusinya sekitar 3,5 persen.  Pada 1999 jumlah pulau yang bernama hanya sekitar 6.000 pulau, sejak berdirinya Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir, dan Pulau-Pulau di bawah KKP jumlah pulau yang bernama dan resmi diakui oleh PBB terus bertambah signifikan, dan sekarang hampir 15.000 pulau sudah bernama dan diakui PBB.  Sebelum KKP, sebagian besar (85%) pulau kecil tidak berpenghuni atau dihuni oleh penduduk yang kurang produktif (anak-anak atau lansia), dan menjadi beban pembangunan (cost center). Sejak 2001 sampai sekarang banyak pulau-pulau kecil menjadi produktif sebagai pusat pertumbuhan ekonomi baru berbasis perikanan budidaya, perikanan tangkap, pariwisata bahari, pertambangan, dan kegiatan ekonomi lainnya.  

Melalui berbagai program terobosan, seprti (1) pembangunan stasiun pengisian bahan bakar untuk nelayan di pelabuhan perikanan, pendaratan ikan, dan pemukiman nelayan; (2) PEMP (Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir); (3) KUB (Kelompok Usaha Bersama) Mina; (4) Kedai Pesisir; (5) Mitra Bahari; (6) regenarasi dan relokasi nelayan; (7) COREMAP; (8) sistem rantai dingin (cold chain system); (9) pasar ikan higienis; (10) GEMARIKAN;  (11) Kredit Mina Mandiri, Swamitra Mina, dan BNI Bahari;  (12) Sistem Logistik Ikan Nasional; (13) asuransi nelayan; dan (14) BLU perikanan, maka kehidupan nelayan, pembudidaya ikan, pengusaha pengolah dan pedagang perikanan, dan masyarakat pesisir terus membaik.  Kondisi dan kualitas ekosistem pesisir, kawasan konservasi laut pun semakin membaik.

Era Kabinet Indonesia Kerja

Salah satu kebijakan terobosan dan cemerlang Presiden Jokowi dan Wapres Jusuf Kalla (Kabinet Indonesia Kerja, 2014 – 2019) yang mendapat apresiasi dan antusiasme publik adalah menjadikan Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia (PMD). Yakni, Indonesia sebagai negara maju, sejahtera, dan berdaulat berbasis ekonomi kelautan dan hankam serta budaya maritim. Untuk mewujudkan PMD, Presiden Jokowi membentuk Kemenko Maritim. Hasilnya, di sektor pariwisata bahari, peruhubungan laut (pelabuhan dan kapal angkut), ESDM di wilayah pesisir dan lautan, dan industri dan jasa maritim lebih menggeliat dan membaik. 

Di sektor Kelautan dan Perikanan, pemberantasan IUU (Illegal, Unregulated, and Unreported) fishing oleh kapal ikan asing, konservasi, dan penegakkan kedaulatan sudah sangat tepat dan harus dilanjutkan.  Sayangnya, aspek daya saing, pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan nelayan, pembudidaya ikan, pengolah dan pedagang, dan stakeholders KP (Kelautan dan Perikanan) lainnya kurang mendapat perhatian, bahkan cenderung dihambat.

Dalam lima tahunan terakhir, pembangunan sektor KP seolah identik dengan penenggelaman dan pembakaran kapal asing, moratorium kapal ikan berukuran besar (> 150 GT) dan modern, larangan alat tangkap aktif seperti pukat hela dan pukat tarik (cantrang) yang selama ini digunakan oleh mayoritas nelayan, larangan kapal pegangkut ikan kerapu hidup, larangan alih muatan ikan yang memberikan efisiensi peningkatan produktivitas, dan larangan menjual lobster dan kepiting di bawah ukuran tertentu.

Parahnya lagi aturan yang dibuat berlaku surut, sehingga memberikan dampak kerugian dan trauma bagi para pengusaha perikanan yang telah membantu pemerintah dalam melakukan investasi besar dan membangun infrastruktur perikanan yang cukup rumit. Ibarat sebuah mobil, pembangunan kelautan di lima tahun terakhir terlalu banyak ’remnya’, tetapi sedikit sekali ’gas’ nya. 

Akibatnya, banyak sekali pabrik (industri) pengolahan ikan di semua kawasan industri perikanan (Belawan, Bungus, Muara Baru, Cilacap, Benoa, Kendari, Bitung, Tual, Benjina, Ambon, Kaimana, dan Sorong) gulung tikar atau mati suri, karena kekurangan bahan baku. Demikian juga halnya dengan 14 pabrik surimi di Pantura semuanya kolaps. Perikanan budiaya ikan kerapu, lobster, kepiting, dan kepiting soka bangkrut. Ratusan ribu nelayan (termasuk nelayan lobster), pembudidaya, dan karyawan pabrik pengolahan ikan terkena PHK, menganggur.

Selama lima tahun terakhir, komunikasi dan sinergi KKP dengan Kementerian/Lembaga pemerintah lain, Pemerintah Daerah, nelayan, pembudidaya, dan pengusaha pun sangat buruk. Saling curiga, semua pengusaha perikanan tangkap dituduh jahat, nelayan dicap tidak jujur, karena melakukan ‘mark-down’ ukuran kapal ikan, dan stigma negatip lainnya yang dituduhkan KKP kepada stakeholders KP. Faktanya, nelayan, pengusaha, dan stakeholders KP lainya yang baik dan sukses itu jauh lebih banyak ketimbang yang ‘nakal’.

Namun untuk memberhentikan yang ‘nakal’ tersebut, Pemerintah malah menyama-ratakan semua nya sehingga ibarat mau menangkap tikus dalam rumah, rumah tersebut seluruhnya dibakar. Selain itu, Badan Litbang dan Badan Pengembangan SDM (Sumber Daya Manusia) digabung menjadi satu eselon satu. Padahal, sejarah dan fakta empiris membuktikan, bahwa tidak ada sektor pembangunan yang maju dan mampu berkontribusi maksimal bagi kemajuan dan kesejahteraan bangsanya, bila karya hasil litbang (inovasi) dan kualitas SDM nya rendah.  

Untuk memperbaiki kebijakan KP yang keliru diatas, Presiden pun akhirnya menerbitkan INPRES No. 7/2016 tentang Percepatan Pembangunan Industri Perikanan Nasional. Yang intinya adalah menginstruksikan Menteri KP supaya merevisi semua peraturan dan perundangan yang menghambat investasi dan bisnis di sektor KP, dan yang berdampak negatip terhadap kesejahteraan nelayan, pembudidaya ikan, dan masyarakat KP lainnya. Selain itu, memerintahkan seluruh Menteri/Kepala Lembaga Pemerintahan yang terkait agar mendukung Menteri KP dalam menjalankan INPRES tersebut. Malangnya, INPRES tersebut tidak diimplementasikan secara serius dan maksimal.

Semua dampak negatip akibat kebijakan pembangunan KP yang tidak tepat itu telah menimbulkan gelombang demonstrasi nelayan, pembudidaya ikan, karyawan industri pengolahan ikan dimana-mana, dari awal 2015 sampai menjelang Pilpres 17 April 2019. Ratusan perwakilan nelayan dari seluruh tanah air menemui Presiden Jokowi di Istana Negara pada 22 Januari 2019 dengan tuntutan “Jokowi Yes, Susi No”.

Era Kabinet Indonesia Maju

Akhirnya, di periode kedua pemerintahan Presiden Jokowi bersama Wapres KH. Ma’ruf Amin (Kabinet Indonesia Maju, 2019 -2024), Bapak Edhy Prabowo diangkat sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan yang baru. Selain 5 visi Presiden (peningkatan daya saing dan pertumbuhan ekonomi berkualitas, melanjutkan pembangunan infrastruktur, membangun SDM unggul, transformasi struktur ekonomi dari berbasis komoditas ke inovasi dan produk industri bernilai tambah, dan reformasi birokrasi dan iklim investasi/Omnibus Law),  Presiden juga memberikan dua instruksi khusus, yakni memperbaiki komunikasi dan sinergi dengan seluruh pemangku kepentingan KP, dan pengembangan perikanan budidaya.  

Maka, pada 5 Februari 2020 Menteri Edhy Prabowo meluncurkan “Arah Baru Kebijakan Kelautan dan Perikanan”. Intisari dari arah baru kebijakan tersebut mencakup dua aspek (domain): (1) cara kerja dan komunikasi, dan (2) substansi kebijakan. Dalam hal cara kerja (etos kerja) dan komunikasi, Menteri Edhy meminta seluruh pejabat dan staf KKP di pusat maupun daerah agar bersikap kritiis, dan dapat memberikan saran serta solusi masalah secara konstruktif kepada dirinya. 

Beliau akan memberikan insentif kepada setiap pejabat dan staf KKP yang secara terbuka memberikan kritik membangun dan solusi bagi permasalahan pembangunan KP.  Sementara, sebelumnya hampir semua pejabat KKP yang berbeda pendapat dengan Menterinya, pasti di ‘non-jobkan’. Menteri Edhy menginstruksikan kepada seluruh pejabat dan karyawan KKP harus melayani, mempermudah, membantu, dan meningkatkan kapasitas nelayan, pembudidaya ikan, dan stakeholders KP lainnya. Sebelum, suatu kebijakan (Peraturan Menteri dan regulasi lain) dikeluarkan, harus dimusyawarahkan (konsultasi publik) dengan–dan disosialisasikan lebih dulu kepada stakeholders KP.

Secara substansi, arah baru kebijakan KP memastikan bahwa seluruh kebijakan dan program pembangunan KP harus berdasarkan pada: (1) visi Presiden, (2) tugas dan fungsi pokok KKP (pembangunan sumber daya kelautan dan perikanan serta kesejahteraan secara sustainable), (3) prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan, dan (4) IPTEKS. Maka, ke depan kebijakan dan program pembangunan sektor KP harus mampu: (1) mengatasi sejumlah permasalahan internal sektor KP; (2) berkontribusi signifikan dalam pemecahan permasalahan bangsa; dan (3) meningkatkan pendayagunaan potensi pembangunan KP untuk mewujudkan Indonesia yang maju, adil-makmur, dan berdaulat, paling lama pada 2045.  

Rencana Pembangunan Jangka Menengah, 2019 - 2024

1. Perikanan Tangkap

Di sektor perikanan tangkap, upaya pemberantasan IIU fishing terutama oleh nelayan asing, yang telah dilaksanakan sejak berdirinya KKP (September 1999) dan telah menunjukkan keberhasilannya, harus dilanjutkan dan lebih disempurnakan. Sehingga, IUU fishing dapat ditumpas secara tuntas. Demikian juga halnya program untuk menjaga daya dukung, kualitas, dan kelestarian sumberdaya hayati beserta ekosistem perairan. 

Contohnya adalah: penyusunan dan implementasi RTRW pesisir dan lautan yang terintegrasi dengan RTRW lahan atas (upland areas) yang sampai sekarang baru selesai di 20 propinsi;  pengendalian pencemaran termasuk program bersih pantai (beach clean up) dan perang melawan sampah plastik; rehabilitasi ekosistem perairan yang telah rusak (terumbu karang, mangrove, padang lamun, dan lainnya); restocking dan stock enhancement di wilayah-wilayah perairan yang telah overfishing secara tepat dan benar; revitalisasi manajemen kawasan konservasi laut (marine protected areas) dan pengembangan kawasan konservasi laut yang baru sesuai kebutuhan; konservasi keanekaragaman hayati perairan (aquatic biodiversity) pada tingkat spesies, ekosistem, dan genetik; dan mitigasi serta adaptasi terhadap Perubahan Iklim Global, tsunami, gempa bumi, dan bencana alam lain. 

Apabila diimplementasikan secara benar dan berkesinambungan, program ini tidak hanya akan menopang keberlanjutan (sustainability) pembangunan sektor perikanan tangkap, tetapi juga sektor perikanan budidaya, sektor pariwisata, sektor ekonomi maritim lain, bahkan kehidupan manusia secara keseluruhan.  

Dalam lima tahun kedepan, akan dikembangkan sekitar 5.000 unit armada kapal ikan modern baru dengan ukuran kapal diatas 100 GT dan alat tangkap yang produktif, efisien, dan ramah lingkungan, seperti tuna longline, purse seiners, pukat ikan, pukat udang, dan squid jiggling. Untuk memanen sumber daya ikan di wilayah-wilayah perairan yang selama ini menjadi ajang pencurian ikan (IUU fishing) oleh nelayan asing. Contohnya: wilayah perairan laut Natuna, Laut Sulawesi, Laut Banda, Laut Arafura, ZEEI Samudera Pasifik, ZEEI Samudera Hindia, dan wilayah perairan laut yang berbatasan dengan negara tetangga. 

Revitalisasi pelabuhan perikanan dan bangun pelabuhan perikanan baru yang dilengkapi dengan kawasan industri perikanan terpadu sebagai tempat pendaratan (landing base) dan penjualan ikan hasil tangkap armada kapal ikan modern tersebut. Pelabuhan swasta yang telah diinvestasikan oleh nelayan pengusaha juga dapat diinventarisir kembali dan didorong untuk membantu pemerintah dalam menciptakan tempat pendaratan ikan yang efisien demi meningkatkan kualitas dan produksi, terutama pada lokasi di Indonesia Timur yang cenderung memiliki infrastruktur yang terbatas. 

Kebijakan dan program ini selain akan mengusir kapal-kapal ikan asing dari wilayah perairan NKRI, juga bakal membangkitan kawasan-kawasan industri KP sebagai pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru di luar Jawa, khususnya di wilayah terdepan, terpencil, dan tertinggal (T3). Pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru ini akan tersebar mengitari wilayah kepulauan NKRI bagaikan sabuk kemakmuran (prosperity belt), yang sekaligus dapat berfungsi sebagai sabuk keamanan dan kedaulatan (security and sovereignty belt). Apalagi, bila kawasan industri perikanan terpadu itu diikuti dengan pembangunan kawasan-kawasan industri berbasis pariwisata, industri manufakturing, industri kreatif berbasis Industri 4.0, dan jenis-jenis industri lainnya.  

Kapal ikan dan nelayan yang mengoperasikan armada kapal ikan modern ini terutama berasal dari wilayah-wilayah perairan NKRI yang telah overfishing, seperti perairan Pantura, sebagian Selat Malaka, dan Pantai Selatan Sulawesi. Sebaiknya, armada kapal ikan modern ini juga dimiliki oleh para nelayan nasional berbasis Koperasi atau lembaga usaha bersama lain yang cocok, bekerjasama dengan korporasi besar yang memiliki industri pengolahan hasil perikanan untuk memasok pasar dalam negeri maupun ekspor. Dengan demikian, ke depan p ara nelayan akan mendapatkan jaminan pasar bagi ikan hasil tangkapnya dengan harga yang menguntungkan dan relatif stabil, tidak fluktuatif seperti selama ini. Pada saat yang sama, pihak industri pengolahan hasil perikanan pun akan terjamin suplai bahan bakunya secara berkelanjutan.  

Kapal-kapal ikan tradisional yang jumlahnya mencapai 95 persen dari total kapal ikan nasional (sekitar 600.000 unit kapal), harus secara bertahap dimodernisasi dengan teknologi mutakhir yang tepat guna. Hal ini sangat penting untuk meningkatkan produktivitas, pendapatan, dan kesejahteraan nelayan. Nelayan tradisional juga harus dimitra-kerjakan dengan industri-industri pengolahan hasil perikanan secara saling mengungtungkan (a win-win cooperation) seperti halnya untuk nelayan modern diatas.  

Untuk menjamin usaha perikanan tangkap yang mensejahterakan seluruh nelayan dan pelaku usaha yang terlibat dalam sistem rantai pasok nya secara ramah lingkungan dan berkelanjutan, maka pertama yang harus dilakukan adalah bahwa laju (tingkat) penangkapan ikan (berupa jumlah dan lama waktu kapal ikan yang beroperasi) di suatu wilayah perairan tidak boleh melebihi MSY (Maximum Sustainable Yield) nya.  Untuk negara berkembang, termasuk Indonesia, yang statusnya masih sebagai negara berpendapatan menengah bawah (rata-rata pendapatan perkapitanya baru 4.000 dolar AS), dengan angka pengangguran dan kemiskinan masih tinggi, lebih dari 30 persen anak dan remajanya menderita stunting growth dan gizi buruk, dan daya saing dan Indeks Pembangunan Manusianya masih rendah, maka kebijakan yang menghambat pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan nelayan harus dihentikan. 

Contohnya, moratorium kapal ikan diatas 200 GT, moratorium pukat hela dan pukat tarik (pukat udang yang memberikan nilai ekspor tinggi) termasuk cantrang, kapal pengangkut ikan dan suplai perbekalan melaut untuk usaha penangkapan ikan lebih dari 10 kapal penangkap ikan (a group fishing), dan lainnya. Yang harus dilakukan ke depan bukanlah moratorium, tetapi pengendalian dan penataan melalui pembatasan kuota penangkapan ikan tidak melebihi MSY, penjarangan ukuran mata jaring, pelarangan aktivitas penangkapan ikan pada waktu-waktu tertentu (closed seasons), pelarangan penangkapan ikan di daerah-daerah tertentu seperti daerah pemijahan dan asuhan ikan (closed areas), dan teknik pengelolaan (management measures) perikanan tangkap lainnya.  

Selain itu, setiap unit usaha perikanan tangkap harus memenuhi skala ekonomi (economy of scale) nya supaya pendapatan (income) nya mensejahetrakan nelayan, yakni minimal 300 dolar AS (Rp 4,2 juta)/nelayan/bulan. Nelayan mesti dilatih dan dibimbing untuk menerapkan Best Handling Practices, mulai ikan naik palkah kapal sampai di pelabuhan perikanan/tempat pendaratan ikan. Di setiap pelabuhan perikanan dan tempat pendaratan ikan harus tersedia seluruh sarana produksi perikanan tangkap (jaring, alat tangkap lain, suku cadang mesin kapal, BBM, dan lainnya) dan bahan perbekalan melaut (beras, mie, lauk pauk, dan lainnya) dengan kualitas yang bagus, harga terjangkau oleh nelayan, dan kuantitas yang mencukupi kebutuhan nelayan setiap saat. 

Sistem Logistik Perkanan Nasional (storage, transportation, and distribution) yang sudah terbangun sejak 2002 harus terus direvitalisasi dan dikembangkan. SISLOGKANNAS ini sangat penting supaya transportasi dan distribusi komoditas dan produk perikanan dari kawasan pelabuhan perikanan/pendaratan ikan serta kawasan industri pengolahan hasil perikanan ke lokasi pasar domestik mapun pelabuhan/bandar ekspor dapat lebih cepat, efisien, murah, kompetitif, dan aman. Demikian juga halnya, untuk transportasi mendatangakan sarana produksi perikanan tangkap dan perbekalan melaut dari pabrik-pabrik produsen ke pelabuhan perikanan dan pemukiman nelayan.  

Mengingat seluruh nelayan di dunia, termasuk di Indonesia tidak bisa melaut setahun penuh. Kurang lebih 4-8 bulan dalam setahun, nelayan tidak bisa melaut lantaran cuaca buruk atau musim paceklik ikan. Maka, pemerintah berkewajiban untuk menyediakan matapencaharian substitusi (alternatif) selama masa 4 bulan tersebut. Supaya nelayan tetap mendapatkan penghasilan, sehingga tidak terjerat rentenir seperti selama ini terjadi. Contohnya, melalui pengembangan usaha pengolahan ikan seperti kerupuk, baso, otak-otak, usaha perikanan budidaya laut, payau, mupun tawar, dan usaha lainnya sesuai dengan potensi pembangunan dan kondisi sosial ekonomi dan budaya setempat.

2. Perikanan Budidaya

Di sektor perikanan budidaya, akan dilakukan program revitalisasi, diversifikasi, dan ekstensifikasi usaha perikanan budidaya di wilayah perairan laut (mariculture), perairan payau atau tambak (coastal aquaculture), dan perairan darat. Program revitalisasi bertujuan untuk meningkatkan produktivitas, efisiensi, daya saing, inklusivitas, dan keberlanjutan setiap unit usaha perikanan budidaya yang ada (existing). Program diversifikasi mengandung arti mengembangkan usaha perikanan budidaya dengan spesies baru, seperti udang jerbung, udang rostris, ikan Cobia, rajungan, gonggong, teripang, lobster air tawar (Cerax spp), dan invertebrata. 

Program ini sangat penting untuk memenuhi permintaan terhadap komoditas dan produk akuakultur yang terus meningkat. Selain itu, negara China dengan biodiversity yang jauh lebih rendah ketimbang yang Indonesia miliki, telah sukses membudidayakan sedikitnya 100 spesies ikan, krustasea, moluska, rumput laut, dan invertebrata. Sedangkan, Indonesia hingga kini baru berhasil membudidayakan kurang dari 30 spesies.  

Program ekstensifikasi berarti mengembangkan usaha akuakultur di daerah dan wiayah baru. Komoditas unggulan untuk program ekstensifikasi di wilayah perairan laut antara lain adalah: kakap putih (Barammundi), beberapa jenis kerapu, bawal bintang, lobster, teripang, beberapa jenis rumput laut, dan kerang mutiara.   Komoditas unggulan untuk usaha budidaya di perairan payau (tambak) antara lain meliputi: udang Vannamei, udang Windu, ikan Bandeng, Nila salin, kepiting bakau, kepiting soka, dan beberapa jenis rumput laut (Gracillaria spp). Komoditas unggulan untuk budidaya di ekosistem perairan tawar (sungai, danau, bendungan, saluran irigasi, kolam air tawar, sawah alias minapadi, akuarium, dan wadah lainnya) antara lain adalah: ikan nila, gurame, ikan emas, patin, baung, belida, lele, gabus, bawal air tawar, dan udang galah.

Supaya produktif, efisien, berdaya saing, dan mensejahterakan secara berkelanjutan, semua usaha perikanan budidaya, baik melalui program revitalisasi, diversifikasi maupun ekstensifikasi harus memenuhi skala ekonominya. Selain itu, menerapkan Best Aquaculture Practices (Cara-Cara Budidaya Terbaik): (1) penggunaan bibit dan benih unggul (SPF, SPR, fast growing, dan good taste); (2) penggunaan pakan berkualitas dan cara pemberian pakan yang tepat dan benar; (3) pengendalian hama dan penyakit; (4) manajemen kualitas air; (5) teknik perkolaman (pond engineering); (6) teknologi budidaya yang mutakhir dan tepat seperti teknik bioflock dan RAS; dan (7) biosecurity.   

Kemudian, padat penebaran spesies budidaya tidak boleh melebihi daya dukung setiap kolam, tambak, KJA atau wadah lainnya. Dan, intensitas (laju) pembangunan perikanan budidaya dalam suatu satuan wilayah (desa, kecamatan, kabupaten, propinsi, atau satuan ekosistem seperti DAS) tidak melampaui daya dukung lingkungan wilayah tersebut. Dalam hal ini, intensitas pembangunan perikanan budidaya ditentukan oleh luas areal usaha budidaya dan padat penebaran.  

Kita juga harus menerapkan manajemen rantai pasok dan nilai secara terpadu, dari hulu (subsistem produksi), processing and packaging, distribusi, sampai ke pemasaran. Dengan demikian, pasokan sarana produksi dan pemasaran hasil panen dengan harga yang menguntungkan akan terjamin stabil, dan industri pengolahan hasil panen budidaya pun terjamin secara berkelanjutan. 

Melalui program revitalisasi, diversifikasi, dan ekstensifikasi, kita tingkatkan produktivitas dan volume produksi berbagai spesies budidaya, khususnya spesies-spesies (komoditas) unggulan seperti diuraikan diatas. Atas dasar kelayakan (feasibility) nya, kita kembangkan kawasan industri akuakultur terpadu berbasis komoditas dan kluster, seperti kluster industri udang Vannamei, barramundi, kerapu, bandeng, rumput laut, kerang mutiara, nila, patin, dan lele.  

Pengembangan industri pakan yang berkualitas dengan harga relatif murah dan FCR rendah: trash fish, by catch, magot, micro alage, dll. Manajemen lingkungan kawasan: pengendalian pencemaran dan konservasi biodiversity. Penyediaan sarana produksi dan infrastruktur berkualitas yang mencukupi. Penguatan R & D untuk penguasaan dan aplikasi inovasi teknologi, business models, dan marketing.

3. Industri Pengolahan Hasil Perikanan dan Hasil Laut

Di sektor industri pengolahan hasil perikanan dan hasil laut, dengan mengimplementasikan segenap kebijakan dan program perikanan tangkap dan perikanan budidaya seperti diatas, maka pasokan bahan baku akan terjamin keberlanjutannya. Tinggal, kita tingkatkan kualitas, keamanan pangan, kemasan, dan daya saing produk olahan perikanan kita sesuai dengan dinamika selera konsumen domestik maupun global. Kita pun harus terus menerus menghasilkan inovasi (new product development) produk-produk olahan hasil perikanan sesuai perkembangan selera konsumen dan pasar dalam negeri maupun global.

4. Industri Bioteknologi Perairan

Industri bioteknologi perairan, terutama ekstraksi senyawa bioaktif untuk pengembangan industri farmasi, kosmetik, functional foods, film, pewarna, biofuel, dan beragam industri lainnya mesti terus diperkuat dan dikembangkan. Kita juga harus mengembangkan genetic engineering untuk menghasilkan induk dan benih ikan, udang, kepiting, moluska, rumput laut, tanaman pangan, dan biota lainnya yang unggul. Industri bioteknologi kelautan bisa kita kembangkan sebagai sumber pertumbuhan baru.

Potensi ekonomi industri ini diperkirakan empat kali nilai ekonomi dari industri teknologi informasi dan komunikasi (TIK). Industri biotekonologi kelautan meliputi 3 cabang industri: (1) ekstraksi senyawa bioaktif dari biota laut sebagai bahan dasar untuk industri makanan dan minuman, farmasi, kosmetik, pewarna, biofuel, dan beragam industri lainnya; (2) genetic engineering untuk menghasilkan bibit dan benih unggul; dan (3) bioremediasi untuk mengatasi pencemaran lingkungan. 

Seluruh Kebijakan dan Program diatas harus semaksimal mungkin memanfaatkan jenis-jenis teknologi di Era Industry 4.0 dan etos kerja di era  Society 5.0. Penerapan teknologi industri 4.0 ini akan lebih mampu mengeksplorasi potensi, mengefisienkan sumberdaya, meningkatkan produktivitas dan nilai tambah, memperluas akses pasar dan modal, serta memodernisasi organisasi dan manajemen. 

Teknologi yang sudah dikembangkan seperti aplikasi Nelayan Pinter (NELPIN) dan Navigasi Nelayan Marlin (NN MARLIN) yang mendukung aktivitas nelayan dengan memberikan informasi lokasi potensi ikan, prediksi cuaca, ketinggian gelombang laut, arah dan kecepatan angin, lokasi tempat pelelangan ikan (TPI), perkiraan BBM, hingga harga ikan. eFishery dan JALA yang mendukung usaha perikanan budidaya untuk manajemen pakan dan kualitas air. Serta MINAPOLI, FISHBY, INFISHTA, VENAMBAK, dan IWA-KE yang membantu akses usaha perikanan terhadap permodalan dan pemasaran.

Untuk menjamin keberhasilan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Sektor Kelautan dan Perikanan diatas, maka seluruh kementerian dan lembaga pemerintah (public policies) yang terkait dengan sektor KP, seperti kebijakan fiskal dan moneter, ekspor – impor, infrastruktur, RTRW, lingkungan hidup, pendidikan, IPTEK, iklim investasi, dan kemudahan berbisnis harus lah kondusif bagi tumbuh – kembangnya sektor KP.

Program Quikc Wins (2020 – 2022)

Pada dasarnya, program quick wins KP meliputi: (1) program pembangunan terobosan yang dalam waktu singkat (4 bulan sampai 2 tahun) dapat meningkatkan produktivitas, produksi, nilai ekspor, pertumbuhan ekonomi, lapangan kerja, dan kesejahteraan rakyat; dan (2) revisi dan pencabutan 29 Peraturan Menteri dan regulasi lain yang menghambat investasi, bisinis, kesejahteraan, dan pembangunan berkelanjutan sektor KP.

Program terobosan antara lain terdiri dari enam program berikut. Pertama, Indonesia Seaweed Incorporated: (1) industri dan traders menjamin pasar rumput laut dengan harga sesuai nilai keekonomian, khususnya pembudidaya; (2) industri dan traders berupaya maksimal mengembangakan processing industry di dalam negeri; (3) pembudidaya menjamin kuantitas dan kualitas pasok rumput laut; dan (4) pemerintah memfasilitasi. 

Kedua, start up di bidang perikanan budidaya, perikanan tangkap, industri pengolahan, dan E-commerce. Ketiga, Tambak udang Vanamme skala rakyat. Keempat, Pendekatan ekonomi dan hankam untuk Laut Natuna dan WPP 711. Kelima, Garam rakyat ditransformasi untuk memenuhi kebutuhan garam konsumsi dan industri, dan Kenam, Perampungan pembangunan dan operasionalisasi 14 SKPT (dengan evaluasi kelayakan) dengan memberikan hak pengelolaan kepada pengusaha nasional (seperti PT. Kelola Mina Laut, PT. BMI, PT. Medan Canning, PT. Bomer, PT. Darma Samudera, PT. Saefer, PT.AKFI dan PT. Ocean Mitra Mas) atau pengusaha internasional (PMA atau KSO) dengan memberikan izin kapal penangkapan ikan sesuai MSY fishing grounds.  Pengusaha internasional: Samsung, Jepang, Thailand, dan Tiongkok.

Sedangkan, revisi peraturan dan regulasi tahap pertama meliputi sembilan aspek berikut. Pertama, Transhipment (Permen KP No. 57/2014): kapal pengangkut untuk group fishing, kapal pengangkut ikan dari sentra produksi perikanan ke lokasi pasar dalam negeri dan pelabuhan ekspor, dan kapal pengangkut ikan hidup dibolehkan. Kedua, Pembatasan ukuran kapal ikan yang beroperasi di wilayah perairan NKRI, dari maksimal 150 GT (Surat Edaran Dirjen PT No. D1234/DJPT/PI.470.D4/31/12/2015 tentang Batasan Ukuran kapal Ikan ) menjadi bisa lebih besar dari 150 GT bergantung pada target species dan kondisi oseanografis dan klimatologis untuk wilayah perairan NKRI, dan lebih besar dari 200 GT untuk wilayah perairan laut internasional (di luar ZEEI).

Ketiga, Pengendalian dan pengaturan (bukan moratorium) cantrang dan active fishing gears lainnya (Permen KP No.71/2016): zonasi, ukuran kapal, ukuran mata jaring, cara operasi, dll. Keempat, Pengoperasian Kapal buatan luar negeri (ex kapal asing) dengan syarat: (1) secara syah (SNI) sudah milik pengusaha Indonesia (sekitar 550 kapal), (2) sekitar 800 kapal eks asing yang belum clear and clear yang masih berada di Indonesia dibeli dan dioperasikan oleh Koperasi Nelayan atau BUMN perikanan, (3) 75?K dari Indonesia(baiknya “seluruh ABK dari Indonesia dengan maksimal 3 tenaga ahli dari luar per kapal tangkap untuk transfer ilmu penangkapan baik untuk kapal lokal maupun kapal eks asing”), dan (4) mendaratkan dan mengolah ikan hasil tangkapan di Indonesia.

Kelima, Pengelolaan lobster (Permen KP No. 56/2016) yang mensejahterakan rakyat dan berkelanjutan: penangkapan benih lobster (masih bening/transparan) diizinkan terutama untuk dibudidayakan di dalam wilayah NKRI, restcoking, dan sebagian diekspor secara ketat, terkendali, dan terbatas.  Pemegang izin ekspor benih diwajibkan untuk mengembangkan usaha budidaya (pembenihan dan pembesaran) lobster dan restocking di wilayah perairan NKRI. Keenam, Pengelolaan produksi dan perdagangan kepiting soka à ukuran dari 200 gram menjadi 60–80 gram. Ketujuh, Revisi besaran dan cara pembayaran PHP. Kedelapan, Peningkatan alokasi kredit untuk usaha KP melalui BLU (suku bunga 3%) maupun kredit lunak Bank BUMN, serta pengecualian dari daftar negatif investasi bagi pengusaha perikanan tangkap yang melantai bursa (Go Public). Dan Kesembilan, Pencabutan Premen KP No.58/2014 tentang Disiplin ASN KKP.

Akhirnya, pembangunan perikanan tangkap, perikanan budidaya, industri pengolahan hasil perikanan, dan industri bioteknologi perairan sebagaimana diuraikan diatas memerlukan infrastruktur berkualitas yang memadai, modal (finansial) yang mencukupi, inovasi teknologi termasuk Industri 4.0, SDM berkualitas, iklim investasi dan kemudahan berbisnis yang kondusif dan atraktif, serta harmonisasi regulasi dan kebijakan antara kementerian/lembaga terkait dengan pemerintah daerah.

* Penulis adalah Guru Besar Manajemen Pembangunan Sumber Daya Pesisir dan Lautan– IPB University, Ketua Umum Masyarakat Akuakultur Indonesia, dan Ketua Dewan Pakar Masyarakat Perikanan Nusantara

Editor: Tokohkita

TERKAIT


TERPOPULER