Rokhmin Dahuri

Pancasila untuk Dunia

  1. Beranda /
  2. Opini /
  3. Kamis, 12 Maret 2020 - 18:36 WIB

Rokhmin Dahuri/Istimewa
Rokhmin Dahuri
Foto: Istimewa

Bila Indonesia mampu menjadi negara-bangsa maju, adil-makmur, dan berdaulat serta berperan aktif dan signifikan dalam menjaga perdamaian dunia sesuai nilai-nilai Pancasila, maka ia akan menjadi a role model, dan Pancasila sebagai paradigma pembangunan ekonomi dunia adalah sebuah keniscayaan.

Sejak Revolusi Industri Pertama pada tahun 1750-an sampai sekarang, Kapitalisme menjadi ideologi dan sekaligus paradigma ekonomi utama yang dianut oleh hampir semua bangsa di dunia. Secara makroekonomi, Kapitalisme telah berhasil memacu pertumbuhan ekonomi global rata-rata 3,5 persen per tahun. Sehingga, mampu meningkatkan PDB Dunia dari sekitar 0,45 trilyun dolar AS pada 1753 menjadi 90 trilyun dolar AS pada 2015 (Sach, 2015). 

Kapitalisme pun sukses menciptakan ekosistem kondusif bagi inovasi IPTEK yang telah melahirkan empat gelombang Revolusi Industri.  Sejak tahun 2000, dunia memasuki Revolusi Industri Keempat yang berbasis pada Artificial Intelligence, Internet of Things, Big Data, robotics, new materials, dan bioteknologi.  Pesatnya kemajuan IPTEK telah membuat ekonomi dunia semakin berkembang, produktif, efisien, dan kompetitif.  Kehidupan keseharian manusia pun semakin sehat, mudah, murah, cepat, dan nyaman.  

Namun, hingga kini belum semua negara-bangsa di dunia sudah maju dan makmur (high-income country) dengan PDB per kapita diatas 11.750 dolar AS.  Dari 194 negara di dunia, baru 55 negara (28%) yang telah maju dan makmur, 103 negara (53%) berstatus sebagai negara berpendapatan menengah (middle-income country) dengan PDB per kapita antara 2.000 – 11.750 dolar AS, dan 36 negara (19%) masih miskin (poor country) dengan PDB per kapita lebih kecil dari 2.000 dolar AS (UNDP, 2018).  Pada 2019, PDB per kapita Indonesia baru mencapai 4.000 dolar AS.

Yang lebih menyedihkan, saat ini sekitar 1 milyar (14%) penduduk dunia masih fakir (miskin absolut) dengan pengeluaran kurang dari 1,25 dolar AS per hari, dan sekitar 3 milyar warga dunia (41%) masih miskin dengan pengeluaran kurang dari 2 dolar AS per hari.   Sekitar 1,3 milyar warga dunia hidup di kawasan pemukiman yang tidak teraliri jaringan listirk; 900 juta orang tidak mendapatkan air bersih; dan 2,6 milyar orang hidup di pemukiman dengan sanitasi buruk (UNDP, 2018).
 
Kapitalisme juga telah mengakibatkan ketimpangan ekonomi semakin melebar.  Pada tahun 1800, perbedaan total PDB antara negara-negara kaya (Eropa) dengan negara-negara miskin di dunia sebesar 90 persen.  Pada tahun 2000 perbedaan tersebut meningkat secara dramatis menjadi 750 persen, sekitar 8 kali lipat.  Kemudian pada 2010, 388 orang terkaya di dunia memiliki total kekayaan sama dengan total kekayaan dari 50 persen penduduk dunia yang termiskin.  Dan, pada 2017 jumlah orang terkaya dengan total kekayaan sama dengan yang dimiliki oleh 50 persen penduduk dunia termiskin berkurang menjadi hanya 8 orang (Oxfam International, 2018).  

Fakta lain yang menunjukkan betapa timpangnya kondisi sosial-ekonomi global adalah  laju kosumsi energi antar bangsa di dunia.  Dewasa ini, negara-negara industri maju (OECD) dengan total penduduk hanya 18 persen dari total penduduk dunia mengkonsumsi sekitar 70 persen dari total konsumsi energi dunia, dan 87 persen dari energi yang mereka gunakan berupa energi fosil. Inilah ‘biang kerok’ dari terjadinya pemanasan global (IPCC, 2019).  Kapitalisme juga telah menimbulkan pencemaran lingkungan, degradasi ekosistem alam, terkikisnya keanekaragaman hayati, Perubahan Iklim Global, dan berbagai jenis kerusakan lingkungan lainnya. Intensitas kerusakan lingkungan tersebut sudah pada tingkat
yang telah mengancam kapasitas keberlanjutan ekosistem bumi dalam mendukung pembangunan ekonomi, dan bahkan kehidupan umat manusia itu sendiri (Al Gore, 2017).  

Di bidang sosial-budaya, Kapitalisme telah menimbulkan beragam kriminalitas dan penyakit sosial. Di seluruh dunia, khususnya di kawasan perkotaan, kehidupan warganya menderita depresi yang semakin dalam. Mabuk minuman keras, narkoba, perzinahan, HIV/AIDS, perampokan, frustasi, dan bunuh diri merebak dimana-mana.  Perasaan saling curiga, distrust, hoax, hipokrit, dan permusuhan juga kian masif.
Pengangguran, kemiskinan, ketimpangan ekonomi, dan ketidak-adilan telah mengakibatkan kecemburuan sosial, demonstrasi anarkis, radikalisme, dan bahkan terorisme. Gelombang migrasi manusia dari negara-negara miskin atau dilanda perang, seperti Afrika, Timur Tengah, Asia Selatan, dan Amerika Latin ke negara-negara industri maju (Eropa, Amerika Serikat, Kanada, dan Australia) semakin tak terbendung.  Sementara, menguatnya gerakan rasisme, populisme, dan proteksionisme di negara-negara maju, terutama semenjak era Brexit dan kepemimpinan Presiden Donald Trump, membuat semakin banyak negara
maju yang menolak kedatangan para imigran yang bernasib malang tersebut.   

Dunia Kapitalistik dimana kekayaan hanya dikuasai oleh segelintir orang, juga telah membuat semakin terkonsentrasinya kekuatan politik pada sekelompok elit yang menggunakan kekuasaannya hanya untuk kepentingan pribadi atau kelompoknya.  Ketika ketimpangan ekonomi dan kosentrasi kekuasaan politik semakin tajam, maka rasa saling percaya di tengah kehidupan masyarakat memudar. Sebaliknya, fragmentasi sosial dan kebencian akan memuncak yang berujung pada konflik bersenjata alias perang.  Dalam dekade terakhir, krisis geopolitik pun semakin meruncing di berbagai belahan dunia,
khususnya di kawasan Timur Tengah, Amerika Latin, Semenanjung Korea, dan Laut Cina Selatan.  

Cacat Bawaan Kapitalisme
 Singkatnya, Kapitalisme secara kasat mata telah gagal menghantarkan umat manusia kepada tujuan kemanusiaan yang hakiki, yakni kehidupan dunia yang berkemajuan, sejahtera, adil, damai, ramah lingkungan dan berkelanjutan.  Kegagalan itu disebabkan  karena kapitalisme sejatinya memiliki kelemahan secara paradigmatik maupun pada cara kerjanya. Dalam kapitalisme, secara ontologis manusia diasumsikan memiliki karakter egoistis (selfish), sehingga moralitasnya adalah kebebasan hidup (liberalisme).  Selain itu, kapitalisme juga menganggap bahwa kehidupan manusia itu hanya di dunia ini saja, tidak percaya adanya akhirat. Maka, wajar bila moralitas para kapitalis sangat konsumtif, hedonis, dan bernafsu untuk mengeksploitasi orang lain (homo homini lupus).  

Pada tataran praksis, orientasi kerja kapitalisme adalah bagaimana meraup keuntungan sebesar-besarnya dalam waktu sesingkat mungkin, tanpa mengindahkan kepentingan bersama (orang lain), dan tak peduli halal atau haram.  Di bidang ekonomi, penetapan harga, produksi, konsumsi, dan distribusi barang dan jasa (goods and services) semuanya diserahkan kepada mekanisme pasar dengan ’invisible hand’ nya.  Tidak boleh ada campur tangan pemerintah (negara). Hasil survei yang selama dua dekade terakhir dilakukan oleh the Edelman Trust Barometer (2020) di 28 negara maju dan berkembang dengan 34.000 responden menunjukkan bahwa mayoritas (60 persen) penduduk dunia menganggap bahwa Kapitalisme
lebih banyak mudharat ketimbang maslahat nya.

Untuk mencegah dunia dari kehancuran, maka masyarakat dunia harus memperbaiki Sistem Kapitlisme secara fundamental atau mencari alternatif paradigma pembangunan yang mampu mengatasi sejumlah permasalahan kemanusiaan diatas. Karena, paradigma pembangunan utama lainnya, Komunisme telah mati sejak 1989 bersamaan dengan runtuhnya Emporium Uni Soviet, maka Pancasila dapat menjadi paradigm alternatif menuju dunia yang lebih baik, sejahtera, berkeadilan, damai, dan berkelanjutan.  
 Dalam perspektif Pancasila, manusia dan alam semesta adalah makhluk ciptaan Tuhan YME.  Selain homo sapiens dan homo economicus (makhluk ekonomi), manusia juga homo religiosa (makhluk beragama). 

Manusia tidak hanya tersusun oleh jasad-fisik (jasmani), tetapi juga oleh ruh (rohani).  Maka, kepuasan dan kebahagiaan insan Pancasilais tidak hanya berupa terpenuhinya kebutuhan jasmani, harta, jabatan, popularitas, dan atribut-atribut duniawi lainnya, tetapi juga terpenuhinya kebutuhan spiritual.  Seorang Pancasilais juga mengimani bahwa kehidupan di dunia ini sifatnya hanya sementara.  Setelah kematian, manusia akan meninggalkan dunia yang fana menuju kehidupan akhirat yang sebenarnya dan abadi.  Semua harta-benda, jabatan, istri dan anak keturunan yang dicintainya tidak menyertainya ke alam
kubur dan akhirat.  Hanya selembar kain kafan dan amal perbuatannya yang setia menemaninya ke alam akhirat untuk menghadap Tuhan yang menciptakannya.  Bergantung pada iman dan amal-salehnya, manusia akan menggapai kebahagiaan (surga) atau siksaan (neraka) di akhirat kelak. 

Dengan world view diatas, maka seorang Pancasilais dalam menjalankan kehidupan, baik sebagai individu maupun kelompok masyarakat (bangsa) pasti akan dilandasi dengan keimanan dan niat ikhlas karena Tuhan YME.  Berperilaku adil dan beradab baik untuk bangsanya sendiri maupun masyarakat dunia.  Mengutamakan persaudaraan, toleransi , dan persatuan, ketimbang perpecahan, apalagi perang. Mengedepankan azas musyawarah – mufakat yang dilandasi oleh hikmah dan kebijaksanaan di dalam  proses perencanaan dan pengambilan keputusan terkait dengan kehidupan berbangsa dan bernegara, bukan  voting dan pemilihan langsung.  Dan, dia pasti akan berbagi kelebihan (harta, IPTEK, dan kekuasaan) kepada sesama yang membutuhkan secara berkeadilan.  

Bila Indonesia mampu menjadi negara-bangsa maju, adil-makmur, dan berdaulat  serta berperan aktif dan signifikan dalam menjaga perdamaian dunia sesuai nilai-nilai Pancasila, maka ia akan menjadi a role model, dan Pancasila sebagai paradigma pembangunan ekonomi dunia adalah sebuah keniscayaan.

*Penulis adalah Ketua DPP PDI-Perjuangan

Editor: Tokohkita

TERKAIT


TERPOPULER