Farouk Abdullah Alwyni

Lagi, Persoalan BPJS Kesehatan & SMI

  1. Beranda /
  2. Opini /
  3. Sabtu, 7 September 2019 - 14:29 WIB

Farouk Abdullah Alwyni/Dokumen pribadi
Farouk Abdullah Alwyni
Foto: Dokumen pribadi

Sebuah hal yang menurut saya “absurd” di tengah persoalan defisit yang di hadapi oleh BPJS Kesehatan. lLbih dari Rp 300 juta untuk direksi dan lebih dari Rp 200 juta untuk dewan pengawas, bahkan mungkin jauh lebih tinggi di bandingkan banyak institusi-institusi pemerintah lainnya, BUMN, atau bahkan industri asuransi sendiri.

Beberapa waktu yang lalu saya mem-posting komentar terkait pemberitaan disetujuinya tunjangan tambahan fasilitas cuti tahunan untuk segenap direksi dan dewan pengawas BPJS Kesehatan oleh Sri Mulyani Indrawati (SMI) selaku Menteri Keuangan.

Sebuah hal yang menurut saya “absurd” di tengah persoalan defisit yang di hadapi oleh BPJS Kesehatan. Terlebih lagi segenap manajemen BPJS Kesehatan, selaku institusi layanan publik, sudah mendapatkan gaji dan fasilitas yang “astronomical” di bandingkan pendapatan per kapita masyarakat Indonesia (lebih dari Rp 300 juta untuk direksi dan lebih dari Rp 200 juta untuk dewan pengawas), bahkan mungkin jauh lebih tinggi di bandingkan banyak institusi-institusi pemerintah lainnya, BUMN, atau bahkan industri asuransi sendiri.

Kalau melihat bahwa pasar BPJS adalah sebuah “captive market”, bahkan didukung oleh regulasi pemerintah sebenarnya, apa yang didapatkan oleh segenap manajemen BPJS Kesehatan adalah terlalu berlebihan. Kalau kita berfikir positif, ini adalah sebuah bentuk “kebodohan”, tetapi kalau kita berfikir negatif ini menunjukkan sebuah sikap “ketidakperdulian” dari segenap pemegang kebijakan yang ada, yang salah satu-nya adalah SMI sendiri.

Belum lagi kalau kita melihat “kinerja” BPJS Kesehatan selama ini, yang di lapangan, para pengguna fasilitas BPJS Kesehatan sering tidak mendapatkan pelayanan yang setara dari pihak rumahsakit. Belum lagi persoalan birokrasi terkait rujukan yang sering menyulitkan orang-orang ketika akan menggunakan fasilitas BPJS-nya. Dalam hal ini, mungkin penelitian perlu dilakukan berapa banyak korban akibat birokrasi BPJS Kesehatan untuk pasien-pasien yang tidak tertolong, padahal semestinya bisa tertolong.

Hal ini menunjukkan “persoalan kinerja buruk” manajemen BPJS Kesehatan yang serius, karena sebenarnya salah satu indikator utama dari kinerjanya adalah bagaimana segenap pengguna layanan BPJS dapat diterima dengan baik di seluruh rumah-rumah sakit yang ada di republik ini. Segenap pengguna layanan BPJS berhak mendapatkan layanan yang prima dari pihak rumah sakit.

Beberapa hari belakangan ini persoalan BPJS menjadi ramai kembali terkait rencana kenaikan iuran BPJS yang bombastis, yakni naik dua kali lipat. Sekali lagi, SMI berada di belakang gagasan ini. Sebuah gagasan yang menuai banyak kontroversi. Saya sendiri melihat, usulan kenaikan iuran dua kali lipat, seperti yang dipelopori SMI, adalah satu bentuk pemikiran yang “simplistis” sekaligus “shortsightedness” dalam melihat persoalan.

SMI hanya terpaku dengan masalah “premi” dalam melihat persoalan BPJS Kesehatan, tetapi tidak melihat lebih jauh persoalan-persoalan lain dalam menyelesaikan persoalan BPJS. Mulai dari sistem teknologi informasi, sistem informasi manajemen, pendataan, administrasi, hubungan dengan pihak-pihak rumah sakit, kualitas layanan yang diberikan kepada masyarakat. Singkatnya apakah BPJS Kesehatan sebagai institusi sudah benar-benar dievaluasi sebelum diberikan mandat lebih besar dengan menaikkan premi sampai dengan dua kali lipat?

Juga sejauh mana kinerja dan kompetensi para Direksi & Dewan Pengawas BPJS telah dievaluasi mengingat setiap direksi BPJS menikmati insentif Rp. 342.56 juta/bulan dan dewan pengawas menikmati insentif Rp. 211.14 juta/bulan bila merujuk Rencana Kerja Anggaran Tahunan BPJS 2019. Menurut saya, berdasarkan kondisi BPJS Kesehatan sekarang ini, dengan defisit menahun dan juga kualitas layanan masih bermasalah disana-sini, gaji yang didapatkan oleh direksi dan dewan pengawas adalah sangat “overpaid”, dan lucunya, SMI sama sekali tidak mempersoalkan hal in. Sama sekali tidak melihat kejanggalan antara gaji yang “overpaid” dan kualitas kinerja yang buruk dari BPJS Kesehatan (overpaid salary vs poor performance). Hal ini menunjukkan apakah seorang SMI layak diberikan tanggung jawab sebagai pengelola keuangan publik tertinggi dirRepublik ini.

Dan terakhir, dan mungkin paling parah dari wacana SMI dalam menyelesaikan persoalan BPJS adalah usulan pemberian sanksi kepada yang tidak membayar premi mulai dari pencegahan pembayaran SIM sampai dengan tidak bisa mendaftarkan anak sekolah. Hal ini bagusnya dikritik oleh Sukamta (seperti diberitakan oleh rmol.id), Sekretaris Fraksi PKS di DPR RI, yang menganggap usulan tersebut tidak etis. Sukamta berpendapat, “Kalau sanksi bagi peserta BPJS Kesehatan dikaitkan dengan hak untuk masuk sekolah, ini jelas sudah kelewat batas. Bu Menteri mestinya memahami amanah konstitusi, pendidikan dan kesehatan merupakan hak dasar masyarakat. Saya kira sejak Indonesia merdeka, baru kali ini ada usulan sanksi melarang rakyat sekolah."

Padahal menurut Sukamta, berdasarkan laporan audit Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP), akar masalah BPJS mengalami defisit diantaranya adalah ada faktor-faktor lain seperti adanya rumah sakit yang melakukan kebohongan data, jumlah layanan melebihi jumlah peserta, adanya perusahaan yang mengakali iuran, peserta aktif rendah, data tidak valid, dan persoalan manajemen klaim. Dari data temuan tersebut BPKP tidak menyebutkan akar persoalan ada pada besaran premi, hal ini menurut Sukamta penting untuk diketahui oleh publik.

Dari sini kita melihat betapa bahaya-nya jika keuangan publik yang dalam ini Departemen Keuangan diserahkan kepada seorang menteri yang hanya suka melakukan kebijakan “short cut”, dan tidak berfikir secara “substantive” dalam melihat persoalan. Di sini, SMI seolah tidak melihat ada kompleksitas aspek lain yg harus ditangani sebelum ujuk-ujuk menyarankan kenaikan premi dua kali lipat, yang hanya memberatkan masyarakat kebanyakan. Bahkan lebih parah lagi, ditengah “kecetekan berfikir” beliau, tahu-tahu ingin sekadar memberikan hukuman (yang melanggar konstitusi) bagi mereka yang tidak membayar premi.

Saya fikir segenap pihak yang perduli dengan kebaikan dan kelangsungan republik ini tidak bisa membiarkan orang-orang yang diamanahi jabatan publik melakukan hal-hal bodoh seenaknya sendiri. Saya tidak mengenal SMI secara pribadi, begitu juga dengan segenap manajemen BPJS Kesehatan. Jadi saya tidak ada masalah “personal” dengan mereka semua, tetapi BPJS Kesehatan dan Kementerian Keuangan adalah institusi publik penting milik seluruh rakyat Indonesia.

Orang-orang yang sekarang kebetulan menjabat dan menduduki posisi puncak di institusi-institusi tersebut tidak bisa dibiarkan melakukan kebijakan publik yang berdampak bagi hajat hidup orang banyak seenak-enaknya sendiri. Otherwise, they will do so much harm for this nation!

Publik perlu terus mengkritisi kebijakan mereka. Dan mereka perlu diingatkan bahwa mereka berada disana adalah untuk melayani publik, bukan untuk menyengsarakan publik. Jika keberadaan mereka tidak membawa maslahat kepada rakyat banyak, sudah selayaknya orang-orang tersebut diganti dengan orang-orang yang lebih kompeten dan mempunyai komitmen untuk benar-benar memperbaiki dan menciptakan sistem layanan kesehatan yang lebih baik bagi seluruh rakyat.

*Penulis adalah Chairman Center For Islamic Studies in Finance, Economics and Development (CISFED)

Editor: Tokohkita

TERKAIT


TERPOPULER