Susan Herawati, Sekjen Kiara

Hari Bumi, Deforestasi Mangrove dan Sampah Plastik di Laut

  1. Beranda /
  2. Kabar /
  3. LINGKUNGAN /
  4. Senin, 22 April 2019 - 21:24 WIB

Susan Herawati/Istimewa
Susan Herawati
Foto: Istimewa

Di kawasan pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil, praktik pembangunan ekstraktif dan eksploitatif dapat dilihat dari massifnya pembangunan proyek properti seperti reklamasi, pertambangan, dan ekspansi perkebunan sawit yang menghancurkan kawasan pesisir, laut dan pulau-pulau kecil.

TOKOHKITA. Pada Hari Bumi se-Dunia yang jatuh setiap tanggal 22 April, Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) meminta negara untuk segera melakukan langkah konkrit untuk menjaga bumi dari kehancuran ekologi. 
 
Salah satu dampak pilihan pembangunan yang ekstraktif dan eksploitatif adalah kenaikan suhu planet bumi. Pada tahun 2018, Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) mencatat kenaikan suhu bumi yang mengalami peningkatan suhu sebesar 1,5 derajat celcius. Angka ini merefleksikan percepatan kenaikan suhu bumi dibandingkan dengan masa sebelum revolusi Industri. Dengan kata lain, dalam rentang waktu kurang dari lima abad, suhu bumi naik secara signifikan.
 
Di kawasan pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil, praktik pembangunan ekstraktif dan eksploitatif dapat dilihat dari massifnya pembangunan proyek properti seperti reklamasi, pertambangan, dan ekspansi perkebunan sawit yang menghancurkan kawasan pesisir, laut dan pulau-pulau kecil. Dampaknya, keberlanjutan ekologis sekaligus keberlanjutan kehidupan sosio-ekonomi masyarakat pesisir berada dalam keterancaman serius. 
 
Salah satu yang sangat terancam oleh pembangunan ekstraktif dan eksploitatif, seperti reklamasi dan pertambangan, adalah hutan mangrove di sepanjang 95.000 km pesisir Indonesia. "Padahal, sebagai kawasan ekosistem esensial, hutan mangrove memiliki fungsi yang sangat penting bagi keberlanjutan wilayah pesisir, laut dan pulau-pulau kecil,” ungkap Susan Herawati, Sekretaris Jenderal Kiara di Jakarta, Senin (22/4/2019). 
 
Susan menguraikan, mangrove memiliki dua fungsi utama, yaitu fungsi fisik dan kimiawi. “Fungsi fisik mangrove adalah untuk melindungi pantai dari abrasi, penyangga proses rembesan air laut ke tanah, penjaga intrusi air laut, dan sebagai penahan sedimen secara terus-menerus,” tuturnya. 
 
Adapun fungsi kimia mangrove, tambah Susan, untuk penyerap karbondioksida sekaligus sebagai tempat daur ulang oksigen yang sangat dibutuhkan oleh manusia dan hewan. Berdasarkan Catatan Kiara, satu hektare hutan mengrove mampu menyimpan karbondioksiada sebanyak 800 ton-1.200 ton.

Selain memiliki fungsi fisik dan kimiawi, keberadaan hutan mangrove juga memiliki fungsi sosial dan ekonomi yang sangat penting bagi masyarakat yang tinggal di desa pesisir. “Pusat Data dan Informasi Kiara (2019) mencatat, saat ini tercatat sebanyak 6.829 desa pesisir memiliki income dari praktik pemanfaatan hutan mangrove,” ungkap Susan.
 
Namun, keberadaan hutan mangrove terus mengalami deforstasi. Pusat Data dan Informasi Kiara (2018), mencatat luasan hutan mangrove pada tahun 2014 sebesar 4,4 juta ha. Namun, pada tahun 2017, luasannya hanya 3,5 juta ha. “Penyebab utama deforestasi mangrove adalah ekspansi proyek reklamasi di seluruh pesisir Indonesia, pertambangan di pesisir dan pulau-pulau kecil, serta ekspansi perkebunan kelapa sawit yang saat ini telah memasuki kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil. Pemerintah harus mengevaluasi seluruh proyek ini,” tegas Susan. 

Selain menyoroti deforestasi mangrove, pada Hari Bumi, Kiara juga menyoroti persoalan sampah plastik yang telah mencemari laut Indonesia. Sebagaiman diketahui, Indonesia merupakan produsen sampah terbesar kedua di dunia setelah Cina. “Sampah plastic di Indonesia mencapai 64 juta ton per tahun, lebih dari 3,5 juta ton sampah platik di buang ke laut Indonesia. Meski sampah plastik di lautan Indonesia telah begitu mencemari, Pemerintah Indonesia sampai saat ini belum memiliki strategi dan kebijakan khusus untuk menyelesaikan persoalan ini,” tutur Susan. 
 
Tak hanya itu, pemerintah Indonesia terlihat tidak memiliki ketegasan terhadap perusahaan pembuat plastik yang telah banyak mengambil keuntungan dari bisnis plastik. “Dalam kasus sampah plastik yang telah mencemari laut Indonesia, seharusnya perusahaan pembuat plastik menjadi pihak yang paling pertama diminta pertanggungjawaban secara serius oleh pemerintah,” tegas Susan.
 
Kiara mengajak masyarakat pesisir di seluruh Indonesia untuk berhenti menggunakan plastik secara perlahan-lahan. Tak hanya itu, Kiara juga mengajak masyarakat untuk tidak menjadikan laut sebagai tong sampah plastik raksasa. “Pada hari bumi ini, Kiara mengajak masyarakat pesisir untuk menjaga laut dari sampah plastik dengan cara berhenti menggunakan plastik secara gradual. Mari berhenti menjadikan laut sebagai tong sampah raksasa,” pungkasnya.

Editor: Tokohkita

TERKAIT


TERPOPULER