Ena Nurjanah, Ketua LPA Generasi

Catatan Pegiat Anak dalam Pendampingan Kasus dan Usaha Menjaga Hak Anak

  1. Beranda /
  2. Perspektif /
  3. Aktivis /
  4. Jumat, 12 April 2019 - 00:18 WIB

Ena Nurjanah/Dokumen pribadi
Ena Nurjanah
Foto: Dokumen pribadi

Dalam kosteks perlindungan anak, semua pihak bertanggungjawab terhadap keberlansungan perkembangan anak. Memang, dalam hal ini yang orangtua, ya. keluarga dan keluarga besarnya. Tapi lingkungan dan masyarakat juga punya andil.

TOKOHKITA. Kasus pengeroyokan siswi SMP di Pontianak berinisial AY (14) oleh siswi SMA di kotanya mendadak viral. Cerita tentang AY ini ramai dibahas di media sosial Twitter hingga muncul tagar #JusticeForAudrey. Pada Selasa (9/4/2019), tagar tersebut menduduki posisi nomor 1 di Indonesia. Banyak pihak menyayangkan terjadinya pengeroyokan yang dialami siswi SMP di Pontianak ini.

Ketua Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Generasi, Ena Nurjanah menilai kasus ini mencuat ke publik akibat UU Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) tidak berjalan dengan baik. Di sisi lain, banyak faktor penyebab anak-anak bertindak kekerasan.Sejak 2010, Ena banyak terlibat dalam advokasi anak korban kekerasan. Banyak suka dan duka yang dihadapi. Yang terang, ilmu dan pengalaman selama melakukan pendampingan merupakan pelajaran sekaligus menjadi motivasi dia untuk tetap konsisten di jalur perlindungan anak.

Nah, lebih lanjut mengenai konsep perlindungan anak korban kekerasan dan penanganannya, apa itu hak-hak anak, termasuk sistem peradilan anak, berikut petikan wawancaranya dengan Tokohkita, belum lama ini.

Sejauh mana pengalaman Anda menangani kasus-kasus kekerasan yang melibatkan anak?
Saya sempat terlibat dalam malam solidaritas untuk korban kekerasan anak di daerah Bantar Gebang, yang pelakunya masih keluarga dekat korban. Sedangkan di Depok, sempat menangani kasus penusukan anak SD kepada temannya sendri di Cinere. Pelakunya siswa kelas VI SD di Cinere sekitar tahun 2012 lalu. Korban kena delapan tusukan pisau dapur, dan sempat kritis sekitar dua bulan di RSUD Fatmawati. Saat itu, saya mengadvokasi pelaku karena masih dibawah umur. Cukup berat juga. Salah satunya karena mendapat tantangan dan kemarahan dari orangtua korban yang tidak terima anaknya ditusuk. Korbannya sendiri, alhamdulilah tidak sampai meninggal tapi memang memerlukan waktu pemulihan yang cukup lama akibat luka tusuk.

Apa yang dilakukan Anda selanjutnya?
Saya berusaha agar pelaku ini tidak dipenjara. Meski terdakwa dan menjadi pelaku tindak pidana, dari perperktif perlindungan anak, pelaku merupakan korban juga yang hak-haknya wajib dipenuhi. Jadi, kedua-duanya baik pelaku dan korban korban penusukan, dalam kasus ini mereka adalah korban. Nah, ini yang harus dipahami para orangtua dan masyarakat karena erat kaitanya dengan cara penyelesainnya menurut Undang Undang Perlindungan Anak. Waktu itu  saya lihat tidak ada pihak yang peduli terhadap korban ini. Tapi fokus saya adalah bagaimana keberlanjutan pendidikannya. Jangan sampai berhenti meski tersandung kasus hukum. Saya banyak menyuarakan hal ini, tapi sayang kurang mendapat respons dari pihak terkait.

Menghadapi situasi demikian, Anda tetap memperjuangkan korban tidak dipenjara?
Saya menghadap hakim karena kasusnya memang sudah masuk proses pengadian. Saat itu, saya meminta kepada hakim agar si anak ini tetap bisa mengikuti ujian nasional meski di dalam tahanan. Hakim sempat marah, juga karena permintaan saya dianggap mendadak. Sedangkan ujian nasional tiunggal dua hari lagi. Setelah dijelaskan duduk persoalan, hakim menjadi paham dan memerintahkan agar pelaku bisa mengikuti ujian nasional tapi tetap di tanahan.  Akhirnya, ada petugas yang diutus oleh Dinas Pendidikan Depok untuk mendampingi pelaku melaksanakan ujian nasional.

Apa motif dari penusukan anak terhadap temannya sendiri ini?.
Motifnya pencurian ponsel. Pelaku yang masih berusia 13 tahun nekat menusuk korban dengan pisau dapur yang dibawa dari rumah. Pelaku diketahui mengambil hape milik orangtua korban yang keduanya tunanetra. Korban sempat mengancam pelaku kalau hape tidak dikembalikan. Awas, kalau enggak dikembalikan, begitu ancamannya. Akibat ada omongan bernada ancaman, pelaku membuat skenario sedemikian rupa. Pagi-pagi, pelaku menyakinkan dan ngajak korban untuk ketemu di suatu tempat dengan maksud mengembalikan hape tersebut. Saat ketemu itu, korban ditusuk bahkan sampai jatuh ke got di sekitar perumahan di Cinere. Pelaku tertangkap ketika akan naik angkot. Mau lari entah kemana, karena ketakutan dengan baju yang masih banyak bercak darah.

Lantas bagaimana penanganan kasusnya?
Berhubung saat itu saya menjadi sekretaris Satuan Tugas Perlindungan Anak dan kasusnya menjadi isu nasional yang disorot media, saya banyak koordinasi dengan sejumah pihak termasuk dengan Kementerian Sosial. Saya meminta bantuan Kementerian sosial agar menempatkan pelaku tidak ditahanan melainkan dipanti sosial, yakni Rumah Perlindungan Sosial Anak (RPSA) Bambu Apus. Saya bilang, katanya penjara tidak baik bagi anak, ayo kita buktikan sekarang. Saya mendesak itu dan jadinya pelaku dititipkan di sana.

Vonis pengadilan terhadap pelaku?
Saya agak heran juga dengan tuntutan jaksa yang terbilang rendah, bahkan hakim pun bingung. Akhirnya, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Kota Depok menjatuhkan vonis tiga tahun untuk dibina di panti sosial dan tidak dipenjara. Menurut hakim, putusan tersebut mempertimbangkan UU No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, sehingga tidak memberi vonis pidana kepada pelaku. Di panti sosial ini, pelaku dibimbing, direhabilitasi dan orangtua bisa menjenguk setiap bulan. Saya melihat, ketika kasus-kasus kekerasan terhadap anak masuk persidangan dan mendapat pendampingan, pihak kejaksaan dan pengadilan memberlakukan anak dalam proses peradilan sesuai dengan Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Tapi sayangnya, tidak semua peradilan anak mendapat pendampingan dari psikolog.

Bagaimana reaksi orangtua korban atas vonis hakim?
Ya, pasti ada kekecewaanlah. Orangtua korban sempat marah ke saya. Tapi mereka minta juga ke saya, agar anaknya bisa masuk panti karena memang berasal dari keluarga tidak mampu. Tapi saya katakan, undang-undangnya tidak ada mengatur soal itu. Saya kasih pengertian kepada mereka. Saya juga berupaya meminta kepedulian kepada orang-orang yang punya kuasa untuk membantu keluarga korban ini. Saya minta pejabat-pejabat untuk memberitan bantuan. Korban dibantu Pemkot Depok untuk mendapat pengobatan gratis hingga tuntas, hanya untuk kelanjutan pendidikan ke jenjang SMP tidak lagi ada yang memperhatikan, semtara dia dari keluarga tidak mampu. Sementara untuk pelaku, bisa UN di lapas, dan melanjutkan sekolah SMP di Panti Sosial Marsudi Putra (PSMP) Handayani, milik Kementerian Sosial sekaligus menjadi tempat ia menjalankan masa hukumanya selama tiga tahun.

Dari kasus ini apa kesimpulannya, pelajaran yang bisa diambil?
Anak yang terlibat tindak pidana adalah korban juga. Paradigmanya, anak ini korban dari pengasuhan, korban dari lingkungan sekitar. Dalam kosteks perlindungan anak, semua pihak bertanggungjawab terhadap keberlansungan perkembangan anak. Memang, dalam hal ini yang orangtua, ya. keluarga dan keluarga besarnya. Tapi lingkungan dan masyarakat juga punya andil. Kadang, masyarakat atau lingkungan abai juga terhadap hak-hak anak, mungkin karena pemahaman terhadap konsep perlindungan anak yang masih rendah. Jadi, anak terlibat kasus kekerasan atau menjadi korban kekerasan, tindak pidana dan lainnya itu banyak faktornya, termasuk pengaruh lingkungan yang buruk. Masyarakat tidak peka, kurang perhatian terhadap potensi-potensi munculknya perilaku kekerasan terhadap anak, juga ikut memberi dampak.

Semestinya perlakuan seperti apa terhadap anak-anak yang memiliki kecenderungan bertindak tidak baik?
Begini, anak yang terlibat tindakan kekerasan sampai pidana itu masih bisa dididik menjadi anak yang baik karena pada dasarnya semua anak baik. Mereka itu butuh kasih sayang, butuh perhatian dari kita. Boleh jadi, kebutuhan ini tidak diperoleh dari orangtua atau keluarganya, misal karena kesibukan mereka. Saya pernah menangani anak yang bermasalah, dia suka mencuri, badannya tinggi besar, sukanya main bola. Tapi ke saya, anak ini mau nurut, itu bisa, kok. Intinya, anak ini butuh kasih sayang dan perhatian.

Dari banyak kasus yang hadapi, apa yang anda dapat?
Selama saya berkiprah di Satgas dan Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Depok banyak hal yang didapat, juga pengalaman. Saya bersyukur bisa membantu anak-anak bermasalah kembali menjadi baik dan punya masa depan. Dan P2TP2A ini memiliki peran dan andil besar dalam penyelesaian kasus-kasus kekerasan yang melibatkan anak. Sebab didalamnya tidak hanya unsur pemerintah tapi juga masyarakat bisa berperan aktif. P2TP2A merupakan suatu unit kesatuan yang menyelenggarakan fungsi pelayanan terpadu bagi perempuan dan anak korban kekerasan. Unit ini memfasilitasi kebutuhan perempuan dan anak korban kekerasan dalam memenuhi hak korban yaitu hak atas kebenaran, hak atas perlindungan, hak atas keadilan dan hak atas pemulihan serta pemberdayaan.

Tapi kasus-kasus kekerasan terhadap anak dan perempuan tetap saja terjadi dan di Depok terbilang tinggi?
Ketika saya masih aktif di P2TP2A Kota Depok bisa dibilang sudah banyak berperan bahkan kerap menjadi rujukan untuk penanganan-penanganan kasus serupa di daerah lain. Kalau saya bilang, P2TP2A Kota Depok di tingkat nasional dan provinsi toplah, jadi referensi. Bahkan, ketika ada kasus anak, ibu menteri sampai menelepon saya. Juga ketika terjadi kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan di Depok, Komnas Perempuan selalu berkoordinasi dengan P2TP2A. Sampai ada kasus di perbatasan Depok-Parung, Bogor. Kami diminta untuk menangani. Kasusnya, ada anak yang tidak mau buka jilbab untuk difoto ijazah. Padahal, dalam aturannya, tidak ada aturan yang mengharuskan buka jilbab untuk difoto. Tapi pihak sekolah tetap minta dibuka sehingga anak menjadi tertekan. Saya lantas kirim surat ke sekolah dan mendampingi kasus anak ini. Alhamdulillah selesai, sekolah bisa memahami dan si anak kembali baik.

Sekarang Anda sudah tidak aktif lagi secara kelembagaan di  P2TP2A Kota Depok, kenapa?
Meski sudah tidak aktif, saya tetap konsen terhadap isu-isu anak dan perempuan karena itu sudah menjadi bagian hidup saya. Saya bekerja sesuai panggilan jiwa untuk menyelamatkan anak-anak, karena mereka punya masa depan, terutama memastikan keberanjutan pendidikannya. Namun, yang saya lihat saat ini, kinerja P2TP2A Depok mengalami penurunan. Saya akan terus mengkritisi isu-isu anak dan perempuan sesuai kapasitas saya dan memberikan pendampingan, tapi dalam koridor yang lebih luas, tidak haya isu sektoral di Depok yang hanya menjadi konsumsi lokal tapi bisa diangkat secara nasional sehingga ada percepatan dalam penyelesaianya.

Apa karena alasan itu Anda mendirikan Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Generasi?
Saya ingin mencari peran yang lebih besar saja, toh saya selama ini sudah begerak secara nasional. Kalau hanya mengkritisi di Depok saja, sudah saya katakana tadi,  hanya menjadi komsumsi lokal. Tapi memang tidak mudah merintis LPA Generasi ini, yang baru dua tahun berjalan. Tidak hanya membutuhkan dana, tapi banyak hal yang harus dipesiapkan. Ke depan, saya berharap LPA Generasi memiliki krisis senter untuk perlindungan dan pendampingan anak-anak korban kekerasan.

Lantas apa yang melatari Anda berkiprah di gerakan perlindungan anak?
Saya meihat banyak sekali orangtua yang belum memahami cara mendidik anak yang baik dan benar, mendidik anak sesuai tahap dan perkembangannya. Background pendidikan saya, S2 Psikologi Pendidikan Universitas Indonenesia (UI). Saya bisa melihat bagaimana perkembangan pendidikan anak semestinya. Saya ingin melihat semua anak maju dan sukses. Yang maju tidak hanya anak-anak dari keluarga mampu. Yang sukses tidak hanya segelintir anak-anak dari keluarga berada, tapi setiap anak bisa berkembang dan maju. Apalagi negara ini kan berdiri bukan karena satu orang tapi banyak orang.

Menurut Anda parameter mendidik anak yang baik itu seperti apa?
Kita di sini, tentu sudah ada dasar pendidikan agama. Di luar itu, para orangtua harus memahami psikologi perkembangan anak. Jadi mendidik anak harus sesuai dengan tahap perkembangan psikologinya. Saya masih banyak kekurangan dalam mendidik anak saya. Salah satunya tidak bisa keras dan tegas, juga tidak bisa marah. Tapi saya lakukan dengan banyak komunikasi, terus berdialog dan mendengarkan apa yang dipikirkan anak. Saya beri kesempatan anak untuk  menggali potensi dan kemampuannya. Kadang ada yang melihat aneh, saya dalam memperlakukan anak saya. Dulu pas anak saya masih kuliah di UI ikut gabung klub hoki dan sering pulang malam karena latihan. Saya tak khawatir anak pulang malam, karena jelas aktivitasnya. Saya percaya sama anak, karena apapun saja dia akan ngomong. Dia bisa bertanggungjawab atas tindakannya, dan saya kasih kepercayaan seluas-luasnya.

Anda juga pernah tinggal di luar negeri, pola pengasuhan dan pendidikan mereka terhadap anak-anaknya bagaimana?
Ada niai-nilai universal yang baik. Pasti nilai-nilai kebaikan itu sama meski agama, budaya dan lainnya yang berbeda. Tapi nilai-nilai kejujuran, ketertiban, dan kedisiplinan dimana-mana sama. Nah, nilai-nilai itu yang harus dijaga. Saya pernah satu tahun tinggal di Amerika. Saya bisa melihat dan merasakan bagaimana anak-anak di sana sudah terbiasa dengan budaya mengantre. Satu lagi budaya soal hak mendengarkan anak. Waktu itu, subsidi untuk anak saya di sekolah dikurangi, jaminan sosialnya berkurang sehingga makan harus bayar, dll. Akhirnya, pemerintah kabupaten setempat membuat public hearing, anak-anak sekolah dikumpulkan dan mereka berbaris rapi. Satu per satu mereka ditanya. Wah luar biasa, anak-anak kecil di Amerika sudah berani dan bisa menyampaikan pikiran dan keinginan. Bagaimana kalau di Indonesia? Budayanya belum seperti itu. Hak mendengarkan anak ini penting dan harus disadari para orangtua. Selama ini model pendidikan anak di kita cenderung monolog bukan dialog. Anak yang harus mengikuti kemauan orangtua. Orangtua yang banyak bicara, bukan mendengar apa yang dimau anak. Orangtua juga masih terkesan otoriter, memaksakan kehendak kepada anak. Anak harus menjadi seperti apa yang diinginkan orangtua. Celakanya, hingga anak mulai beranjak dewasa, pola komunikasinya masih juga monolog. Padahal harusnya sudah berubah menjadi dialog. Mungkin ketika anak masih dalam tahap butuh pengarahan, oke lah dengan monolog. Tapi kalau anak sudah besar, baiknya orangtua lebih banyak mendengarkan mereka.

Terakhir,  UU Perlindungan Anak sudah lama berlaku, satgas bahkan lembaga perlindungan anak  bentukan pemerintah maupun partisipatif masyarakat sudah ada, toh tindakan kekerasan terhadap anak masih marak terjadi bahkan terjadi di sekolah. Kenapa?
Akar masalahnya karena belum banyak pihak-pihak yang betul-betul konsen terhadap persoalan perlindungan anak. Lembagaya memang sudah ada, cuma dalam penyelenggaraannya belum optimal. Undang-undangnya sudah ada tapi implementasinya masih perlu ditingkatkan. Misalnya tidak boleh ada tayangan kekerasan di media, tapi masih saja terjadi. Apalagi sekarang pengaruh media sosial yang sangat kuat. Di luar negeri, ada aturan anak baru bisa pegang hape kalau sudah berusia 13 tahun.

Editor: Tokohkita

TERKAIT


TERPOPULER