Farouk Abdullah Alwyni

Tak Jauh dari Istana Negara, Ini Sengkarut Sertifikasi 600 KK Warga RW. 08 Kelurahan Petojo Selatan

  1. Beranda /
  2. Parlemen Kita /
  3. Kamis, 28 Maret 2019 - 06:09 WIB

Farouk Abdullah Alwyni/Dokumen pribadi
Farouk Abdullah Alwyni
Foto: Dokumen pribadi

Sayangnya, kemudahan PTSL dan insentif gratis dalam pemutihan sertifikat ini tidak bisa dinikmati 600 kepala keluarga (KK) atau mencakup lebih dari 3.000 jiwa warga di RW.08 Kelurahan Petojo Selatan, Jakarta Pusat.

TOKOHKITA. Saat ini, pemerintah terus menggeber proses sertifikasi tanah. Di berbagai kesempatan, pemerintah membagikan sertifikat secara massal kendati banyak mendapat kritik dari sejumlah pihak karena kental muatan politik terkait Pilpres 2019. Meski demikian, pembagian sertifikat ini terus dilakukan hingga ke berbagai pelosok daerah.

Sejatinya, pemerintah lewat Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (BPN) menargetkan 126 juta hektare bidang tanah agar bersertifikat pada 2024. Untuk mengejar target itu, pemerintah mengeluarkan kebijakan percepatan sertifikasi lewat program pendaftaran tanah sistematis lengkap (PTSL). Hal ini sesuai Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN; Menteri Dalam Negeri; serta Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi, tentang biaya pendaftaran tanah sistematis tahun 2017.

Dalam SKB tersebut, warga dibebankan biaya Rp 150.000 per bidang tanah untuk tanda batas patok, pemberkasan, dan materai. Namun, warga Jakarta kini tidak perlu lagi membayar biaya itu karena sudah ditanggung Pemprov DKI. Sebab Pemerintah Provinsi DKI Jakarta telah mengalokasikan anggaran Rp 187 miliar untuk proses sertifikasi tanah di wilayah Jakarta. Namun dalam praktiknya masih ada oknum yang mengutip dana dari warga.

Sayangnya, kemudahan PTSL dan insentif gratis dalam pemutihan sertifikat ini tidak bisa dinikmati 600 kepala keluarga (KK) atau mencakup lebih dari 3.000  jiwa warga di RW.08 Kelurahan Petojo Selatan, Jakarta Pusat.

Pasalnya, sekitar 250 bidang tanah milik warga yang sudah dilakukan pengukuran oleh BPN melalui program PTSL dengan luas tanah mencapai +18.000 meter persegi tidak bisa dilanjutkan prosesnya untuk menjadi sertifikat. Menurut Ibu Teten Masudah, Kasie Sengketa di BPN Jakarta Pusat, hal ini karena rumah warga berdiri diatas tanah yang telah bersertifikat Hak Milik atas nama JM. PANGGABEAN dengan Sertifikat Hak Milik No. 47. Dengan demikian permohonan sertifikat hak atas tanah untuk warga RW. 08 tidak bisa diterbitkan.

Pihak BPN menolak pengajuan sertifikat dari warga Petojo Selatan. Agus Syahrial, Ketua RW. 08 Kelurahan Petojo Selatan mengatakan, pihak BPN menolak pengajuan sertifikasi karena 250 bidang tanah tersebut berada di lahan yang sudah ada sertifikatnya. “Kami kaget pengajuan ditolak oleh BPN dengan alasan lahannya ada di bidang lahan yang lain. Warga ini sudah tinggal di lahan itu turun temurun. Warga tinggal di lahan itu dengan membeli bidang tanah dari tuan tanah SAJID IDROES BIN HASAN BIN SECH ASSOLABIAH ALAYDROES pada tahun 1927. Pada awalnya tahun 1926 memang warga sewa kepada tuan tanah tersebut,” ungkapnya kepada Tokohkita, Rabu (27/3/2019).

Menurut Agus, sebagian warga masih ada yang memegang bukti kepemilikan jual beli lahan tersebut. Sayangnya, sebagian besar warga tidak memegang bukti-bukti tersebut karena ketidaktahuan dan sistem pendataan pertanahan yang kala itu masih sangat sederhana, terangnya. “Belakangan ini, warga yang mendirikan bangunan atau yang sedang melakukan renovasi rumahnya sering diintimidasi oleh pihak swasta yang mengklaim mempunyai sertifikat atas lahan warga. Dan Intimidasi dilakukan dengan menggunakan tangan oknum aparat. Mereka mengklaim punya sertifikatnya. Tapi ketika didesak mana sertifikatnya, mereka tidak pernah menunjukkan,” beber Agus.

Akibat intimidasi ini, warga menjadi gusar, tetapi di sisi lain, hal ini membuat warga tidak nyaman. Agus mengatakan, perwakilan warga berinisiatif mengirim surat kepada Presiden Joko Widodo agar bisa membantu proses sertifikasi dan menyelesaikan kasus ini. Setelah menunggu lama, ada respon, tetapi itu pun tidak menyelesaikan keinginan warga untuk mendapatkan kejelasan hak milik atas tanah tersebut. Beberapa kali warga mendatangi BPN DKI Jakarta tapi terkesan lepas tangan.

Belakangan, warga mendapatkan bukti baru jika lahan yang ada di SHM No. 47 yang bersengketa ini bidang tanahnya ternyata bukan berada di lahan yang ditinggali 600 KK warga RW. 08 Kelurahan Petojo Selatan. “Saya dapat temuan baru setelah mengecek peta online ATR-BPN pusat yang diunduh dari aplikasi Android. Temuan baru ini sudah disampaikan ke BPN Jakarta Pusat dan Bagian Hukum Kantor Walikota Jakarta Pusat, karena diduga datanya berbeda dengan BPN RI. Tapi sampai saat ini belum ada tindak lanjutnya juga,” keluh Agus sambil menunjukan print out peta online ATR-BPN.

Keluhan dan kegusaran warga RW 08 Petojo Selatan ini juga sampai ke telinga Farouk Abdullah Alwyni, Caleg DPR RI dari PKS Dapil DKI Jakarta II (Jakarta Pusat, Jakarta Selatan, dan Luar Negeri). “Persoalan sertifikasi tanah ini terungkap ketika kami melakukan sosialisasi ke warga. Saat itu, warga mengeluh terkait pengajuan pembuatan sertifikat tanah lewat PTSL yang ditolak pihak BPN,  tanggapan pemerintah dalam hal ini BPN terlihat kurang responsif untuk menyelesaikan masalah warga Petojo Selatan.

Hal ini tentunya sangat bertolak belakang dan kontradiktif dengan kesan yang di tampilkan pemerintah selama yang gembar-gembor mengkampanyekan keberhasilan dari program sertifikat gratis hingga ke pelosok negeri.

“Masalah warga Petojo Selatan ini ada di Jakarta, lokasi warga jaraknya kurang dari 400 meter menuju Istana Negara tapi tidak bisa diselesaikan. Di mana Reformasi Agraria ? Bagaimana nasib ribuan jiwa warga kalau sampai tergusur dari kampung halamannya akibat data pertanahan yang masih kacau ?,” kritik Farouk yang juga adalah  Chairman Center for Islamic Studies in Finance, Economics, and Development (CISFED) ini.

Farouk menilai, aparat BPN semestinya turun ke lapangan dan mengecek polemik sengketa tanah di Petojo Selatan. Sebagai pelayan masyarakat, tentunya harus memberikan “service” yang baik untuk mencerminkan birokrasi pemerintahan yang melayani dan bersih. “Kalau perlu Presiden RI memanggil BPN dan pihak-pihak terkait untuk membuka data-data pertanahan, sehingga jelas duduk perkaranya. Rakyat harus mendapat hak memiliki tanah untuk tempat tinggal, yang merupakan kebutuhan dasa,” tegas Farouk.

Sebagai Caleg DPR RI, Farouk memang memberikan perhatian khusus terhadap persoalan birokrasi di Indonesia, dan masuk dalam salah satu poin perjuangan beliau, termasuk di dalamnya pelayanan BPN terkait urusan pertanahan. Masih banyaknya oknum BPN yang terlibat pungutan liar (pungli), pelayanan yang sulit dan berbelit-berbelit menunjukkan bahwa reformasi birokrasi masih jauh api dari panggang.

Itu sebabnya, pihaknya selalu menggaungkan pentingnya untuk menciptakan birokrasi yang bersih, ramping, tidak ribet, dan melayani. Adapun parameternya, dari beberapa benchmarking secara internasional misalnya adalah Ease of Doing Business Index (EODB), Competitiveness Index, dan Corruption Perception Index, di mana rangking Indonesia masih memprihatinkan.

Pengajar Perbanas Institute & Program MM Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI) ini menilai, isu terkait reformasi birokrasi telah di dengungkan selama beberapa waktu di Indonesia, tetapi implementasinya belum benar-benar terealisasi. Posisi Indonesia di dalam rangking Ease of Doing Business dari World Bank (WB) atau Bank Dunia (2018) yang dalam banyak hal merefleksikan efektivitas dan efisiensi dari Birokrasi adalah masih di level 72 yang secara relative masih rendah.

Meskipun sudah ada perbaikan dalam empat tahun terakhir, rangking Indonesia adalah masih di bawah negara-negara tetangganya di Association of South-East Asian Nations (ASEAN) seperti Singapura (2), Malaysia (24), Thailand (26), Brunei (56), dan bahkan Vietnam (68).

Asian Development Bank (ADB) atau Bank Pembangunan Asia (2015) pun dalam salah satu laporannya meletakkan isu birokrasi dan korupsi sebagai bagian hambatan dari pertumbuhan ekonomi Indonesia. ADB (2015) menyatakan bahwa “ada sebuah kebutuhan yang urgent terhadap simplifikasi regulasi karena biaya-biaya tambahan yang rezim regulasi bebankan terhadap bisnis.” ADB di sini juga menyalahkan birokrasi yang bertele-tele di sektor pemerintahan sebagai salah satu faktor kritis yang berkontribusi terhadap korupsi.

“Sifat ataupun praktik-praktik neo-feodal pada birokrasi termasuk di BPN harus dikikis habis sehingga melahirkan birokrat yang profesional, melayani, tidak menyulitkan, dan bersih dari korupsi. Dengan cara itu, diharapkan, Indonesia bisa melangkah menjadi negara maju. Karena salah satu indikator penting dari negara maju adalah birokrasinya mudah, sederhana, efektif dan efisien,  dan tentunya melayani,” pungkas alumnus New York University (Amerika Serikat) & University of Birmingham (Inggris) ini.

Editor: Tokohkita

TERKAIT


TERPOPULER