Marwan Batubara
Ironi Akuisisi Pertagas oleh PGN
Pemerintah telah menetapkan pembentukan Holding BUMN Migas sesuai PP No.6/2018 dengan dilakukannya pengalihan saham seri B milik Negara di PGN ke Pertamina, melalui skema inbreng pada 28 Februari 2018 dengan nilai Rp 38 triliun untuk 57% saham. Selanjutnya, PGN resmi memiliki 51% saham Pertagas melalui penandatanganan Perjanjian Jual Beli Saham Bersyarat (Conditional Sales Purchase Agreement /CSPA) antara Pertamina dengan PGN pada 29 Juni 2018.
Pemerintah telah menetapkan pembentukan Holding BUMN Migas sesuai PP No.6/2018 dengan dilakukannya pengalihan saham seri B milik Negara di PGN ke Pertamina, melalui skema inbreng pada 28 Februari 2018 dengan nilai Rp 38 triliun untuk 57% saham. Selanjutnya, PGN resmi memiliki 51% saham Pertagas melalui penandatanganan Perjanjian Jual Beli Saham Bersyarat (Conditional Sales Purchase Agreement /CSPA) antara Pertamina dengan PGN pada 29 Juni 2018.
Transaksi pengambilalihan atau akuisisi saham Pertagas bernilai sebesar Rp 16,6 triliun untuk pembelian 2.591.099 saham (51%) milik Pertamina pada Pertagas. Rencana semula pembayaran akan dilakukan oleh PGN dalam 90 hari sejak CSPA ditandatangani pada 29 Juni 2018, yakni 29 September 2018. Dalam hal ini, anak-anak perusahaan Pertagas yang terdiri dari Perta Arun Gas, Perta Daya Gas, Perta Samtan Gas, dan Perta Kalimantan Gas dikeluarkan dari buku Pertagas. Sehingga hanya terdapat Pertagas Niaga sebagai anak usaha di dalam buku Pertagas yang akan dikuasai oleh PGN.
Dalam praktek, hingga batas waktu 29 September 2018 dan tambahan waktu beberapa minggu yang diberikan terlampaui, pembayaran saham tersebut belum juga terlaksana. Dirut PGN Gigih Prakoso mengatakan keterlambatan disebabkan terutama karena masalah administrasi (11/10/2018).
Akhirnya, setelah mundur 4 bulan, PGN resmi mengakuisi saham Pertagas, yang ditandai dengan penandatanganan Sales Purchase Agreement (SPA) antara Pertamina dan PGN pada 28 Desember 2018. Penandatanganan SPA itu disaksikan Deputi Pertambangan, Industri Strategis, dan Media Fajar Harry Sampurno. Nilai akuisisi pun berubah dari semula Rp 16,6 triliun menjadi Rp 20,18 triliun, karena dimasukkannya empat anak usaha Pertagas yakni PT Perta Arun Gas, PT Perta Daya Gas, PT Perta-Samtan Gas, dan PT Perta Kalimantan Gas dalam proses akuisisi.
Terkait skema pembayaran Dirut PGN Gigih Prakoso mengatakan akan dilakukan dalam dua tahap. Tahap pertama sebesar 50?ri total nilai akuisisi atau sebesar Rp 10,09 triliun akan menggunakan skema pembayaran tunai. Sedangkan untuk tahap kedua, yakni atas 50% sisanya, akan dieksekusi melalui penerbitan promissory note atau surat utang, dalam waktu yang belum dipastikan jadwalnya.
Seperti diketahui, Kementrian BUMN (KBUMN) telah memutuskan untuk mengonsolidasikan bisnis Pertagas dengan bisnis PGN melalui skema akuisisi, dibanding menempuh cara lain, yakni skema merger atau skema inbreng. Alasannya adalah proses akuisisi hanya membutuhkan waktu sekitar 4 bulan, sedang proses merger butuh waktu sekitar 1 tahun. Dikatakan, karena pertimbangan waktu, maka yang dipilih adalah skema akuisisi.
Padahal skema merger atau inbreng diyakini lebih baik dan menguntungkan negara dibanding skema akuisisi. Namun alternatif terebut tidak diambil oleh KBUMN. Oleh sebab itu, atas beberapa pertimbangan strategis yang lebih baik bagi negara dan rakyat, IRESS justru meminta agar akuisisi Pertagas oleh PGN yang dieksekusi pada 28 Desember 2018 tersebut dibatalkan. Permintaan ini diajukan terutama karena beberapa pertimbangan strategis yang diuraikan berikut.
Pertama, bisnis yang digeluti oleh Pertagas saat ini menyangkut hajat hidup orang banyak yang harus dikuasai negara dan dikelola secara penuh oleh BUMN. Pertagas 100% milik Pertamina dan Pertamina 100% milik negara. Dengan diakuisisinya Pertagas oleh PGN, maka penguasaan negara atas Pertagas tidak lagi utuh 100?n ini melanggar Pasal 33 UUD 1945. Sebagian (43%) aset negara di Pertagas beralih menjadi milik pemegang saham publik di PGN. Kebijakan akuisisi Pertagas oleh PGN merupakan langkah privatisasi terselubung ilegal yang dilakukan oleh KBUMN.
Kedua, agar dominasi penguasaan negara sesuai konstitusi terjamin, mestinya perusahaan yang pemilikan saham negara yang lebih besarlah yang mengakuisisi perusahaan yang saham negaranya kecil, bukan sebaliknya. Dalam hal ini, jika langkah akuisisi yang harus dipilih, maka mestinya Pertagas lah yang seharusnya ditugasi mengakuisisi PGN. Prinsip seperti ini telah diterapkan pada Holding BUMN Tambang, di mana Inalum, karena 100% milik negara, ditetapkan sebagai pemimpin Holding Tambang, meskipun nilai kapitalisasi pasar Inalum lebih kecil dibanding PT BA atau PT Antam. Mengapa skema tersebut tidak konsisten dijalankan dalam konsolidasi bisnis PGN dengan Pertagas?
Ketiga, skema akuisisi bukanlah cara terbaik untuk mengonsolidasikan bisnis Pertagas dengan PGN, karena terdapat beberapa alternatif lain yang lebih layak, efisien dan menguntungkan. Sinergi yang bisa dilakukan adalah dengan pembagian lini bisnis ataupun segregasi wilayah untuk pemetaan bisnis gas bagi masing-masing perusahaan. Faktanya, kedua anak perusahaan Pertamina tersebut telah memulai langkah konsolidasi dengan mensinergikan pemanfaatan sarana dan pelayanan pada sejumlah area tertentu. Dana yang dialokasikan PGN untuk membeli saham Pertagas justru akan jauh lebih baik digunakan untuk membangun infrastruktur gas nasional, termasuk jaringan gas kota dan terminal-terminal penerima LNG, yang secara keseluruhan sangat dibutuhkan untuk melayani kebutuhan publik dan sektor industri nasional.
Keempat, dengan terus turunnya laba bersih PGN dalam 5 tahun terakhir, berkisar dari US$ 891 juta pada 2012 menjadi US$ 143 juta pada 2017 (turun sebesar 84%!), dicurigai bahwa skema akuisisi yang ditempuh lebih ditujukan untuk melindungi investor saham publik dibanding memberi manfaat optimal bagi negara melalui aset-aset yang ada di Pertagas dan PGN, serta memberi keuntungan terbesar bagi perusahaan Pertamina sebagai induk holding. Ternyata laba bersih Pertagas dalam kurun waktu yang sama cukup stabil, yakni antara US$ 122 juta (2012) hingga US$ 141 juta (2017), dibanding keuntungan PGN yang terus turun (meroket ke bawah).
Jika diperhatikan lebih rinci, aset PGN memang meningkat cukup tinggi, yakni dari US$ 2,91 miliar pada 2012, menjadi US$ 6,29 miliar pada 2017. Dalam kurun waktu yang sama, aset Pertagas meningkat dari US$ 727 juta menjadi US$ 1,93 miliar. Namun, ternyata tingkat return on asset (ROA) PGN dalam 5 tahun terakhir justru lebih buruk, turun dari 19% menjadi 2%, yakni turun sebesar 41%. Sedangkan ROA Pertagas justru jauh lebih baik, yakni turun dari 12% menjadi 7%, atau turun hanya sebesar 11,7%. Kondisi ROA PGN ini memang tidak menguntungkan bagi investor (pemegang saham) asing di PGN. Sehingga akuisisi Pertagas oleh PGN patut diduga disebabkan adanys “kepentingan untuk melindungi” pemodal asing yang nilai investasinya terus tergerus!
Kelima, dengan ROA yang terus turun, maka harga saham PGN dalam 2 tahun terakhir terus pula turun. Harga saham terendah sekitar Rp 1500-an dan tertinggi sekitar Rp 2600-an. Mestinya saat harga rendah, pemerintah melakukan bayback saham, sehingga kebijakan masa lalu yang melanggar konstitusi dan merugikan negara tersebut dapat diperbaiki. Ternyata kebijakan yang diambil sama saja, koreksi tidak dilakukan. Yang diambil justru menolong pemegang saham publik/asing. Faktanya, dengan akuisisi saham Pertagas oleh PGN, harga saham PGAS yang sangat rendah pada periode Mei-Juni 2018 kembali membaik setelah ditandatanganinya CSPA 29 Juni 2018. Sejak penandatanganan CSPA hingga saat ini, harga saham PGAS memang terus naik (harga saham PGAS juga tergantung pada harga minyak dunia yang akhir-akhir ini tururn).
Keenam, proses konsolidasi melalui akuisisi dilakukan dengan cepat tanpa memperhatikan kajian aspek-aspek terkait secara komprehensif, termasuk dalam hal organisasi, kelembagaan dan SDM. Hal ini berpotensi merugikan keuangan negara. Dalam hal ini muncul pula kekhawatiran perihal adanya kepentingan oknum-oknum tertentu yang sedang berburu rente melalui berbagai kegiatan yang terkait dengan penyelesaian proses akuisisi, termasuk dalam hal penetapan nilai kapitalisasi saham Pertagas dan penunjukan konsultan penilai, mau pun dalam rencana penerbitan surat utang.
Ketujuh, proses konsolidasi dilakukan dalam kondisi organisasi dan manajemen Pertamina sedang tidak optimal. Sebagai pimpinan holding yang telah memperoleh penyerahan saham (inbreng) pemerintah di PGN, mestinya Pertamina lah yang memegang peran dominan dalam proses konsolidasi. Yang terjadi, direksi Pertamina dirombak tiga kali dalam 2 tahun terakhir, Direktorat Gas sebagai salah satu lini bisnis penting dan strategis di masa depan bagi Pertamina dan negara justru dibubarkan, serta Dirut Pertagas pun diberhentikan.
Dengan langkah-langkah di atas, jelas peran proses konsolidasi justru leluasa didominasi KBUMN. Sikap pemerintah ini jelas mengundang tanda tanya, apakah pembentukan Holding BUMN Migas memang murni untuk kepentingan ideal negara dan rakyat, atau justru ditumpangi oleh oknum-oknum tertentu yang memiliki hidden agenda. Beberapa agenda dimaksud adalah adanya oknum-oknum tertentu, termasuk asing, yang berkepentingan untuk melindungi investasi pada saham PGN, perburuan rente dalam rencana bisnis ekspor dan impor gas di masa depan, perburuan fee jasa konsultan dan penerbitan surat utang, dan lain-lain.
Kedelapan, dengan mengakuisisi saham Pertagas, maka PGN perlu menyiapkan dana yang jumlahnya cukup besar. Jika PGN tidak mampu, maka alternatifnya adalah dengan skema rights issue saham baru atau dengan peminjaman dana melalui penerbitan obligasi (surat utang). Jika skema rights issue yang ditempuh maka saham Pertamina berpotensi terdilusi, sedangkan dengan skema penerbitan obligasi, maka beban keuangan Pertamina secara tidak langsung akan bertambah. Hal-hal ini menunjukkan skema akuisisi bukan memberi manfaat, tetapi justru menambah beban Pertamina.
Kesembilan, dengan skema akuisisi maka pemegang saham publik di PGN lebih diuntungkan, dan Pertamina sebagai pemegang 100% saham Pertagas dirugikan, terutama jika nilai 100% saham Pertagas “dinilai” lebih rendah dari seharusnya. “Nilai” saham tersebut dapat saja direkayasa menjadi lebih rendah dari seharusnya, jika terdapat oknum-oknum pengambil keputusan mengidap moral hazard dan pihak-pihak asing pun ikut “bermain” untuk terus dapat mengeruk keuntungan dan berbagai potensi bisnis nasional.
Kesepuluh, KBUMN mengatakan salah satu tujuan pembentukan Holding BUMN Migas untuk efisiensi industri migas nasional. Kalau tujuannya untuk efisiensi, seharusnya mekanisme konsolidasi Pertagas dengan PGN yang dipilih adalah yang paling efisien. Karena Pertagas dan PGN berada di bawah Pertamina, maka wajar jika pemerintah menyerahkan mekanismenya kepada mekanisme korporasi. Jika KBUMN masih mengintervensi, yang terjadi justru inefisiensi, atau adanya suatu motif tertentu yang wajar dipertanyakan! Bagi pemerintah, intervensi tersebut juga tidak efisien, karena harus terlibat secara mendalam, baik secara teknis maupun bisnis.
Kesebelas, dengan terjadinya privatisasi saham Pertagas melalui penyeludupan kebijakan (skema akuisisi Pertagas oleh PGN) oleh KBUMN, maka pemerintah dapat dinyatakan telah melanggar ketentuan dalam UU No.19/2003 tentang BUMN. Ketentuan dimaksud antara lain adalah tentang privatisasi yang harus dilakukan sesuai prinsip-prinsip transparansi, kemandirian, akuntabilitas, pertanggungjawaban dan kewajaran (Pasal 75). Hal-hal lain yang dilanggar adalah cara privatisasi (Pasal 78), komite privatisasi (Pasal 79, 80 dan 81), dan cara privatisasi (Pasal 82).
Kedua belas, ternyata eksekusi skema akuisisi pun telah mundur 4-5 bulan dari rencana semula, yakni dari Agustus 2018 ke Desember 2018. Dengan mundurnya jadwal eksekusi ini, dan nilainya pembayarannya pun baru 50?ri yang seharusnya, maka sangat pantas dan lebih menguntungkan bagi negara jika yang ditempuh adalah skema merger. Ini artinya bahwa alasan pemilihan skema akuisisi karena pertimbangan waktu seperti disebutkan semula, ternyata hanya akal-akalan, tidak terealisasi dan dan dapat dianggap tidak prudent/ bertanggungjawab.
Ketiga belas, nilai akuisisi berubah dari Rp 16,6 triliun menjadi Rp 20,18 triliun, akibat dimasukkannya empat anak usaha Pertagas yakni PT Perta Arun Gas, PT Perta Daya Gas, PT Perta-Samtan Gas, dan PT Perta Kalimantan Gas dalam proses akuisisi. Nilai ke 4 anak perusahaan tersebut hanya sebesar Rp 3,58 triliun. Hal ini patut dipertanyakan, karena nilainya dianggap cukup murah. Sehubungan dengan itu, perlu dilakukan audit oleh BPK dan penyelidikan oleh KPK.
Memperhatikan hal-hal di atas, kami menganggap skema akuisisi bukan merupakan pilihan terbaik untuk mengonsolidasikan bisnis Pertagas dengan PGN. Patut diduga, kebijakan tersebut dijalankan lebih untuk melindungi kepentingan investor publik/asing di PGN yang nilai sahamnya terus tergerus. Kami juga khawatir skema akuisisi akan merugikan negara, karena kebijakan KBUMN tersebut belum didukung oleh analisis untung-rugi (cost/benefit analisys) secara komprehensif dan dapat pula ditumpangi oknum pemburu rente. Selain itu, pilihan skema akuisisi belum mempertimbangkan aspek-aspek governance, integrasi kelembagaan, organisasi dan SDM, serta fungsi pengawasan oleh DPR dan publik. Skema akuisisi merupakan langkah divestasi/privatisasi (IPO) saham negara di Pertagas secara terselubung!
Oleh sebab itu, demi memperoleh manfaat terbesar dari pembentukan Holding BUMN Migas dan mencegah kerugian negara, pemerintah harus membatalkan akuisisi Pertagas oleh PGN. IRESS juga meminta KPK untuk terlibat aktif melakukan fungsi pencegahan dan kontrol atas kebijakan akuisisi tersebut, sebagaimana tercantum dalam surat IRESS bersama Serikat Pekerja ke KPK pada 30 Juni 2018. Kami juga mengajak berbagai kalangan untuk melakukan advokasi, termasuk meminta DPR menggunakan hak pengawasan atau membentuk pansus guna mencegah pemerintah membuat kebijakan yang bertentangan dengan konstitusi, kepentingan strategis negara, keberlanjutan bisnis BUMN dan kebutuhan pelayanan publik.
*Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies (IRESS)
Editor: Tokohkita