Rokhmin Dahuri

Blue Economy Baru Termanfaatkan 25%, Butuh Banyak Insinyur dan Teknologi Kelautan

  1. Beranda /
  2. Kabar /
  3. Nasional /
  4. Sabtu, 11 November 2023 - 14:19 WIB

TOKOHKITA. Ketua Gerakan Nelayan Tani Indonesia, Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri, MS menaruh perhatian serius terhadap kondisi nelayan dan pembudidaya di tanah air. Pasalnya, masih ada 15%-25?ri nelayan dan pembudidaya kita yang tergolong miskin.

“Ini sebuah fakta yang harus diperhatikan dan diatasi,” ujar Rokhmin pada Seminar Young Engineer Festival (YEF) yang digelar Forum Insinyur Muda Persatuan Insinyur Indonesia (FIM-PII) di Auditorium Mataram, Kementerian Perhubungan, Jakarta, Jumat (10/11) malam.

Sejatinya, Indonesia sebagai negara kepulauan, yang luas wilayahnya ¾ merupakan laut di dalamnya terkandung potensi ekonomi yang cukup melimpah. Namun ada beberapa faktor yang menyebabkan kondisi miskin pada nelayan dan pembudidaya. 

Di antaranya harga jual hasil tangkap yang terlalu murah dibanding dengan biaya produksi. “Kuantitas produksi dari dua kalangan ini, terutama usaha kecil dan menengah, terlampau rendah dibandingkan pengusaha perikanan skala besar,” terang Penasehat Menteri Kelautan dan Perikanan ini.

Menurut Rokhmin, banyak penyebab juga yang menyebabkan kuantitas tangkapan rendah. Sebagian besar usaha perikanan tangkap, perikanan budidaya, pengolahan hasil perikanan, dan perdagangan hasil perikanan dilakukan secara tradisional (low technology) dan berskala usaha Kecil dan mikro (UKM). Sehingga, tingkat pemanfaatan SDI  (sumber daya insani), produktivitas, dan efisiensi usaha perikanan pada umumnya rendah.

“Akibatnya, nelayan dan pelaku usaha lain miskin, dan kontribusi bagi perekonomian, yakni  PDB, nilai ekspor, pajak, PNBP, dan PAD yang  rendah,” sebut Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan-IPB University itu.

Ia pun contoh, dari 625.633 unit kapal ikan, setidaknya hanya 3.811 unit yang tergolong modern. Indikator modern sendiri ditandai dengan kapasitasnya yang berada di atas 30 gross ton (GT). “Jumlah tersebut sekitar 0,6%. Sangat kecil,” ucapnya.

Selain itu, ukuran unit usaha (bisnis) perikanan tangkap, perikanan budidaya, pengolahan hasil perikanan, dan perdagangan hasil perikanan sebagian besar tidak memenuhi skala ekonomi (economy of scale). “Sehingga, keuntungan bersih (pendapatan) lebih kecil dari 300 dolar AS  (Rp 4,5 juta)/orang/bulan, alias miskin,” tandasnya.

“Faktor lainnya, sebagian besar pembudidaya ikan belum menerapkan Best Aquaculture Practices (BAP = Cara Budidaya Ikan Terbaik), sehingga sering terjadi serangan wabah penyakit yang menyebabkan gagal panen,” jelanya.

Kemudian, pasokan pakan ikan berkualitas yang selama ini mengandalkan sumber proteinnya dari fishmeal (tepung ikan) semakin terbatas, sehingga mengakibatkan harganya terus naik.  Sekitar 60%  biaya produksi untuk pakan ikan. “Pasokan induk (broodstocks) dan benih berkualitas unggul (SPF, SPR, dan fast growing) masih terbatas.  Padahal, benih menentukan 50% keberhasilan usaha budidaya,” ujar Prof. Rokhmin mengutip data  FAO (2018).

Rokhmin mengaku merasakan prihatin dengan nasib nelayan karena kalau membeli sarana produksi seperti jaring, BBM, beras dan lainnya selalu mendapatkan harga yang lebih mahal karena nelayan tidak bisa membeli langsung ke pabrik tetapi harus melalui sekian banyak perantara.  Sebaliknya ketika nelayan menjual ikan hasil tangkap mereka pun tidak bisa langsung menjual ke pasar akhir. “Lagi-lagi, harus melalui tengkulak atau pedagang perentara,” ungkapnya.

Untuk itu, Rokhmin berharap kehidupan nelayan Indonesia bisa lebih sejahtera. ”Saya berharap pendapatan minimal para nelayan di Indonesia rata-rata per bulannya Rp 7 juta,” ujar Ketua Umum Masyarakat Akuakultur Indonesia itu.

Dalam kesempatan tersebut, Prof. Rokhmin Dahuri memaparkan, Indonesia memiliki modal besar dan lengkap untuk menjadi negara maju, sejahtera, dan berdaulat. Namun dengan modal yang begitu besar, Indonesia masih berada dalam middle class. “Untuk menuju Indonesia yang maju dibutuhkan transformasi struktural ekonomi,” katanya.

Saat ini, ungkapnya, kontribusi sektor manufacturing terhadap PDB hanya 18%. Padahal, menurut Menteri Kelautan dan Perikanan-RI Kabinet Gotong Royong ini minimal jika ingin maju 30%. Untuk itu, agas bisa keluar dari middle-income trap (jebakan negara berpendapatan menengah) menjadi negara maju, sejahtera, dan berdaulat.

Maka ke depan rata-rata laju pertumbuhan ekonomi Indonesia harus diatas 7% per tahun.  Selain itu, sifat pertumbuhannya harus berkualitas dan inklusif. Artinya, banyak menyerap tenaga kerja, tersebar secara proporsional ke seluruh wilayah Nusantara (jangan terkonsentrasi di P. Jawa), dan mensejahterakan seluruh rakyat secara berkeadilan. ”Juga, mesti ramah lingkungan dan berkelanjutan (sustainable),” kata ketua Dewan Pakar  Masyarakat Perikanan Nusantara  itu.

Yang terang, potensi Ekonomi Biru (Blue Economy) Indonesia sangat besar, sekitar US$ 1,4 triliun  per tahun atau 1,2 kali lipat besaran ekonomi (PDB) Indonesia saat ini. Dan berpotensi untuk menyerap tenaga kerja untuk lebih dari 45 juta orang.

Potensi ekonomi itu tersebar di 11 sektor Blue Economy, yakni: (1) Perikanan Tangkap, (2) Perikanan Budidaya, (3) Imdustri Pengolahan Hasil Perikanan dan Seafood, (4) Industri Bioteknologi Kelautan, (5) Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), (6) Pariwisata Bahari, (7) Kehutanan Pesisir (Coastal Forestry), (8) Sumber Daya Wilayah Pulau-Pulau Kecil, (9) Industri dan Jasa Maritim (seperti galangan kapal, pabrik alat tangkap ikan, pabrik mesin kapal, pabrik kincir air tambak, pabrik mesin pakan ikan, dan coastal and ocean engineering), (10) Transportasi Laut, dan (11) Sumber Daya Alam laut non-konvensional.

Menurut Rokhmin, sejauh ini bangsa Indonesia baru memanfaatkan sekitar 25?ri total potensi Blue Economy di atas. Untuk lebih mengoptimalkan pemanfaatan Blue Economy bagi kemajuan, kemakmuran; dan kedaulatan bangsa, maka diperlukan dukungan APBN, alokasi kredit perbankan,  unfrastruktur dan konektivitas. "Juga yang tak kalah penting adalah SDM  atau human capital, khususnya para insinyur dan teknologi yang dibutuhkan untuk pengembangan kesebelas sektor Blue Economy," pungkasnya.

Editor: Tokohkita

TERKAIT


TERPOPULER