69% Masyarakat Indonesia Diperkirakan akan Terus Bekerja Setelah Pensiun
- Beranda /
- Kabar /
- Gaya Hidup /
- Jumat, 22 September 2023 - 05:42 WIB
Secara global, rata-rata perempuan berusia 65 tahun ke atas menerima pendapatan pensiun 26% lebih sedikit dibandingkan laki-laki, menurut laporan OECD pada tahun 2021.
JAKARTA – Riset Manulife Investment Management mengungkap rata-rata 69% masyarakat Indonesia memperkirakan mereka harus terus bekerja setelah pensiun. Alasannya berbeda-beda antar generasi, rumah tangga, dan gender – mulai dari kewajiban keluarga, memenuhi gaya hidup yang diinginkan, dan status keuangan – yang mencerminkan beragamnya pola pikir masyarakat mengenai masa pensiun.
Afifa, CEO & President Director PT Manulife Aset Manajemen Indonesia mengatakan bahwa temuan ini merupakan bagian dari serial pensiun Diverse Asia yang dikeluarkan oleh Manulife Investment Management. “Diverse Asia mengkaji tantangan dan peluang yang dihadapi oleh populasi lansia di Asia, dikaitkan dengan profil demografis dan fondasi sosio-ekonomi di wilayah tersebut,” ujar Afifa.
Bagi Gen X, Milenial, dan Baby boomer, alasan utama mereka bekerja setelah pensiun adalah demi kesejahteraan pribadi. Sementara Gen Z memandang pentingnya tetap aktif dan terhubung secara sosial selama masa pensiun. Satu kesamaan alasan di semua generasi ini yaitu kemampuan untuk menghidupi diri sendiri jika terjadi keadaan darurat finansial.
Temuan ini menjelaskan mengapa tujuan utama menabung dan berinvestasi di kalangan masyarakat Indonesia adalah untuk kondisi darurat (55%), diikuti oleh kemandirian finansial.
Meskipun demikian, 55% masyarakat Indonesia merasa bahwa mereka akan mencapai tujuan pensiunnya. Ini merupakan angka tingkat kepercayaan tertinggi diantara wilayah lainnya di Asia yang disurvei (Hong Kong, Malaysia, dan Taiwan), sedangkan rata-rata Asia sebesar 41%. Proporsinya bahkan lebih tinggi lagi pada generasi Milenial dan Gen Z di Indonesia, masing-masing sebesar 53?n 66%.
Hal ini mungkin disebabkan oleh fakta bahwa masyarakat Indonesia mulai menyisihkan dana untuk masa pensiun pada usia yang relatif lebih muda, yaitu pada usia 31 tahun, dibandingkan dengan negara lainnya di Asia (pada usia 32 tahun), dan mereka bercita-cita untuk pensiun pada usia 55 – tiga tahun sebelum usia pensiun resmi.
Menariknya, generasi muda sudah mulai menyisihkan untuk masa pensiun pada usia yang lebih dini (Gen Z pada usia 21 tahun dan Millenial pada usia 28 tahun) sedangkan generasi tua memulainya jauh lebih lambat (Gen X pada usia 36 tahun dan Baby boomer pada usia 42 tahun). Hal ini juga menjelaskan mengapa generasi yang lebih muda memiliki keyakinan yang tinggi dalam mencapai tujuan pensiunnya.
Peran keluarga di masa pensiun
Di Indonesia, seperti halnya di negara-negara berkembang lainnya di kawasan ini, dukungan untuk lansia terutama datang dari keluarga atau kerabat. Tinggal bersama dalam satu rumah merupakan mekanisme penting dalam bentuk dukungan keluarga. Selain itu, bantuan keuangan seringkali datang dalam bentuk kiriman uang yang diterima dari anak-anak yang sudah bermigrasi ke tempat lain.[2]
Generasi berikutnya mungkin tidak hanya harus memberikan dukungan bagi orang tuanya yang sudah pensiun, namun mereka juga harus bersiap menghadapi kemungkinan berkurangnya dukungan keluarga ketika mereka pensiun. Ini juga bisa menjadi penjelasan mengapa sebagian besar dari orang Indonesia diperkirakan akan terus bekerja setelah pensiun.
Di sisi lain, 46% orang Indonesia mengatakan mereka menabung dan berinvestasi untuk kebutuhan anak-anaknya. Sekitar 85% orang tua di Indonesia mengatakan bahwa mereka sudah mulai menabung dan berinvestasi demi kesejahteraan finansial anak-anak mereka di masa depan, dan 76% lebih mengkhawatirkan kesejahteraan finansial anak-anaknya di masa depan dibandingkan masa pensiun mereka sendiri.
Jika dikaji lebih dalam, terungkap bahwa para ibu lebih khawatir terhadap masa depan anaknya dibandingkan para ayah. Sekitar 87% perempuan menyatakan bahwa mereka sudah mulai menabung atau berinvestasi untuk kesejahteraan finansial anak-anak mereka di masa depan. Jumlah ini lebih tinggi dibandingkan laki-laki (83%)
Secara global, rata-rata perempuan berusia 65 tahun ke atas menerima pendapatan pensiun 26% lebih sedikit dibandingkan laki-laki, menurut laporan OECD pada tahun 2021. Salah satu faktor penting yang sering menghambat perempuan dalam mengumpulkan kekayaan di masa pensiun adalah perjalanan karier yang harus melalui tahap stop-mulai. Biasanya, pekerja akan mengalami peningkatan pendapatan secara bertahap di sepanjang masa kerjanya. Namun, bagi perempuan, memiliki anak menimbulkan gangguan karier yang berdampak seumur hidup terhadap kesejahteraan finansial mereka.
Selain itu, tingkat partisipasi kerja dan upah perempuan seringkali tertinggal dibandingkan laki-laki. Di Indonesia, perempuan memperoleh penghasilan 23% lebih rendah dibandingkan laki-laki. Salah satu alasannya karena pekerjaan dengan gaji lebih tinggi didominasi oleh laki-laki.[5] Sebagaimana dicatat dalam sebuah penelitian, perempuan cenderung menghadapi tantangan dalam membangun karier dan membesarkan keluarga pada saat yang bersamaan. Memiliki anak sering kali berarti perempuan harus menunda karier mereka – seringkali untuk seterusnya. Perempuan juga cenderung memperoleh pendapatan yang lebih rendah setelah melahirkan, sehingga menghasilkan pendapatan seumur hidup yang lebih rendah dan akumulasi manfaat pensiun yang lebih lambat.4
Ditambah dengan usia harapan hidup perempuan yang lebih panjang, tidak mengherankan jika tujuan finansial utama mereka adalah untuk keadaan darurat (55%), kemandirian finansial (52%), dan memenuhi kebutuhan anak (46%).
Kabar baiknya adalah teknologi dapat membantu perempuan dan laki-laki dalam merencanakan dan mengelola simpanan pensiun dengan lebih baik. Data dari Manulife Investment Management mengungkap bahwa lebih banyak perempuan yang menggunakan platform digital untuk mengakses informasi investasi dan berinvestasi dibandingkan laki-laki. Platform investasi digital seperti Manulife iFUNDS memungkinkan penggunanya mengelola portofolio investasi dengan mudah.
Editor: Tokohkita