IPO Pertamina Ibarat Perdagangan Organ Tubuh

  1. Beranda /
  2. Kabar /
  3. Nasional /
  4. Minggu, 16 Agustus 2020 - 18:02 WIB

Menurut Rocky Gerung, melepaskan enam lini bisnis utama Pertamina dari induk perusahaan menjadi anak perusahaan (subholding) adalah akal-akalan dengan tujuan agar dapat dijual kepada investor swasta dan asing. Hal itu identik dengan jual-beli organ tubuh sendiri atau seperti pencuri sepeda motor yang kemudian menjual bagian-bagian (spare part) penting dari sepeda motor secara terpisah.

TOKOHKITA. Rencana penjualan sejumlah anak perusahaan (Subholding) strategis Pertamina dinilai ibarat perdagangan organ tubuh terpenting dalam diri manusia. Selain melanggar konstitusi, rencana itu juga akan mengebiri Pertamina karena lini bisnis utamanya telah dipecah-pecah menjadi sejumlah anak perusahaan yang dimiliki investor swasta dan asing.

Hal itu terungkap dalam Seminar Virtual dengan Tema “IPO Subholding Pertamina dalam Perspektif Kedaulatan Energi” yang diselenggarakan Lembaga Kajian Strategis Nusantara, Sabtu, 15 Agustus 2020. Pembicara dalam seminar tersebut yaitu Pengamat Politik dan Kebijakan Publik Rocky Gerung, Pakar Hukum Tata Negara Refly Harun, Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies (IRESS) Marwan Batubara, Pengamat Ekonomi Ichsanuddin Noorsy, Pakar Energi Kurtubi, dan Kepala Bidang Media Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu Capt. Marcellus Hakeng Jayawibawa.

Menurut Rocky Gerung, melepaskan enam lini bisnis utama Pertamina dari induk perusahaan menjadi anak perusahaan (subholding) adalah akal-akalan dengan tujuan agar dapat dijual kepada investor swasta dan asing. Hal itu identik dengan jual-beli organ tubuh sendiri atau seperti pencuri sepeda motor yang kemudian menjual bagian-bagian (spare part) penting dari sepeda motor secara terpisah.

Rocky juga mengibaratkan Pertamina sebagai ibu yang menyusui bagi seluruh anak bangsa. Dan ketika dijual, maka saat itulah Pertamina tidak lagi dapat melaksanakan fungsi dan tugasnya menegakkan keadilan sosial, yaitu dengan memastikan bahwa seluruh rakyat Indonesia dapat menikmati Bahan Bakar Minyak. “Selama ada rakyat yang tertinggal dan tersisih untuk mendapat minyak, maka negara abai terhadap keadilan sosial” kata Rocky.

Sedangkan Marwan Batubara mengatakan, selama ini ada dua alasan utama IPO Subholding yang dikemukakan Menteri BUMN dan Direktur Utama Pertamina, yaitu transparansi dan pendanaan. Namun, untuk mencapai kedua hal itu tidak harus melalui penjualan saham anak perusahaan strategis Pertamina yang melanggar UUD 1945 dan UU BUMN.

Menurut Marwan, untuk transparansi dan Tata Kelola Perusahaan Yang Baik (Good Corporat Governance) yang harus dilakukan adalah dengan memperbaiki mental pemerintah dan pejabat atau pekerja BUMN. Jika dipandang masih belum cukup, maka Pertamina dapat menjadi non listed public company atau perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia namun sahamnya tidak diperjualbelikan. Sedangkan untuk pencarian dana, Pertamina memiliki alternatif menerbitkan surat utang dengan biaya modal (cost of capital) yang lebih rendah dibanding biaya modal IPO.

Sementara Ichsanuddin Noorsy mengatakan, ada kesalahan konstruksi berpikir dalam rencana penjualan anak perusahaan strategis Pertamina, yaitu menggeser hajat hidup orang banyak (Public Goods) menjadi barang komersial (Comercial Goods). Hal itu sama persis terjadi di Perusahaan Listrik Negara.  Menurut Ichsanuddin, beberapa tahun lalu struktur bisnis utama PLN dipecah-pecah (unbundling) dan kemudian dijual ke swasta.

Hal itu menimbulkan kerugiaan cukup besar di tubuh PLN, yang salah satunya karena harus membeli listrik dari swasta dengan harga mahal. “Investor hanya mau membeli dan menikmati “daging” PLN. Sedangkan kerugian PLN dibebankan ke masyarakat” kata Ichsanuddin. 

Ichsanuddin menambahkan, ia dan para pembicara serta Serikat Pekerja Pertamina siap untuk diskusi terbuka dengan Direksi dan Komisaris Pertamina, termasuk dengan Menteri BUMN Erick Thohir. Diskusi terbuka itu ditujukan untuk mengkaji secara dalam apakah rencana IPO Subholding Pertamina adalah rencana yang tepat atau keliru.

Sementara Refly Harun mengingatkan bahwa Pertamina adalah cabang produksi yang penting bagi negara dan mengusai hajat hidup orang banyak serta harus dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Amanat Pasal 33 UUD 1945 dan UU BUMN tersebut dipastikan bertentangan atau menimbulkan konflik kepentingan dengan investor swasta dan asing yang tentu lebih mengutamakan keuntungan sebesar-besarnya.

Refly mengatakan, untuk menjamin BBM digunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat, maka lini bisnis utama Pertamina dari hulu sampai hilir, harus integral atau satu kesatuan. Bukan justru dipecah-pecah menjadi enam Subholding sebagaimana yang dilakukan Direktur Utama Pertamina pada Juni 2020 lalu.

Refly menambahkan, salah kaprah jika Pertamina dikelola dan diarahkan sama seperti perusahaan swasta yang target utamanya adalah laba sebesr-besarnya. Hal itu karena Pertamina sebagai BUMN memiliki fungsi dan tugas sebagai agen pembangunan dan perusahaannegara yang menciptakan nilainilai baru, misalnya nilai pro lingkungan dan pro HAM.

Sedangkan Pakar Energi Kurtubi mengatakan, makna cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan mengusai hajat hidup orang banyak, bukan hanya dikuasai negara sebatas cara mengatur atau menerbitkan regulasi. Selain regulasi, negara juga harus memilikinya serta mengeksplorasi dan mengeksploitasinya melalui perusahaan negara yang diberi Kuasa Pertambangan.

Terkait dengan alasan efisiensi jika Subholding Pertamina dilepas ke lantai bursa, Kurtubi mengingatkan bahwa monopoli negara jauh lebih efisien dari mekanisme pasar bebas. “Harus diingat pasar besar kalah efisien dari monopoli negara,” kata Kurtubi.

Adapun Capt. Marcellus Hakeng Jayawibawa mengatakan, pembentukan enam subholding Pertamina berpotensi menimbulkan persaingan usaha antar anak perusahaan Pertamina. Padahal, untuk menjamin pasokan BBM ke seluruh wilayah Indonesia, termasuk wilayah Tertinggal, Terdepan dan Terluar, lini bisnis intiPertamina harus terintegrasi. 

Hakeng juga mengingatkan, penyaluran BBM ke wilayah Tertinggal, Terdepan dan Terluar di Indonesia disubsidi Pertamina hingga mencapai Rp 35.000-Rp 50.000 per liter. Menurutnya investor swasta dan asing pasar bebas yang sejatinya berorientasi pada pencapai laba sebessr-besarnya, tentu tidak mau menanggung beban subsidi tersebut. 

Editor: Tokohkita

TERKAIT


TERPOPULER