Babai Suhaimi

Beri Kepercayaan Santri untuk Mengelola dan Memajukan Indonesia

  1. Beranda /
  2. Opini /
  3. Selasa, 22 Oktober 2019 - 07:27 WIB

Babai Suhaimi/Istimewa
Babai Suhaimi
Foto: Istimewa

Dengan ditetapkannya Hari Santri oleh pemerintah dan mendapat persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia adalah tanda dan bukti yang Allah SWT tunjukkan untuk bangsa ini, bahwa pejuang dalam membela dan memerdekakan, serta mempertahan NKRI adalah perjuangan kaum santri dengan para ulamanya.

Patut kita syukuri, di era kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi) perjuangn para alim ulama khususnya ulama-ulama dari kalangan Nahdlatul Ulama (NU) mulai diakui keberadaan dan peran sertanya di tengah-tengah masyarakat.

Pada era Jokowi juga, mulai terbuka lebar dan dan ada pengakuan dari pemerintah dan negara bahwa perjuanagn para ulama dan kaum santri dalam membentuk, membela, dan mempertahan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sangatlah besar dan penting peranannya. Sebagaimana yang diketahui, Hari Santri baru diresmikan pada 2014. Padahal, Resolusi Jihad yang menjadi cikal-bakal Hari Santri sudah ada sejak 22 Oktober 1945.

Dengan ditetapkannya Hari Santri oleh pemerintah dan mendapat persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia adalah tanda dan bukti yang Allah SWT tunjukkan untuk bangsa ini, bahwa pejuang dalam membela dan memerdekakan, serta mempertahan NKRI adalah perjuangan kaum santri dengan para ulamanya. Dan peringatan Hari Santri ini merupakan bentuk bukti keberadaan negara di sisi entitas yang selama ini mengambil bagian penting dalam keberagamaan, ke-Indonesia-an, dan kebhinnekaan

Adapun tema yang diusung Hari Santri tahun ini adalah 'Santri Indonesia untuk Perdamaian Dunia'. Dalam konteks isu global, santri dan pondok pesantren memiliki posisi cukup signifikan dalam percaturan wacana perdamaian dunia. Artinya, santri dan sistem pondok pesantren bisa dikatakan menjadi role model pendidikan Islam yang mampu menjadi laboratorium perdamaian.

Di sisi lain, persoalannya sekarang adalah bukan pada ditetapakannya 22 Oktober sebagai Hari Santri Nasional, akan tetapi bagaimana menjawab tantangan untuk menjaga keutuhan NKRI di era Induatri 4.0 yang penuh tantangan. Suka atau tidak suka, mau tidak mau harus hal tersebut harus diterima dan dihadapi, di samping terus menggelorakan semangat perdamaian dunia. Itu sebabnya, dalam ancaman disintegrasi yang salah satunya mengambil sentimen agama, santri tetap mendukung bahkan memasang badan demi keutuhan NKRI.

Dan faktanya telah berbicara bahwa keberadaan kaum santri tidak bisa dinafikan, telah banyak bukti bagaimana kaum santri di Indonesia ini menunjukan jati dirinya sepanjang perjalanan bangsa ini. Santri dan para ulama senantiawa merawat persatuan dan kesatuan Indonesia yang manjemuk. Bayangkan saja, Indonesia memiliki 265 juta penduduk, 1.360 suku dan 726 bahasa daerah.

Di pesantren, santri-santri dikader dengan keilmuan yang mendalam dan dibekali dengan karakter humanis, inklusif, toleran, dan moderat. Dengan demikian, para santri dituntut untuk siap berperan sebagai duta-duta perdamaian di tengah dinamika masyarakat yang sering mendapat ujian perpecahan, konflik, bahkan pertikaian. Untuk itu, kita perlu belajar dari sosok Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, yang telah menunjukkan baik pemikiran, sikap, dan perjuangannya dalam menjaga keutuhan NKRI.

Gus Dur adalah bukti bahwa santri memiliki nilai dan kemampuan lebih dalam memandang NKRI dengan kedalaman pemahaman agama. Alhasil, beliau dijuluki Bapak Kemanusiaan (humanis). Pun semasa Gus Dur menjadi presiden, tercipta sebuah peradaban baru di Indonesia, yang mana pada saat itu semua suku dengan berbagai macam agama dan kepercayaan diberikan hak yang sama dalam bingkai kehidupan NKRI.

Jadi, tidak berlebihan juga jiga ada yang menyebut Gus Dur sebagai Bapak Demokrasi. Maka dari itu, dalam demokrasi harus ada kebebasan dan dalam kebebasan harus ada persamaan. Dengan demikian, dalam kebebasan dan persamaan itu harus ada kebersatuan. Artinya, kebersatuan harus dijaga agar NKRI ini tetap utuh dan kuat.

Kini, tampil KH Mahruf Amin yang juga sama dengan Gus Dur, bahkan lebih nyata dari identitas kesantriannya yang mana salah satu ciri khas santri adalah sarungan, selalu melekat padanya. Yang lebih dahsyat lagi, KH Mahruf Amin adalah pelopor bagi lahirnya pemikiran ekonomi syariah. Sehingga, saat ini lahir bank-bank syariah di Indonesia. Beliau juga pelopor lahirnya gerakan ekonomi di kalangan pondok pesantren di seluruh Indonesia.

Dua tokoh tersebut di atas adalah bukti bahwa santri memiliki kemampuan yang sama, bahkan bisa lebih menonjol dari yang lainnya. Nah, persoalannya adalah maukan bangsa ini memberikan kepercayaan kepada kaum santri untuk mengelola dan memajukan bangsa ini.

*Penulis adalah Anggota DPRD Kota Depok dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB)

Editor: Tokohkita

TERKAIT


TERPOPULER