Syarifudin Yunus

Literasi Media Sosial; Jarimu Bukan Harimaumu

  1. Beranda /
  2. Opini /
  3. Minggu, 20 Oktober 2019 - 23:44 WIB

Syarifudin Yunus/Dokumen pribadi
Syarifudin Yunus
Foto: Dokumen pribadi

Bila dulu ada pepatah “mulutmu harimaumu” maka di media sosial harusnya “jarimu bukan harimaumu”. Maka, bijaklah ber-media sosial.

Tidak kurang dari 7 anggota TNI dicopot dari jabatannya terkait unggahan nyinyir dari sang istri di media sosial soal insiden penusukan Menkopolhukam beberapa waktu lalu. Lebih dari itu, ke-7 anggota TNI tersebut juga menerima hukuman disiplin militer. Begitu pula di Aparatur Sipil Negara (ASN). Sesuai dengan PP 53 tahun 2010, ASN yang melakukan ujaran kebencian maupun bersikap nyinyir di media sosial dapat dikenakan sanksi mulai hukuman ringan berupa teguran atau penundaan kenaikan pangkat atau penundaan kenaikan gaji berkala hingga yang paling berat pemecatan. 

Di era media sosial seperti sekarang, memang terlalu mudah ujaran kebencian maupun hoaks tersebar ke mana-mana. Media sosial kerap dianggap enteng oleh penggunanya. Tapi di media sosial juga melekat konsekuensi hukumnya, khususnya UU No. 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Maka jadilah istilah, jarimu harimaumu.

Maka kini, penting untuk mengangkat persoalan literasi media sosial. Agar para pengguna media sosial selalu berhati-hati. Agar lebih bijak dalam ber-media sosial. Literasi media sosial harus ditingkatkan. Karena hakikatnya, media sosial adalah sarana untuk menebar konten positif dan upaya perbaikan keadaan yang signifikan. Penting hari ini, masyarakat meningkatkan literasi media sosial. Agar kasus-kasus seperti yang dialami anggota TNI tidak terulang lagi.

Karena literasi media sosial, sejatinya, adalah kesadaran masyarakat untuk memahami fungsi media sosial sehingga mampu mengolah informasi dengan baik. Bijak ber-media sosial artinya pengguna media sosial harus menggunakan akal budi pada setiap unggahan yang dilakukan. Tidak cukup hanya akal, tapi budi pekerti atau akhlak pun harus diikutsertakan. Harus dipahami, media sosial adalah sarana media daring (online) yang memudahkan penggunanya untuk ikut berbagi dan ber-ekspresi apapun.

Dari mulai yang remeh temeh hingga yang berat seperti soal politik, pemimpin, atau negara. Karena itu, dibutuhkan kehati-hatian dalam ber-media sosial. Tidak bijaknya masyarakat ber-media sosial, konsekuensinya mudah pula terpapar risiko seperti terlibat menyebar hoaks, mengunggah ujaran kebencian, bahkan fitnah.

Bayangkan saat ini di Indonesia, tidak kurang dari 143 juta dari 262 juta penduduk telah memiliki akses internet dan media sosial. Itu artinya, 1 dari 2 orang Indonesia memiliki akses media sosial. Bahkan lebih dari itu, faktanya 70?ri pengguna meng-akses media sosial secara mobile atau dari gawai yang ada di genggamannya. Maka wajar akhirnya, media sosial menjadi candu bagi penggunanya.

Candu media sosial inilah, kemudian menimbulkan masalah. Karena pengguna media sosial “gagal” memilah dan memilih informasi yang sesuai dengan norma dan tatanan nilai di masyarakat. Sungguh, literasi media sosial hakikatnya, bukan hanya mempersoalkan cara dalam menggunakan media sosial. Tapi juga soal bijaknya seseorang dalam memilah dan memilih informasi yang baik atau tidak baik, benar atau tidak benar.

Oleh karena itu, literasi media sosial harusnya mengambil peran penting. Untuk menggeser penggunaan media sosial tidak lagi sebagai media ekspresi atau eksistensi semata. Tapi juga menjadi sarana edukasi yang lebih memuat konten positif dan bermanfaat. Bijak ber-media sosial butuh kehati-hatian. Sehingga unggahan yang dilakukan tidak menimbulkan keributan atau memperkeruh keadaan. Karena sejatinya, media sosial ada dan digunakan untuk menciptakan keadaan dan lingkungan sosial yang lebih baik.

Apalagi dengan kondisi saat ini, tidak kurang dari 5,5 jam sehari orang Indonesia berselancar di media sosial atau dunia maya. Maka setiap unggahan atau postingan di media sosial harus mempertimbangkan hal-hal, seperti: 1) dampak dari unggahan atau postingan, 2) reaksi pembaca medsos, 3) hindari emosi dan sentimen, dan 4) tetap bersikap empati dan hati-hati.

Maka cara untuk meningkatkan literasi media sosial cukup sederhana. Sesuai prinsip komunikasi atau informasi, pengguna media sosial harus memperhatikan 3 (tiga) hal yaitu 1) mengecek sumber informasinya valid atau tidak, 2) menilai pesan-nya bermanfaat atau tidak, dan 3) memastikan tujuannya, penting atau tidak – baik atau tidak.

Literasi media sosial menjadi penting diprioritaskan di era digital. Agar kehidupan masyarakat dan lingkungan sosial tidak terkoyak akibat “salah pakai” media sosial. Di media sosial, mengkritik tentu sangat bolah. Namun, jangan sampai menghina atau menghujat. Maka ke depan, pengguna media sosial harus harus lebih literat. Media sosial yang mampu menghindari konten negatif, mengeedepankan akhlak daripada akal semata, memperhatikan etika, dan memahami konsekuensi hukumnya. Dan untuk itu semua, harus dimulai dari diri sendiri; di diri pengguna media sosial.

Titik krusial dari literasi media sosial adalah “saring sebelum sharing; gunting sebelum posting”. Agar tidak menambah masalah akibat unggahan di media sosial. Maka ke depan, untuk menata media sosial di Indonesia harus diprioritaskan “spirit baru” media sosial yang 1) kontennya positif, 2) sifatnya edukatif, dan 3) manfaatnya baik. Dan yang paling penting “tetap memelihara harmoni sosial, sebagai bangsa Indonesia”.

Bila dulu ada pepatah “mulutmu harimaumu” maka di media sosial harusnya “jarimu bukan harimaumu”. Maka, bijaklah ber-media sosial.

*Penulis adalah Pegiat Literasi dan Dosen Unindra PGRI

Editor: Tokohkita

TERKAIT


TERPOPULER