Walhi-Kiara

Ekosistem Manggrove Kritis, Pemerintah Harus Beri Perlindungan

  1. Beranda /
  2. Kabar /
  3. LINGKUNGAN /
  4. Jumat, 19 Juli 2019 - 10:37 WIB

Diskusi dan bedah buku Manggrove/Tokohkita.
Diskusi dan bedah buku Manggrove
Foto: Tokohkita.

Keberadaan hutan mangrove sebagai pelindung garis pantai dari ancaman bencana tsunami sekaligus menjaga keberlangsungan hidup masyarakat pesisir kondisinya kritis akibat ekspansi bisnis pertambangan, pembangkit listrik, dan industri properti.

TOKOHKITA. Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki garis pantai terpanjang di dunia. Sayang, Namun, kondisi wilayah pesisir pantai ini banyak yang rusak. Ironisnya, keberadaan hutan mangrove sebagai pelindung garis pantai dari ancaman bencana tsunami sekaligus menjaga keberlangsungan hidup masyarakat pesisir kondisinya kritis akibat ekspansi bisnis pertambangan, pembangkit listrik, dan industri properti.

Hal ini terungkap dalam bedah buku “Mangrove: Dinamika dan Dampak Ekologi Masyarakat Pesisir” yang digelar Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) di Jakarta, Kamis (18/7/9). Buku ini karya Rignolda Djamaludin, Ph.D., yang merupakan Dosen Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Univeritas Sam Ratulangi (FKIP Usrat), Manado Sulawesi Utara. Selain sebagai dosen FKIP Unsrat, penulis buku ini merupakan Direktur Kelompok Pengelola Sumberdaya Alam (Kelola) sekaligus Ketua Asosiasi Nelayan Tradisional Sulawesi Utara (ANTRA).

Hadir dalam kesempatan ini, Sekretaris Jenderal Kiara Susan Herawati, Direktur Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Nur Hidayati, serta penulis buku. Menurut Susan, peluncuran buku ini dilatarbelakangi oleh semakin kritisnya kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil karena hilangnya hutan mangrove di Indonesia.

Penyebab utama hilangnya hutan mangrove di Pesisir Indonesia bukanlah ekspansi tambak udang, melainkan akibat massifnya pembangunan ekstraktif dan eksploitatif serta pembangunan proyek properti dan industri seperti reklamasi, pertambangan, ekspansi sawit, PLTU, pembangunan resort, dan industri tambak. “Luasan hutan mangrove pada tahun 2014 tercatat seluas 4,4 juta hektare. Namun, pada tahun 2017, luasannya hanya tersisa 3,5 juta hektar,” tutur Susan.

Pada 2019, Kiara mencatat terdapat sekitar 6.829 desa pesisir yang memiliki pendapatan ekonomi dari praktik pemanfataan dan pengelolaan kawasan hutan mangrove. Dengan kata lain, kawasan hutan mangrove memiliki peran penting dan signifikan dalam mempengaruhi sosio-economi masyarakat pesisir. "Dengan demikian, pemerintah perlu melindungi keberadaan hutan mangrove secara serius dan berkelanjutan,” pinta Susan.

Selain itu, keberadaan hutan mangrove sangat penting dalam kontks mitigasi bencana. Dalam dua tahun terakhir, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat jumlah kejadian bencana bencana tsunami sejak tahun 2010-2018 sebanyak 37 kali. Dengan 37 kali bencana tsunami ini, tak sedikit korban nyawa yang tidak bisa diselamatkan akibat tak adanya sistem mitigasi bencana yang baik.

“Dalam konteks inilah, keberadaan hutan mangrove menjadi sangat penting sebagai pelindung alami masyarakat dari ancaman bencana tsunami yang bisa datang kapan saja. Berbagai fakta di lapangan membuktikan, mangrove terbukti lebih baik daripada tanggul laut yang terbukti gagal,” kata Nur Hidayati.

Sementara itu, Rignolda mendesak pemerintah untuk menetapkan perlindungan hutan mangrove sebagai prioritas pembangunan kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil dengan menjadikan masyarakat pesisir sebagai aktor utamanya. “Kami mendesak pemerintah untuk segera melindungi kawasan mangrove. Dalam pada itu, masyarakat pesisir harus ditempatkan sebagai pemain utama,” tegasnya

Editor: Tokohkita

TERKAIT


TERPOPULER