Susan Herawati, Sekjen Kiara

Soal Kisruh Garam, Pemerintah Harus Kembali ke UU No. 7/2016

  1. Beranda /
  2. Kabar /
  3. Nasional /
  4. Sabtu, 6 Juli 2019 - 15:49 WIB

Susan Herawati, Sekjen Kiara/Istimewa
Susan Herawati, Sekjen Kiara
Foto: Istimewa

Masyarakat patut mempersoalkan hal ini karena permasalah ini tak pernah bisa diselesaikan oleh pemerintah dari waktu ke waktu. Apalagi pemerintah Indonesia telah menetapkan kuota impor garam untuk tahun 2019 sebanyak 2,7 juta ton.

TOKOHKITA. Sejak satu pekan terakhir, menjelang panen garam rakyat tahun ini, masyarakat petambak garam, khususnya di Cirebon Jawa Barat mengeluhkan penumpukan garam rakyat di sejumlah gudang yang tidak terserap oleh pasar, meski harganya sudah sangat rendah, yaitu Rp 300 per kg.

Waji, Sekretaris Jenderal Persatuan Petambak Garam Indonesia mengatakan, kondisi ini menggambarkan betapa tata kelola garam di Indonesia tak mengalami perbaikan. "Setiap tahun, kami harus berhadapan dengan permasalahan harga, iklim, dan impor. Seakan-akan garam rakyat dibiarkan mati di tempat,” katanya dalam keteangan resminya, Sabtu (6/7/2019).

Masyarakat patut mempersoalkan hal ini karena permasalah ini tak pernah bisa diselesaikan oleh pemerintah dari waktu ke waktu. Apalagi pemerintah Indonesia telah menetapkan kuota impor garam untuk tahun 2019 sebanyak  2,7 juta ton.

Menanggapi hal ini, Sekretaris Jenderal Kiara Susan Herawati menyatakan bahwa tata kelola garam di Indonesia semakin hancur karena pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 9 Tahun 2018 tentang Tata Cara Pengendalian Impor Komoditas Perikanan dan Komoditas Pergaraman Sebagai Bahan Baku dan Bahan Penolong Industri. “Inilah regulasi yang secara terang-terangan menghancurkan tata kelola garam nasional setelah sebelumnya Menteri Perdagangan menerbitkan Peraturan Menteri Perdagangan No. 125 Tahun 2015,” ujarnya.

Susan menggarisbawahi dua persoalan mendasar dalam PP No. 9 Tahun 2018 yang menghancurkan tata kelola garam nasional. Pertama, pasal 5 ayat 3 mengenai volume dan waktu impor, sebagaimana tertulis: volume dan waktu pemasukan komoditas pergaraman ditetapkan berdasarkan hasil rapat koordinasi yang diselenggarakan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang koordinasi perekonomian.

Kedua, pasal 6 persetujuan komoditas impor, sebagaimana tertulis: persetujuan impor komoditas perikanan dan komoditas pergaraman diterbitkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perdagangan untuk Bahan Baku dan bahan penolong industri sesuai rekomendasi menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perindustrian.

“Dua pasal ini merupakan bentuk nyata liberalisasi garam nasional atas nama industri. PP No. 9 Tahun 2018 ini jelas-jelas bertentangan dengan UU No. 7 Tahun 2016 Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Petambak Garam,” tegasnya.

Susan menjelaskan, dalam hal tata kelola garam, UU No. 7 Tahun 2016 memandatkan bahwa Pengendalian impor komoditas perikanan dan komoditas pergaraman harus dilakukan melalui penetapan waktu pemasukan. “Dalam hal ini impor garam tidak boleh dilakukan berdekatan dengan musim panen garam rakyat karena akan berdampak terhadap turunnya harga garam di tingkat masyarakat,” terangnya.

Tak hanya itu, UU No. 7 Tahun 2016 memandatkan impor komoditas garam harus mendapatkan rekomendasi dari menteri terkait, dalam hal ini, Kementerian Kelautan dan Perikanan. Inilah dua hal yang dilanggar oleh PP No. 9 Tahun 2018. Menurut Susan, UU No. 7 Tahun 2016 telah mengatur persoalan tata garam nasional secara komprehensif, mulai dari perlindungan petambak garam sampai dengan pengendalian impor. “Namun Pemerintah pusat justru tidak menjadikan UU ini sebagai pedoman, malah membuat regulasi yang tidak menguntungkan masyarakat,” ungkapnya.

Sebagaimana tertulis di dalam Pasal 12 UU 7 Tahun 2016, Pemerintah dimandatkan untuk melindungi dan memberdayakan petambak garam dengan cara sebagai berikut: 1) penyediaan prasarana usaha perikanan dan usaha pergaraman; 2) kemudahan memperoleh sarana usaha perikanan dan usaha pergaraman; 3) jaminan kepastian usaha; 4) jaminan risiko penangkapan ikan, pembudidayaan ikan, dan pergaraman; 5) penghapusan praktik ekonomi biaya tinggi; 6) pengendalian impor komoditas perikanan dan komoditas pergaraman; 7) jaminan keamanan dan keselamatan; 8) fasilitasi dan bantuan hukum; 9) pendidikan dan pelatihan; 10) penyuluhan dan pendampingan; 11) kemitraan usaha; 12) kemudahan akses ilmu pengetahuan, teknologi, dan informasi; serta 13)  penguatan kelembagaan.

“Pada masa yang akan datang, Indonesia harus berdaulat dalam urusan garam. Artinya, pemerintah harus kembali kepada UU 7 Tahun 2016 sebagai aturan main dalam menata pergaraman nasional,” pungkas Susan. 

Editor: Tokohkita

TERKAIT


TERPOPULER