Rokhmin Dahuri

Tantangan Mewujudkan Kedaulatan Pangan di Tengah Perubahan Iklim dan Kerusakan Lingkungan

  1. Beranda /
  2. Kabar /
  3. EDUKASI /
  4. Jumat, 30 September 2022 - 15:08 WIB

Berdasarkan data FAO tahun 2022, akibat nomaly Covid-19, perang Rusia vs. Ukraina, dan ketegangan geopolitik lain, dunia menghadapi krisis pangan akibat penurunan produksi pupuk, energi, dan pangan serta terganggunya rantai pasok global.

TOKOHKITA. Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan-IPB University, Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri, MS menjadi narasumber pada acara Seminar Nasional Politani Tahun 2022 “Multifunctional Agriculture For Food, Renewable Energy, Water and Air Security,“ yang digelar Politeknik Pertanian Negeri Pangkajene Kepulauan secara daring pada Kamis, (29/9/2022).

Dalam paparannya, mantan Menteri Kelautan dan Perikanan itu menjelaskan, bahwa pangan adalah hak azasi manusia, karena menentukan tingkat nomaly, kecerdasan, kualitas SDM, dan kemajuan suatu bangsa.

Menurutnya, saat ini suplai pangan global cenderung menurun karena: (1) berkurangnya lahan pertanian akibat alih fungsi lahan pertanian ke land uses lainnya; Global Climate Change (GCC); pencemaran dan kerusakan lingkungan; negara-negara produsen pangan mulai membatasi ekspor pangannya karena GCC, nomaly Covid-19, dan perang Rusia vs Ukraina; dan mafia pangan.

“Berdasarkan data FAO tahun 2022, akibat nomaly Covid-19, perang Rusia vs. Ukraina, dan ketegangan geopolitik lain, dunia menghadapi krisis pangan akibat penurunan produksi pupuk, energi, dan pangan serta terganggunya rantai pasok global,” ujarnya.

Selain itu, seiiring dengan pertambahan penduduk dunia membuat permintaan bahan pangan bakal terus meningkat. Kekurangan pangan juga dapat memicu gejolak sosial dan politik sehingga menimbulkan kejatuhan Rezim Pemerintahan. “Perubahan iklim mempengaruhi produksi hasil pertanian akibat nomaly lingkungan (BMKG, 2014) juga mempengaruhi Penurunan kualitas dan kuantitas sumber daya lahan pertanian,” terangnya.

Pada kesempatan itu, Ketua DPP PDIP Bidang Kelautan dan Perikanan tersebut mengingatkan Pidato Presiden Soekarno pada Peletakan Batu Pertama Pembangunan Gedung Fakultas Pertanian, IPB di Bogor, 27 April 1952 bahwa “Urusan pangan adalah hidup-matinya sebuah bangsa” dan FAO tahun 2000 bahwa suatu negara dengan penduduk lebih dari 100 juta jiwa akan sulit untuk bisa maju, sejahtera, dan berdaulat, bila kebutuhan pangannya bergantung pada impor (FAO, 2000).

“Sebagai negara maritim dan agraris tropis terbesar di dunia, Indonesia memiliki potensi sangat besar untuk berdaulat pangan, dan bahkan feeding the world (pengekspor pangan utama),” katanya.

Saat ini, jelas Prof Rokhmin Indonesia masih dihadapkan pada permasalahan dan tantangan pembangunan sektor pangan diantaranya mayoritas buruh tani, peternak, dan nelayan masih miskin. Kemudian sebagian besar usaha (bisnis) di sektor pangan berskala UMKM dan tradisional, tidak menerapkan: (1) economy of scale, (2) Integrated Supply Chain Management System (hulu – hilir), (3) teknologi terbaik dan mutakhir, dan (4) prinsip-prinsip pembangunan yang ramah lingkungan dan berkelanjutan (RTRW, pengendalian pencemaran, dan konservasi biodiversity) akibatnya: produktivitas rendah, kurang efisien, kurang berdaya saing, petani dan nelayan miskin, dan kurang sustainable (berkelanjutan).

“Hampir semua perusahaan pangan besar dan modern (korporasi) yang menerapkan keempat prinsip diatas (butir-2), yang sangat jaya, berdaya saing, menguntungkan (kaya), dan world class, itu ‘egois’ (rendah Nasionalisme nya), tidak bekerjasama dengan UMKM bidang pangan,” jelasnya.

Permasalahan lainnya adalah porsi keuntungan (profit margin) terbesar dalam usaha (bisnis) di sektor pangan itu bukan dinikmati oleh petani dan nelayan (usaha on-farm), tetapi oleh pengusaha industri pengolahan, perdagangan dan pemasaran (traders).

“Hilirisasi (industri pengolahan) komoditas pangan masih rendah, sebagian besar bahan pangan dijual (ekspor) dalam bentuk raw materials (bahan mentah). Akibatnya: nilai tambah (added value) nya rendah, kurang menghasilkan multiplier effects, kurang tahan lama, dan sukar didistribusikan,” tegasnya.

Saat ini, Kata Ketua Umum Masyarakat Akuakultur Indonesia (MAI) itu, luas lahan pertanian dan luas lahan usaha (garapan), khususnya di sektor tanaman pangan, hortikultur, dan peternakan, semakin menyusut akibat alih fungsi untuk pemukiman, kawasan industri, infrastruktur, dan penggunaan lahan (land use) lainnya.

“Hal ini berakibat pada luas lahan pangan dan luas lahan usaha pangan (land to man ratio) semakin menurun, economy of scale tidak terpenuhi, volume produksi terancam, dan petani dan nelayan (usaha on-farm) miskin (agricultural involution),” ungkapnya.

Kebanyakan UMKM bidang pangan juga mengalami kesulitan dalam mendapatkan (membeli) sarana produksi (seperti benih, pupuk, pakan, obat-obatan, BBM) yang berkualitas, harga relatif murah, dan kuantitas mencukupi. “Produksi bibit dan benih unggul, dan pakan berkualitas, masih rendah, tidak mencukupi.  Padahal, lebih dari 60% keberhasilan usaha pangan ditentukan oleh bibit dan benih unggul serta pakan.  Di usaha aquaculture (perikanan budidaya) dan peternakan, 60% biaya produksi untuk pakan,” katanya.

“Tidak ada jaminan (kepastian) pasar dengan harga yang sesuai nilai keekonomian (menguntungkan petani dan nelayan) bagi komoditas hasil panen petani dan nelayan UMKM. Infrastruktur dasar dan infrastruktur pertanian (pangan), baik secara kuantitas maupun kualitas, kurang memadai,” paparnya.

Dosen Kehormatan Mokpo National Univesity dan Duta Besar Kehormatan Jeju Island Korea Selatan itu juga menyoroti masalah mafia pangan, yang inginnya hanya impor pangan untuk meraup keuntungan maksimal, tanpa peduli dengan kedaulatan pangan nasional dan kesejahteraan petani dan nelayan Indonesia.

“Alokasi kredit perbankan untuk sektor pangan masih rendah, suku bunga tinggi, dan persyaratan terlalu ketat. Pada umumnya kualitas SDM (knowledge, skills, dan etos kerja) relatif masih rendah, dan mengalami ‘penuaan’ (aging-agricultural population). Terpenting juga kebijakan politik-ekonomi (seperti moneter, fiskal, RTRW, dan iklim investasi) saat ini kurang kondusif dan atraktif,” tegasnya.

Prof Rokhmin menawarkan setidaknya ada tujuh strategi yang harus dilakukan dalam mewujudkan kedaulatan pangan diantaranya melalui Peningkatan Produktivitas dan Produksi Onfarm Komoditas Pangan Berkelanjutan. “Berinovasi maksimal supaya produksi pangan nasional, khususnya pangan pokok, melebihi kebutuhan nasional secara berkelanjutan,” katanya.

Peningkatan Produktivitas dan Produksi Onfarm Komoditas Pangan Berkelanjutan dapat dilakukan dengan langkah-langkah yaitu; Pertama, Penyusunan Big Data yang interaktif dan dinamis berdasarkan data yang absah, akurat (presisi), dan kuantitasnya mencukupi tentang semua aspek penting tentang Sektor Pangan (luas lahan pertanian, produktivitas, produksi, konsumsi pangan, demand, ekspor, profil produsen pangan, dll).

Kedua, Mempertahankan lahan pertanian dan perikanan yang ada, tidak dialihfungsikan untuk kawasan industri, pemukiman, infrastruktur, dan penggunaan lahan lainnya. Melalui implementasi RTRW secara konsisten sesuai dengan UU No. 41/2009, penetapan lahan pertanian abadi, dan Reforma Agraria.

Ketiga, Dengan menggunakan tekonologi mutakhir (bibit & benih unggul, pakan berkualitas, pupuk, pengendalian hama & penyakit, manajemen kualitas air, teknologi budidaya, biotechnology, nanotechnology, digital/Industry 4.0 farming and aquaculture) dan manajamen agribisnis yang tepat, kita tingkatkan produktivitas, efisiensi, daya saing, dan sustainability seluruh unit usaha produksi pangan yang ada saat ini. 

Keempat, Pembukaan lahan baru (ekstensifikasi) untuk usaha produksi tanaman pangan, hortikultur, perkebunan, peternakan, dan perikanan di luar Jawa dan lahan-lahan terlantar di P. Jawa, dengan spesies (komoditas) yang cocok dengan kondisi agroklimat setempat. 

“Pendeknya, kedepan tidak ada sejengkal lahan pun dibiarkan terlantar.  Semua lahan sesuai dengan RTRW harus diusahakan untuk memproduksi komoditas pangan secara produktif, efisien, ramah lingkungan, dan berkelanjutan (sustainable),” katanya.

Kelima, Diversifikasi budidaya dengan spesies (varietas) pangan yang baru melalui domestikasi dan pengembangan bibit dan benih unggul dengan teknologi pemuliaan (genetic engineering) dan nanoteknologi. Hal ini sangat mungkin, karena Indonesia merupakan negara dengan biodiversitas kelautan tertinggi di dunia, dan biodiversitas terestrial tertinggi kedua di dunia.  "Prioritaskan budidaya tanaman pangan lokal sumber karbohidrat non-beras: sorgum, sagu, porang, tales, ganyong, suweg dan lain-lain,” jelasnya.

Supaya petani, nelayan, dan produsen pangan lainnya bisa hidup lebih sejahtera, menurut Prof Rokhmin maka setiap unit bisnis pangan harus memenuhi skala ekonominya.  Yakni besaran unit usaha yang menghasilkan keuntungan bersih yang mensejahterakan pelaku usaha, minimal 300 dolar AS (Rp 4,5 juta)/orang/bulan (Bank Dunia, 2010). 

“Contohnya, skala ekonomi untuk usaha padi sawah itu 1 ha (IPB, 2018), usaha ternak ayam petelor 3.000 ekor, usaha kebun sawit 2,5 ha (Kementan, 2010), dan usaha budidaya udang Vaname 360 m2 kolam bundar (Dahuri et al., 2019).  Menerpakan Integrated Supply Chain Management System.  Menggunakan teknologi mutakhir pada setiap mata rantai pasok. Dan, menerapkan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan (sustainable),” terangnya.

Keenam, Revitalisasi seluruh infrastruktur pertanian (bendungan dan saluran irigasi, dan pelabuhan perikanan)  dan infrastruktur dasar (jalan, listrik, air bersih, telkom dan internet, dan pelabuhan umum) yang ada, dan kita bangun yang baru sesuai dengan kebutuhan di setiap wilayah.

Ketujuh, Konservasi ekosistem hutan dan pengelolaan DAS (Daerah Aliran Sungai) terpadu untuk menjaga stabiliast dan kontinuitas aliran (debit) sungai sebagai sumber air irigasi pertanian, mencegah banjir, tanah longsor, dan kekeringan. Kedelapan, Pengendalian pencemaran yang disebabkan oleh sektor pertanian itu sendiri maupun sektor-sektor pembangunan lainnya (industri manufaktur, pertambangan dan energi, pemukiman, dll). Kesembilan, Mitigasi dan Adaptasi terhadap Perubahan Iklim, dan bencana alam lain.

Selanjutnya, peningkatan Volume Produksi Sarana Produksi Pertanian dan Perikanan Yang Top Quality, Harga Bersaing, dan Mencukupi Kebutuhan Usaha Onfarm secara Berkelanjutan. Berikutnya adalah pemerintah perlu melakukan Pengelolaan Konsumsi dan Permintaan Pangan, Sehingga Produksi lebih besar dari permintaan atau Demand Nasional.

“Mengingat konsumsi beras per kapita Indonesia tertinggi di dunia (sekitar 110 kg), rata-rata konsumsi beras per kapita dunia hanya 50 kg (FAO, 2020), konsumsi beras yang sehat < 60>

Berhubung, Indonesia merupakan importir gandum terbesar keduaa di dunia (rata-rata 12,5 juta ton/tahun) yang menghamburkan devisa cukup besar (US$ 4 milyar/tahun), padahal sagu dan komoditas pangan lokal lainnya sudah bisa dibuat mie. “Kurangi dan kemudian stop impor gandum, dan secara simultan perkuat dan kembangkan industri pengolahan bahan baku non-gandum (sagu, ubi kayu, porang, dll) menjadi mie,” harapnya.

Saat ini, setiap tahun Indonesia mengimpor sapi sekitar 800.000 ekor/tahun dan puluhan ribu ton daging sapi/tahun maka seharunya perkuat dan kembangkan usaha peternakan sapi, dan tingkatkan konsumsi ikan per kapita nasional, karena Indonesia memiliki potensi produksi ikan terbesar di dunia (115 juta ton/tahun) dan baru dimanfaatkan sekitar 20% nya. Sejak 2009 – sekarang Indonesia produsen perikanan terbesar di dunia (25 juta ton/tahun), setelah China (100 juta ton/tahun).

“Indonesia merupakan bangsa dengan food wastage terbesar kedua di dunia, setelah Arab Saudi (FAO, 2022) Harus ada kebijakan dan program prioritas untuk kurangi food wastage (food loss dan food waste) secara signifikan,” katanya.

Editor: Tokohkita

TERKAIT


TERPOPULER