Muhammad E Fuady

Homo Orbaicus

  1. Beranda /
  2. Opini /
  3. Rabu, 17 April 2019 - 12:07 WIB

Muhammad E Fuady/Dokumen pribadi
Muhammad E Fuady
Foto: Dokumen pribadi

Siapapun pemenang pilpres, jangan menjadi homo orbaicus. Ia harus rrsponsif dan adaptif terhadap perubahan. Polarisasi dua kubu yang tercipta selama ini harus dihancurkan. Rekonsiliasi, rangkul rival politik, bahkan musuh politik seperti berangkulannya Gus Dur dan Soeharto pasca reformasi.

Pada masa Orde Baru (Orba), demokrasi terbelenggu. Ia dipasung. Publik merasakan kecemasan. Tak ada kebebasan berbicara dan menyuarakan pendapat. Kita hidup dalam kontrol kekuasaan. Komunikasi selalu diprakarsai oleh penguasa, lalu diterima oleh publik tanpa bisa memberikan reserve atau umpan balik. Serba satu arah. Ancaman mengintai mereka yang mengkritisi jalannya pemerintahan.

Pada masa itu, kita menilai Orba adalah soal manusia, sosok Soeharto dan kroni. Orba direpresentasikan sebagai Soeharto yang berkuasa selama 32 tahun. Bapak pembangunan itu dianggap gagal memakmurkan Indonesia.

Orde Baru sebenarnya tidaklah ditampilkan dalam wujud manusia. Ia adalah sebuah cara berpikir, bertindak, dan menjalankan kekuasaan Cara berkuasa yang manipulatif, represif, agitatif, persekutif, bisa diadopsi oleh dan menjadi "milik" penguasa manapun, termasuk rezim ini dan siapa saja yang akan berkuasa kelak. Siapapun yang bertindak sama seperti rezim di masa itu layak kita sebut sebagai Homo Orbaicus, manusia Orba. Namun kita juga harus adil, tak mungkin tak ada yang tak baik dari Orde Baru. "Penak hidup di jamanku, toh?" adalah meme yang menunjukkan romantisme pada masa itu. Orang merindukan semua hal yang baik yang ada di era Orba.

Salah satu ciri dari Orba adalah keengganan menerima perubahan. Kita sebut itu sebagai status quo. Segala apa yang menjadi kritik terhadap pemerintah dinilai sebagai rongrongan terhadap negara. Kritik dianggap sebagai sebuah tindakan subversif, merongrong Pancasila, karenanya berbahaya bagi negara. Pembungkaman adalah salah satu cara yang dapat dipilih. Apapun bentuknya. Bila dulu digunakan pasal karet untuk mencokok oposisi, kini bisa dengan UU ITE. Penguasa tak perlu melakukannya secara langsung. Bertindak akomodatif atas laporan terhadap kubu oposisi adalah langkah yang dapat digunakan. Sementara pelaporan dari oposisi diabaikan. Di sinilah terasa aroma ketidakadilan.

Dalam konteks pilpres, bila dituduhkan bahwa kubu 02 adalah neo Orde Baru, akan menghidupkan gaya pemerintahan di masa lalu, itu belum bisa dipastikan. Secara empirik tak ada tindakan yang bisa dinilai karena ia belum memiliki kekuasaan. Selama ini malah oposisi tampil untuk menggulirkan perubahan. Bila ada orang-orang yang tampil di masa Orba, itu juga tak bisa kita sebut sebagai Homo Orbaicus karena amat mungkin mereka berubah. Cara berpikir, perilaku, mental, semua dinamis.

Orang-orang yang reformis pada masa lalu, juga tak selalu ada di titik yang sama. Amat mungkin mereka kemudian korup, tak amanah, dan menyalahgunakan kekuasaan. Seperti kata Prof Mahfud MD, Soeharto kita turunkan karena KKN namun kini jauh lebih parah. Semasa hidupnya Gus Dur berseloroh, di masa Soeharto korupsi dilakukan segelintir orang di bawah meja, berikutnya korupsi dilakukan banyak orang di atas meja, bahkan dibawa sekaligus dengan mejanya.

Bila kubu 02 dipandang Orde Baru, tak ada bedanya dengan kubu lainnya yang disokong tiga partai Orde Baru, PPP, Golkar, dan PDI yang kini menjadi PDIP. Mereka adalah partai Orde Baru. Pengusung demokrasi pada masa lalu mungkin saja berikutnya ia menjadi sosok yang anti perubahan

Disitanya amplop dengan nominal uang sebesar delapan milyar dalam operasi tangkap tangan KPK menunjukkan bahwa penyalahgunaan kekuasaan itu bisa ada di kubu manapun. Bahkan di kubu yang menuduh lawan politik akan menghidupkan Orba. Presiden BJ Habibie sebagai anak emas Soeharto tak luput dari tuduhan itu. Nyatanya, melalui Menteri Penerangan Yunus Yosfiah, pers di Indonesia memperoleh jaminan kebebasan. Mereka tak perlu lagi membuat SIUPP. Itulah mengapa media massa pada awal refomasi tumbuh dan berkembang.

Sebuah rezim bila korup, menyalahgunakan kekuasaan, melakukan tindakan seperti Orba, maka
Ia memiliki citarasa Orbaicus. Romahurmuziy misalnya, ia dekatnya satu sentimeter dari presiden sebagai pencetus revolusi mental, ternyata malah betul-betul mental dan mendekam di penjara gegara suap jual beli jabatan. Prof. Mahfud MD di Indonesia Lawyers Club menyatakan jual beli jabatan itu memang marak di kementerian. Apabila itu dilakukan di Kementerian Agama, tunggu saja tulahnya karena pelaku jual beli jabatan mengkhianati para ulama yang bahu membahu mendorong adanya kementerian tersebut.

Saat Prabowo dituduh akan akan menghidupkan Orde Baru, itu bukan hal yang tidak mungkin. Bila ia korup, memperkaya diri dan kelompok, tak amanah, tak adil, dan tak menepati janji, ia akan menjadi seorang Orbaicus. Bila ia bungkam pengeritik, maka ia menjelma sebagai sosok suram dan ancaman bagi demokrasi.

Namun tampaknya Prabowo tak akan menjelma sebagai sosok anti demokrasi. Ia mengamati para pendahulunya. Sangat konyol bila ia memenangkan pilpres lalu bertindak sembrono dan sewenang-wenang. Bertahun-tahun bersabar menghadapi cacian, celaan, hinaan, dan fitnah pasca berhenti dari jabatan Pangkostrad, tak lagi di TNI, kemudian turut membangun demokrasi melalui parpol, lalu saat menjadi presiden misalnya, ia memimpin dengan tangan besi dan korup. Ibarat kemarau setahun dihapus hujan sehari. Jadi tuduhan ini tak masuk akàl.

Prabowo selama ini terasa otentik, relatif apa adanya, tidak hidup dalam sebuah kemasan pencitraan, teruji diterpa isu selama belasan tahun, dan tak membalas pengkhianatan dengan keburukan. Pengkhianatan perjanjian Batutulis misalnya. Lalu tokoh yang ia usung yang justru malah berbalik menjadi rival politik. Ia malah tampil menghormati mereka.

Prabowo dan Jokowi adalah manusia biasa. K.H. Makruf Amin dan Sandiaga Uno juga. Kedua capres dan cawapres adalah manusia biasa, mungkin ada khilaf dan salah. Mereka tak mau mengulang masa lalu yang kelam di negara ini. Mereka ingin berbuat yang terbaik. Mereka akan tunjukkan dengan caranya masing-masing bila terpilih sebagai pasangan presiden dan wakil presiden. Bagi para pemilih, tinggal tentukan paslon yang dipercayainya. Semua ada rekam jejaknya. Siapa pula yang dinilai terbaik dalam setiap kampanyenya.

Mengamati kampanye kedua kubu yang sama ramainya di GBK, anda tinggal memilih. Sebuah konser musik yang sangat Indonesia tanpa atribut partai ataukah ghirah beribadah mengikuti shalat malam dan shubuh berjamaah, dan doa umat beragama meski ada bendera partai di sana. Sebuah kampanye yang lalai mejaga kebersihan ataukah yang memiliki adab pada lingkungan hingga tak ada sampah di sana. Kampanye yang dimobilisasi dengan iming-iming transport dan makan siang ataukah atas kesadaran berpartisipasi dan pemenuhan kebutuhan dilakukan oleh masing-masing peserta. Berkumpulnya orang untuk shalat dan berdoa adalah sebuah "kampanye" yang tidak lazim memang. Menjatuhkan pilihan pada pemimpin yang pendukungnya "berkampanye" dengan cara yang indah dengan meraih Tuhannya, rasanya jauh lebih menenangkan. Ini adalah pilihan. Tak mesti sama.

Siapapun pemenang pilpres, jangan menjadi homo orbaicus. Ia harus rrsponsif dan adaptif terhadap perubahan. Polarisasi dua kubu yang tercipta selama ini harus dihancurkan. Rekonsiliasi, rangkul rival politik, bahkan musuh politik seperti berangkulannya Gus Dur dan Soeharto pasca  reformasi.

*Dosen Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Islam Bandung (Unisba)

Editor: Tokohkita

TERKAIT


TERPOPULER