Muhammad E Fuady

Putihisasi TPS

  1. Beranda /
  2. Opini /
  3. Jumat, 12 April 2019 - 10:55 WIB

Muhammad E Fuady/Dokumen pribadi
Muhammad E Fuady
Foto: Dokumen pribadi

Setiap kandidat politik tentu selalu mencari cara untuk meningkatkan elektabilitasnya. Akan lebih elegan bila kandidat politik mengajak publik untuk memilih, tak golput, sebagai upaya membawa perubahan dalam berbangsa dan bernegara.

Ingat dengan Pilkada DKI saat Fauzi Bowo alias Foke versus Adang Darajatun, pasti ingat jargon "coblos kumisnya". Sejatinya, kumis bukan atribut politik. Kumis adalah bagian dari diri manusia. Ciri manusia berjenis kelamin laki-laki yang bertumbuh.

Dalam kampanye, sah saja mengatakan, "coblos kumisnya", namun menjadi berlebihan bila kemudian kompetitor merasa keberatan dan melarang orang berkumis ke Tempat Pemungutan Suara (TPS). Apalagi bila pemilih wajib mencukur kumis terlebih dulu sebelum datang mencoblos di bilik suara. Berlebihan pula bila kandidat mewajibkan pendukungnya untuk berkumis saat ke TPS. Untunglah tak ada larangan atau instruksi demikian.

Kita masih ingat pula kontroversi baju kotak-kotak di pilkada DKI Jakarta bila dipakai ke TPS, saat Jokowi berkompetisi dengan Foke. Kemeja kotak-kotak adalah identitas yang diusung Jokowi untuk meraih posisi sebagai gubernur DKI Jakarta. Bila pemilih mengenakan baju kotak-kotak ke TPS di Pilkada DKI Jakarta sah saja, asal bukan atribut baju kotak-kotak yang menjadi simbol atau atribut kampanye. Motif kotak-kotak itu beragam. Kemeja kotak-kotak selain atribut kampanye dibenarkan untuk digunakan.

Undang-Undang Pemilu pasal 280 tak melarang masyarakat untuk menggunakan pakaian warna apapun. Bebas saja. Persoalan akan muncul saat partai politik atau kandidat mengarahkan publik untuk mengenakan atribut tertentu dengan tujuan show off, unjuk gigi, dan sebagai simbol atau identitas politik.

Mengenakan sebuah atribut sebagai identitas politik ke TPS tak dibenarkan. Misal, kubu 01 mengharuskan pendukung mengenakan baju bertuliskan "Bersih, Merakyat, Kerja Nyata" atau kubu 02 meminta konstituen memakai kemeja berlogo garuda merah. Nomor, wajah, logo capres cawapres, tak dibenarkan untuk dibawa atau dipakai ke TPS. Atribut politik memang berpotensi mengarahkan dan menggiring pemilih di TPS.

Lalu bagaimana dengan ajakan, instruksi, atau permintaan kandidat politik agar konstituen menggunakan baju dengan warna tertentu ke TPS? Secara otomatis, pakaian dan warna tersebut menjadi sebuah identitas politik yang dapat mengarahkan pemilih. Aksesoris, pakaian, warna, yang tak memiliki nilai politik kemudian berubah menjadi atribut kampanye sebuah kubu. Ia memiliki nilai politik.

Ajakan Jokowi kepada pendukungnya untuk mengenakan baju putih dan mencoblos kandidat berbaju putih menjadi upaya terencana agar pemilih mencoblos mereka di TPS. Foto Capres kubu 01 memang mengenakan kemeja putih di kertas suara. Pada pilpres sebelumnya, Jokowi mengenakan kemeja kotak-kotak.

Di sisi lainnya, bagi kubu yang berbeda, putih menjadi simbol perjuangan karena sudah lama warna itu mereka pakai. Kubu Prabowo sudah memilih warna putih sebagai identitas politik sejak pilpres 2014. Hingga pilpres 2019, warna putih tetap mereka gunakan. Di sinilah kemudian terjadi klaim atas warna. Meski saat memulai pemerintahannya, Jokowi memang kemudian menjadikan kemeja putih sebagai kemeja kerja.

Dalam sebuah kampanye, Jokowi mengajak masyarakat untuk menggunakan hak pilih ke TPS dengan berbaju putih. Ia mengajak masyarakat untuk tak golput. Itu ajakan yang baik. Namun permintaan tak golput dengan embel-embel mengenakan pakaian berwarna tertentu sebagai atribut politik, itu menuai kontroversi. Selain dinyatakan oleh capres yang juga sedang menjabat sebagai presiden, itu pun dianggap sebagai atribut politik yang dapat mengarahkan pemilih di TPS. Polarisasi akan menguat di antara mereka yang mengenakan putih dan selain putih.

Terasa lebih pas bila presiden mengajak masyarakat menggunakan hak pilih, tak golput, dengan berbaju putih sebagai simbol persatuan rakyat Indonesia pada pesta demokrasi. Putih adalah milik semua rakyat Indonesia.

Lalu bagaimana dengan statement Sandiaga Uno mengenai istilah TPS. Kata Cawapres kubu 02 ini, TPS adalah ajakan "Tusuk Prabowo Sandi". Berikutnya, kubu 01 juga menggunakan istilah TPS sebagai cara menegaskan pilihan politik pada 17 April, yakni "Tusuk Putih Saja". Tulisan TPS itu bukan sebuah atribut partai, bukan alat peraga.

Sejatinya bukan alat kampanye. Namun hal itu bisa menjadi cara yang jitu dalam mempengaruhi ingatan publik. Sebagai sebuah ide kreatif dalam mempengaruhi kesadaran pemilih, hal itu boleh dan sah saja. Penggunaan analogi, metafor, dengan seloroh atau kelakar, dirasakan cukup baik dibanding ajakan penggunaan dan klaim identitas politik tertentu.

Sandiaga Uno juga menggunakan istilah TPS sebagai singkatan dari "Tunggu Penghitungan Suara". Ini juga sebuah ajakan yang baik kepada publik untuk mengawasi jumlah suara di TPS. Partisipasi publik meningkat, tak sekedar memilih lalu berdiam diri di rumah, namun ada ajakan mengawasi saat penghitungan suara di TPS masing-masing.

Setiap kandidat politik tentu selalu mencari cara untuk meningkatkan elektabilitasnya. Akan lebih elegan bila kandidat politik mengajak publik untuk memilih, tak golput, sebagai upaya membawa perubahan dalam berbangsa dan bernegara. Menjelaskan bahwa mekanisme demokrasi mengharuskan publik memilih kandidat yang berintegritas dalam pemilu jauh lebih baik dibandingkan ajakan menggunakan atribut bernuansa kampanye pada 17 April.

*Dosen Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Islam Bandung (Unisba)

Editor: Tokohkita

TERKAIT


TERPOPULER