Kegagalan Komitmen Capres terhadap Isu Iklim Nasional

  1. Beranda /
  2. Kabar /
  3. Nasional /
  4. Selasa, 19 Februari 2019 - 11:29 WIB

Debat capres kedua/Istimewa
Debat capres kedua
Foto: Istimewa

Dalam debat ini, isu kerusakan hutan, deforestasi, serta rehabilitasi lingkungan hidup tidak disebut oleh kedua kandidat sementara isu korupsi sumber daya alam serta masyarakat adat hanya disebut sekali oleh Jokowi.

TOKOHKITA. Kedua kandidat Presiden yang bertarung dalam debat capres II gagal melihat komitmen iklim nasional sebagai benang merah sekaligus penentu dari kelima isu yang dibahas dalam debat, yakni infrastruktur, pangan, energi, sumber daya alam, dan lingkungan hidup.

Secara umum, kandidat presiden nomor urut 01, Joko Widodo lebih menekankan pada berbagai langkah kebijakan, program, dan proyek terkait kelima isu debat, namun kurang mengelaborasi permasalahan dan solusi mendasar, yakni permasalahan tata kelola. Pembahasannya pun masih parsial atau terpisah-pisah seakan tidak ada benang merah.

Sementara itu, kandidat presiden nomor urut 02, Prabowo Subianto, cenderung menekankan pada ‘blanket concept’ berupa kemandirian, swasembada, serta kepemilikan nasional versus asing untuk membungkus semua isu, namun miskin dalam hal elaborasi program kerja atau langkah konkret untuk mencapai tujuan tersebut.

Terkait infrastruktur, Jokowi menekankan capaian pada masa pemerintahannya seperti pembangunan jalan desa dan unit irigasi, pembangunan konektivitas antar-wilayah seperti jalan tol, tol laut, bandara, serta pembangunan infrastruktur telekomunikasi untuk mendukung Revolusi Industri 4.0. Sementara itu, Prabowo menekankan pada hal-hal normatif seperti peran rakyat dalam perencanaan, dampak lingkungan hidup dan sosial dalam pembangunan infrastruktur, serta infrastruktur untuk rakyat. Namun, keduanya sama sekali tidak melihat keterkaitan erat antara infrastruktur dan perubahan iklim.

Dalam debat, kedua kandidat tidak berhasil mengelaborasi desain utuh terkait pembangunan infrastruktur dalam kacamata kerentanan terhadap dampak perubahan iklim, juga bagaimana pembangunan infrastruktur akan berdampak pada upaya penurunan emisi. Selain itu, solusi peningkatan ganti rugi yang ditekankan kedua kandidat cenderung salah fokus. seharusnya yang didorong adalah Persetujuan Berdasarkan Informasi di Awal Tanpa Paksaan (PADIATAPA) dari masyarakat terdampak sebelum proyek infrastruktur dimulai untuk menjamin kemanfaatan dan mencegah pelanggaran HAM.

Terkait energi dan pangan, Jokowi menekankan pada keseimbangan ketersediaan dan stok pangan serta stabilitas harga, yang dikritik Prabowo karena sebagian strateginya bertumpu pada impor pangan. Namun, keduanya lagi-lagi tidak menyebut dampak negatif perubahan iklim terhadap produksi pangan serta dampak negatif dari upaya ‘menggenjot’ produksi pangan melalui ekspansi tanaman monokultur seperti sawit terhadap lingkungan hidup yang juga mengancam keragaman pangan lokal.

“Kedua kandidat sama-sama menekankan penggunaan sawit sebagai bahan bakar alternatif serta untuk mencapai swasembada energi. Namun, kedua kandidat tidak memaparkan solusi untuk mengatasi berbagai permasalahan sosial dan lingkungan yang timbul akibat praktik perkebunan kelapa sawit yang tidak berkelanjutan, di antaranya potensi perusakan hutan alam yang masih baik serta lahan gambut yang kaya akan karbon,” ujar Anggalia Putri, Manajer Pengelolaan Pengetahuan Yayasan Madani Berkelanjutan.

Menurut dia, penguatan kebijakan tata kelola di hulu seperti moratorium sawit serta penguatan standar keberlanjutan sawit agar tidak lagi menimbulkan deforestasi dan kerusakan gambut harus dijalankan Presiden terpilih nanti karena sangat penting untuk mencapai target penurunan emisi dalam NDC di sektor hutan dan lahan.

“Terkait energi, pernyataan Jokowi tentang pengurangan penggunaan bahan bakar fosil melalui program B20 hingga B100 justru kontradiktif dengan keinginannya untuk meningkatkan eksplorasi ladang minyak offshore,” ujar Nuly Nazlia, Pelaksana Tugas Direktur Eksekutif Koaksi Indonesia.

Indonesia telah menargetkan bauran energi terbarukan sebesar 23% hingga 2025, tapi sebagian besar pembangkit listrik masih didominasi batu bara, yaitu sebesar 31%. Padahal, ketergantungan energi fosil terbukti membebani perekonomian, baik secara fiskal maupun lingkungan. Di dalam debat, kendati kedua capres memasukkan visi-misi pengembangan energi terbarukan, mekanisme percepatan pengembangan energi terbarukan belum jelas, termasuk strategi memperbaiki tata kelola energi dan ketenagalistrikan.

"Mereka fokus pada pengembangan biodiesel/bioetanol bahkan hingga ke B100, padahal sumber energi terbarukan yang bisa dikembangkan Indonesia sangatlah banyak. Lebih tepat bila menempatkan biofuel sebagai jawaban sementara bagi sektor transportasi,” sebut Nuly.

Menurutnya, pembahasan energi terbarukan seharusnya bisa diangkat sebagai solusi strategis saat muncul video dampak lubang tambang batu bara. Tapi, keduanya sama sekali tidak menyentuh rencana rehabilitasi sisa-sisa aktivitas tambang sebagai awal dari upaya pemulihan. Revolusi Industri 4.0 pun tidak dimanfaatkan untuk menjelaskan bahwa era ini menjadi era disrupsi bagi cara kita memproduksi dan menggunakan listrik, mulai dari teknologi efisiensi energi, surya atap, baterai, mobil listrik, dan smart home system yang makin murah.

“Indonesia akan ketinggalan zaman apabila masih mengutamakan energi fosil dan tidak secara agresif berpaling pada industri energi terbarukan. Apalagi ada banyak potensi green jobs di berbagai sektor dan poin pemikat bagi para pemilih muda untuk mendukung mereka,” tambah Nuly lagi.

Terkait SDA dan lingkungan hidup, kedua kandidat sama-sama menekankan penegakan hukum bagi aktor-aktor perusak lingkungan, misalnya pencemaran, pembalakan liar, pencurian ikan, dan kebakaran hutan dan lahan. Komitmen ini baik akan tetapi sangat normatif dan tidak memberikan nilai tambah jika mereka terpilih dikarenakan tidak disertai pemaparan lebih lengkap terkait upaya penegakan hukum yang akan dilakukan di sektor sumber daya alam.

Kajian KPK menemukan bahwa 18 dari 22 aturan perizinan rentan menyebabkan korupsi. Di sektor kehutanan saja, kerugian negara mencapai 6,5 miliar dollar AS karena pelaporan yang tidak sesuai sementara nilai kayu sebesar US$ 60-80 miliar tidak terlaporkan, dan biaya suap perizinan setiap tahunnya mencapai 22 miliar rupiah untuk tiap konsesi.

Sementara itu, perubahan iklim akan mempengaruhi kualitas lingkungan hidup dan termasuk ketersediaan bahan pangan, ikan, kondisi hutan dan lahan, kebakaran, dan sebagainya. Sekali lagi kedua kandidat tidak ada pemaparan mengenai bagaimana kedua kandidat akan berkontribusi pada pengurangan emisi untuk mencapai komitmen iklim nasional guna menjamin terjadinya swasembada pangan, swasembada energi, keberlanjutan infrastruktur, serta pembangunan ekonomi berkelanjutan. 

Jika mengacu pada debat capres kedua ini, komitmen kedua paslon dalam perubahan iklim diragukan. Energi kotor batu bara yang menjadi salah satu penyumbang emisi, biofuel yang akan memicu deforestasi dan penghasil emisi tidak mau ditinggalkan, melainkan digadang-gadangkan sebagai energi terbarukan. Mereka gagal paham menerjemahkan energi terbarukan, biofuel justru akan semakin meningkatkan penghancuran hutan, meningkatkan emisi gas rumah kaca, dan semakin melanggengkan praktik perampasan tanah, khususnya tanah-tanah masyarakat adat.

"Moratorium sawit tidak sama sekali menjadi pertimbangan keduanya, padahal kebijakan moratorium adalah jalan pembenahan tata kelola sumber daya alam,” ujar ujar Khalisah Khalid, Desk Politik Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia.

Dalam debat ini, isu kerusakan hutan, deforestasi, serta rehabilitasi lingkungan hidup tidak disebut oleh kedua kandidat sementara isu korupsi sumber daya alam serta masyarakat adat hanya disebut sekali oleh Jokowi.

“Pengelolaan hutan dan lahan gambut berkelanjutan oleh masyarakat dalam bentuk perhutanan sosial sebetulnya dapat mendukung pencapaian komitmen iklim nasional, sekaligus mendukung program ketahanan pangan, energi, keberlanjutan sumber daya alam, serta perlindungan lingkungan hidup di tingkat lokal,” ujar Emmy Primadona, Koordinator Program KKI-Warsi.

“Oleh karenanya, siapapun yang terpilih, realisasi perhutanan sosial harus menjadi program prioritas dan harus didukung oleh strategi nasional berupa program pemberdayaan dari berbagai pihak di dalamnya,  agar kawasan hutan yang dikelola oleh masyarakat benar-benar membawa dampak perbaikan ekonomi bagi masyarakat dan hutan dapat dikelola dengan baik secara berkelanjutan.”

Yayasan Madani Berkelanjutan menyampaikan rekomendasi dan langkah strategis bagi kedua kandidat untuk memperkuat komitmen iklim nasional Indonesia jika terpilih nanti. Pertama, menyusun kebijakan terintegrasi terkait pembangunan infrastruktur, energi, pangan, SDA, dan LH dalam kerangka pembangunan rendah karbon dan pencapaian komitmen iklim nasional dan global (Nationally Determined Contribution/NDC) yang lebih ambisius dan kuat.

Kedua, menyusun kebijakan terintegrasi yang mengakomodasi penghentian deforestasi, penundaan dan evaluasi  izin-izin pemanfaatan sumber daya alam skala besar, serta perbaikan tata kelola terkait lahan dan SDA dengan dibarengi dengan transisi segera menuju energi bersih,

Ketiga, memperkuat langkah-langkah kebijakan yang sudah baik terkait hutan dan lahan, termasuk memperkuat kebijakan moratorium hutan, implementasi moratorium sawit, implementasi restorasi gambut, dan rehabilitasi lahan kritis, mencanangkan target menuju nol deforestasi,

Keempat, menyusun serta menjalankan rencana aksi konkret untuk memperkuat pengakuan hak-hak masyarakat adat dan lokal atas lahan, wilayah dan sumber daya alam dalam kebijakan terkait infrastruktur, energi, pangan, pengelolaan SDA dan lingkungan hidup.

Editor: Tokohkita

TERKAIT


TERPOPULER