Akibat Tidak Ada Koordinasi Kebijakan, Industri TPT Terancam Mati Akhir 2020

  1. Beranda /
  2. Kabar /
  3. Nasional /
  4. Rabu, 19 Agustus 2020 - 13:23 WIB

Enny Sri Hartati, ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (INDEF)/Istimewa
Enny Sri Hartati, ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (INDEF)
Foto: Istimewa

Menurut Enny, selama ini pemerintah tidak memiliki kebijakan pengembangan industri TPT yang konkrit dari hulu dan hilir. Sementara yang dihadapi oleh industri TPT adalah bea masuk bahan baku impor tinggi, sedangkan pakaian jadi (garmen) tarifnya free.

TOKOHKITA. Industri tekstil dan produk tekstil (TPT) diperkirakan tidak akan mampu bertahan hingga akhir tahun 2020, terlebih karena terdampak pandemi Covid-19. Hal itu disebabkan, karena selama ini tidak ada koordinasi kebijakan antar instansi pemerintah terhadap industri TPT dan regulasi yang ada justru membunuh industri tersebut.

“Persoalan fundamental di industri ini adalah justru regulasi-regulasi yang ada sekarang malah membunuh industri TPT. Kalau tidak ada keseriusan dari pemerintah untuk membangun keterkaitan industri dari hulu ke hilir, maka semua kebijakan hanya retorika,” ungkap Enny Sri Hartati, ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) dalam acara Forum Discussion Group (FGD), Selasa (18/8/2020), di Jakarta.

FGD yang bertemakan “Upaya Pemulihan Ekonomi dan Industri Tekstil di Indonesia,” menghadirkan pembicara Jemmy Kartiwa Sastraatmadja Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia, Sunarso (Ketua HIMBARA/ Direktur Utama PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk), Enny Sri Hartati (Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance/(INDEF), dan Muhammad Khayam, Direktur Jenderal Industri Kimia, Farmasi, dan Tekstil Kementerian Perindustrian

Menurut Enny, selama ini pemerintah tidak memiliki kebijakan pengembangan industri TPT yang konkrit dari hulu dan hilir. Sementara yang dihadapi oleh industri TPT adalah bea masuk bahan baku impor tinggi, sedangkan pakaian jadi (garmen) tarifnya free. “Kalaupun kita bisa mengekspor, pasti daya saingnya rendah karena harga bahan baku yang diimpor tidak kompetitif. Bahkan di dalam negeri pun kalah bersaing dengan produk garmen impor. Lama-lama industri TPT bukan cuma merosot, malahan bisa habis.”

Dia menegaskan, persoalan yang dihadapi industri TPT adalah akibat salah urus. Bahkan masalah ini bukan terjadi saat pandemi Covid-19, tetapi sudah terjadi sejak 10 tahun lalu. Menurutnya, pangkal dari pemasalahan yang dihadapi industri tekstil adalah permasalahan tarif bea masuk bahan baku sehingga menyebabkan ketidakmampuan industri untuk bersaing dengan produk impor di pasar dalam negeri. “Rata-rata pertumbuhan ekspor tekstil selama 10 tahun terakhir hanya 3%,  sedangkan impor tumbuh 10,4%.”

Dampak yang paling dirasakan oleh industri TPT adalah pengurangan tenaga kerja, kesulitan membayar pinjaman bank,  dan yang paling parah adalah penutupan operasi usaha. Bahkan bila masalah ini tidak segera diselesaikan, Enny mem prediksi di akhir tahun ini industri TPT di Indonesia akan mati karena tidak adanya dukungan dari pemerintah. “Kebijakan industri tidak hanya di Kementerian Perindustrian, tapi juga banyak kementerian, seperti Kementerian Perdagangan, Kementerian Keuangan serta stakeholder lainnya.”

Enny mengingatkan Kemenperin harus secara konprehensif membahas positioning industri TPT. “Kemenperin harus ngobrol dengan kementerian terkait bagaimana cara-cara terstruktur, karena kebijakan ini by design. Artinya design kebijakan ini harus ada upaya-upaya yang terstruktur dan massif, bagaimana bentuk pohon industrinya,” sambungnya.

Hal senada ditegaskan oleh Jemmy Kartiwa Sastraatmaja. Dia menjelaskan nilai ekspor pada Maret 2020 anjlok 60% dibandingkan dengan bulan sebelumnya sehingga berimbas pada sekitar 2,1 juta tenaga kerja yang dirumahkan, akibat makin melemahnya daya beli masyarakat. Menurut Jemmy, pelonggaran Pembatasan sosial berskala besar (PSBB) tidak serta merta membuat industri tekstil kembali hidup. Sebab banyak pengusaha yang kehabisan modal untuk membayar upah selama masa PSBB dan pembayaran cicilan dan bunga pada bank.

Karena itu, Jemmy mewakili para pengusaha tekstil meminta  pemerintah membantu usaha mereka, a.l. : pertama adalah pemerintah membuatkan aturan yang mengatur importansi pakaian jadi di Indonesia; kedua, pemberian bantuan yang bersifat cepat untuk menggerakkan TPT berupa subsidi listrik selama satu tahun; ketiga, bantuan berupa tambahan modal kerja dan subsidi bunga bagi industri TPT, terutama yang berstatus collect 1 sebelum Covid-19. Terakhir, opsi berupa subsidi tarif listrik sebesar 25 persen atau pemberian diskon tarif listrik pada jam 22:00-06:00,” tuturnya.

Himbara Siap Dukung Industri TPT

Menanggapi hal itu, Ketua Umum Himpunan Bank Milik Negara (Himbara) Sunarso mengatakan bila permasalahan utama yang dihadapi oleh pengusaha tekstil adalah menurunnya permintaan dan margin yang tipis karena harga bahan baku yang tinggi, maka yang  perlu dilakukan adalah penguatan permintaan lewat konsumsi dalam negeri dan membatasi impor bahan jadi.

“Sebab dengan membatasi impor garmen, maka akan mendorong industri lokal untuk menguasai pasar TPT di dalam negeri. Sekarang itu, yang dibutuhkan dan harus dilakukan, terkait pemulihan ekonomi adalah memperkuat permintaan dalam negeri dengan menjaga konsumsi dalam negeri, karena barang-barang yang sebenernya menyerap tenaga kerja itu importasinya benar-benar dibatasi. Bila perlu pemerintah belanja seragam untuk ASN dan BUMN,” jelasnya.

 Sunarso mengatakan pemerintah saat ini sudah menaruh uang dalam bentuk deposito senilai Rp 30 triliun di empat bank plat merah. Sebagai gantinya, bank-bank Himbara akan menyalurkan Rp 90 triliun dana dalam bentuk subsidi dan kredit. Per 29 Juli 2020, sudah Rp 55 triliun yang disalurkan oleh 4 bank BUMN kepada para debitur yang mayoritas adalah pelaku UMKM.

 Terkait subsidi untuk industri TPT, Sunarso menyebutkan bila belum ada kebijakan yang secara spesifik untuk sektor tersebut, maka Himbara bersedia membantu  asosiasi tersebut untuk memperjuangkan nasib mereka  agar mendapatkan upaya penyelamatannya. “Asosiasi harus ngotot agar tekstil masuk dalam skema subsidi dan kredit ini. Sekarang ini belum ada aturan yang secara spesifik mengatur. Karena tekstil ini industri yang banyak menyerap tenaga kerja, maka industri ini jangan sampai tutup.”

Hal senada disampaikan anggota Himbara Direktur Komersial PT Bank Mandiri Tbk Riduan. “Kami akan mendukung industri TPT di dalam negeri. Namun, kalangan industri TPT harus membangun dan menjaga ekosistem mereka agar selalu tumbuh. Karena bila industri tekstil bagus, perbankan akan datang tanpa perlu diundang.”

Sementara itu, Dirjen Kimia, Farmasi dan Tekstil Kemenperin M. Khayam, menegaskan bahwa pemerintah akan terus menjaga pasar dalam negeri khususnya industri TPT, salah satunya dengan menggalakkan program Aku Cinta Indonesia. Selain itu, Kemenperin juga akan memperkenalkan program Smart Textile, yang berupakan big data industri untuk pelaku IKM.

Editor: Admin

TERKAIT


TERPOPULER