Jeanne Noveline Tedja

Waspadai Ancaman Cabin Fever pada Anak

  1. Beranda /
  2. Opini /
  3. Sabtu, 2 Mei 2020 - 13:32 WIB

Jeanne Noveline Tedja/Istimewa
Jeanne Noveline Tedja
Foto: Istimewa

Menurut Psikolog Vaile Wright (dilansir CNN) cabin fever melibatkan serangkaian emosi negatif dan tekanan yang terkait dengan pembatasan. Dalam kondisi ini, seseorang akan mudah marah, bosan, putus asa, gelisah, merasa sedih, hingga sulit berkonsentrasi.

Demi memutus mata rantai penyebaran virus penyakit Covid-19, pemerintah memberlakukan kebijakan  pembelajaran jarak jauh (PPJ) bagi siswa di semua jenjang pendidikan sejak 16 Maret 2020 lalu. Pada minggu-minggu pertama belajar dari rumah, terasa menyenangkan bagi anak-anak, karena tidak perlu pergi ke sekolah. Mereka juga mendapat pengalaman baru belajar secara daring menggunakan laptop atau smartphone. 

Namun setelah sebulan lebih belajar di rumah, rasa bosan pasti muncul. Apalagi ditambah rasa lelah dan stress akibat tugas-tugas yang diberikan oleh guru-guru di sekolah. Anak-anak berisiko mengalami cabin fever. Istilah cabin fever tidak termasuk ke dalam gangguan psikologis. Istilah ini merujuk pada perasaan yang terkait dengan kondisi terisolasi dari dunia luar.

Merunut waktu, istilah ini telah digunakan para ahli sejak lama. Pada awal tahun 1990-an di Amerika Utara, istilah ini digunakan untuk seseorang yang diisolasi di area terpencil atau kabin saat musim dingin. Udara dingin membuat seseorang harus tetap berada di dalam ruangan sepanjang waktu. Jauh sebelum itu, istilah tersebut digunakan untuk pasien-pasien yang dirumahkan, karena demam tifoid atau tifus pada tahun 1800-an.

Menurut Psikolog Vaile Wright (dilansir CNN) cabin fever melibatkan serangkaian emosi negatif dan tekanan yang terkait dengan pembatasan. Dalam kondisi ini, seseorang akan mudah marah, bosan, putus asa, gelisah, merasa sedih, hingga sulit berkonsentrasi.

Oleh karenanya, para orangtua patut mewaspadai hal ini agar anak-anak terhindar dari ancaman cabin fever. Walau bagaimanapun, anak-anak tetap harus mendapatkan hak nya antara lain hak kesehatan, hak bermain dan hak mendapatkan kasih sayang penuh dan pengawasan dari orangtua. Untuk mengatasi kebosanan dan rasa lelah akibat mengerjakan tugas sekolah, orangtua bisa menciptakan kegiatan-kegiatan yang menyenangkan seperti memasak bersama, berkebun, bermain monopoli, dan sebagainya.

Orangtua juga tetap aktif menanyakan dan membimbing anak-anak dalam mengerjakan tugas sekolah. Kemudian, mengajak anak-anak melakukan kegiatan beribadah bersama di bulan Ramadhan, juga salah satu solusi. Alhasil, tanamkan pikiran positif pada anak bahwa pandemi ini akan segera berakhir dan bahwa anak-anak turut berperan dalam memutus mata rantai penyebaran penyakit ini dengan belajar dan berkegiatan dari rumah.

*Penulis adalah Anggota DPRD Depok periode 20014-2019. Inisiator Perda Kota Layak Anak dan Pemerhati Perkembangan Anak

Editor: Admin

TERKAIT


TERPOPULER