Susan Herawati, Sekjen Kiara
Cabut Perpres No. 51 Tahun 2014, Hentikan Reklamasi Teluk Benoa
- Beranda /
- Kabar /
- LINGKUNGAN /
- Selasa, 15 Oktober 2019 - 00:20 WIB
Di dalam Perpres No. 51 Tahun 2014, khususnya Pasal 101A disebutkan bahwa upaya revitalisasi dapat dilakukan termasuk dengan melakukan reklamasi paling luas 700 (tujuh ratus) hektar di seluruh kawasan Teluk Benoa.
TOKOHKITA. Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) mendesak Presiden Republik Indonesia untuk mencabut Peraturan Presiden (Perpres) No. 51 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden No. 45 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan perkotaan Denpasar, Badung, Gianyar, dan Tabanan. Perpres ini dinilai menjadi biar kerok dijalankannya proyek reklamasi di Teluk Benoa, yang telah mendapatkan penolakan keras dari masyarakat Bali selama lima tahun terakhir ini.
Di dalam Perpres No. 51 Tahun 2014, khususnya Pasal 101A disebutkan bahwa upaya revitalisasi dapat dilakukan termasuk dengan melakukan reklamasi paling luas 700 (tujuh ratus) hektar di seluruh kawasan Teluk Benoa. “Sejak awal, Perpres ini terlihat sangat tidak berpihak terhadap keberlanjutan lingkungan sekaligus masyarakat Bali, khususnya, serta masyarakat Indonesia umumnya. Sejak awal, Perpres menyamakan revitalisasi dengan reklamasi. Padahal dua hal ini sangat berbeda sama sekali,” tutur Susan Herawati, Sekretaris Jenderal KIARA di Jakarta, Senin (14/10/2019).
Menurut Susan, penghentian proyek reklamasi Teluk Benoa tidak cukup hanya dengan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan yang menetapkan kawasan Teluk Benoa sebagai area Konservasi Kawasan Maritim (KKM). Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti, tidak cukup legal-konstitusional untuk menghentikan proyek reklamasi Teluk Benoa,” katanya.
Dalam konteks ini, Presiden memiliki otoritas sekaligus mandat konstitusional untuk mencabut Perpres dalam rangka mengoreksi paradigma pembangunan yang tidak memiliki kepedulian terhadap masa depan ekosistem Teluk Benoa sekaligus masyarakat Provinsi Bali yang memiliki ikatan kuat dengan lautnya. “Tidak ada alasan yang menghalangi Presiden untuk mencabut Perpres No. 51 Tahun 2014 yang pernah ditandatangani oleh Presiden sebelumnya,” ungkap Susan.
Di dalam upaya memberikan perlindungan bagi keberlanjutan lingkungan hidup dan sekaligus masyarakat, Presiden sangat dimungkinkan untuk melakukan perubahan aturan. Di dalam kaidah hukum ada yang disebut "in dubio pro natura", artinya seorang presiden atau siapaun penyelenggara negara, jika memiliki keraguan untuk memutuskan sesuatu, maka perlindungan keberlangsungan lingkungan hidup sekaligus perlindungan masyarakat wajib didahulukan supaya menjadi pertimbangan utama dalam pengambilan keputusan.
Tak hanya itu, Putusan Mahkamah Konstitusi No. 3 Tahun 2010 memberikan mandat penting kepada pemerintah untuk menjamin empat hak masyarakat pesisir, yaitu: pertama, hak untuk melintas dan mengakses laut; kedua, hak untuk mendapatkan perairan yang bersih dan sehat; ketiga, hak untuk mendapatkan manfaat dari sumberdaya pesisir dan laut; dan keempat, hak untuk mempraktikkan adat istiadat atau kearifan tradisional dalam mengelola sumberdaya pesisir dan laut.
“Dengan berbagai pertimbangan ini, Presiden harus menghentikan proyek reklamasi Teluk Benoa dan segera mencabut Perpres No. 51 Tahun 2014. Itulah yang harus dilakukan Presiden,” pungkasnya.
Susan menambahkan “Seharusnya keputusan dari Ibu Susi Pudjiastuti didukung penuh oleh Menteri Koordinator Kemaritiman, Luhut Binsar Panjaitan dan melihat laut sebagai masa depan bangsa bukan sekedar komoditas investasi. Sayangnya, Luhut masih melihat laut hanya sebatas urusan bisnis dan investasi,” tambahnya
Editor: Tokohkita