Menelusur Gagasan Transportasi LRT di Indonesia

  1. Beranda /
  2. Feature /
  3. Kamis, 20 Juni 2019 - 09:55 WIB

LRT Jakarta/Istimewa
LRT Jakarta
Foto: Istimewa

Pembangunan fisik LRT Jakarta mewujud pada Juni 2016. Tetapi gagasan seputar LRT di Jakarta telah mengemuka sejak 1987. Masa inilah gagasan LRT di Indonesia mulai bertumbuh. Wiyogo Atmodarminto, Gubernur Jakarta 1987—1992, memperoleh masukan dari tim gabungan studi sistem angkutan kota untuk mengembangkan transportasi massal berbasis rel.

TOKOHKITA. Kereta Lintas Rel Terpadu atau Light Rail Transit (LRT) mulai beroperasi secara terbatas di Jakarta sejak Selasa, 11 Juni 2019. Warga boleh naik moda transportasi publik baru berbasis rel ini selama program uji coba gratis. Seluruh rutenya melayang, melintang sejauh 5,8 kilometer dari Kelapa Gading (Utara)—Velodrome Rawamangun (Timur).

Satu rangkaian LRT Jakarta terdiri atas dua kereta. Tiap kereta hanya mampu mengangkut 135 penumpang sekali jalan. Lebih kecil dari kapasitas angkut kereta Moda Raya Terpadu atau Mass Rapid Transit (MRT) yang mencapai 350 orang per kereta. Sebab bobot LRT lebih ringan ketimbang kereta MRT. Kesamaan keduanya terletak pada kecepatan, ketepatan waktu, kenyamanan, dan teknologi kiwari.

Pembangunan fisik LRT Jakarta mewujud pada Juni 2016. Tetapi gagasan seputar LRT di Jakarta telah mengemuka sejak 1987. Masa inilah gagasan LRT di Indonesia mulai bertumbuh. Wiyogo Atmodarminto, Gubernur Jakarta 1987—1992, memperoleh masukan dari tim gabungan studi sistem angkutan kota untuk mengembangkan transportasi massal berbasis rel. Tim studi menilai penggunaan kereta api sebagai transportasi publik masih rendah.

Dari satu juta perjalanan warga per hari di Jakarta, hanya 30.000 perjalanan terlayani oleh kereta api (sekira 3 persen). Selebihnya dengan kendaraan bermotor pribadi dan umum (bus, angkot, dan taksi).

“Padahal menurut teori, seharusnya sebaliknya. Pada waktu ini kami mempunyai sasaran agar warga yang dilayani kereta api bisa mencapai 20%,” kata Wiyogo dalam Catatan Seorang Gubernur, seperti dikutip Historia. Angka 20 persen berasal dari Master Plan Jakarta 1965.

Semangat mengembangkan transportasi publik berbasis rel di Jakarta terdorong oleh situasi dan diskusi tentang transportasi publik dari luar dan di dalam negeri. Wiyogo mengetahui Manila, ibukota Filipina, telah membangun sistem LRT pada 1984, lalu menyusul Bangkok, ibukota Thailand. Kemudian pada 1987, Asosiasi International Angkutan Umum menggelar kongres tentang teknologi LRT.

“Disimpulkan bahwa sistem LRT mencakup konsep angkutan yang terpisah dari lalu-lintas pribadi, pengembangan rutenya dalam beberapa tahap, sangat fleksibel dan efisien, serta biaya investasi rendah,” catat Roos D, pengamat transportasi dalam “LRT Generasi Trem Modern”, termuat di Kompas, 7 November 1991.

Dari dalam negeri, diskusi seputar kemungkinan pembangunan kereta bawah tanah (MRT) di Jakarta kian mengemuka. Tim studi dari Japan International Agency Cooperation (JICA) juga sedang berupaya gencar memperbaiki sistem Kereta Rel Listrik (KRL) komuter Jakarta—Bogor—Tangerang—Bekasi (Jabotabek).

Wiyogo ingin menghadirkan alternatif transportasi publik berbasis rel. “Yang kami maksud dengan kereta api di sini adalah kereta api ringan—Light Rail Transport (LRT)—yang tidak seberat kereta api biasa,” kata Wiyogo.

Keunggulan LRT di atas moda transportasi publik lainnya bertumpu pada kapasitas angkut dan kecepatan. LRT mampu mengangkut sekira 340 orang per kereta. Dua kali lebih besar daripada kapasitas angkut bus terpandu (guided bus). LRT sanggup bergerak lebih cepat daripada bus terpandu dan KRL. Jalur LRT melayang sehingga tidak bersilangan dengan jalur moda transportasi lain seperti KRL atau bus terpandu.  

Bus terpandu merupakan salah satu rencana perbaikan transportasi publik pada era Wiyogo. Bus akan melaju di sepanjang jalur Blok M (Selatan)—Kota (Utara), satu jalur dengan MRT. “Bis terpandu bisa dipakai sebagai kelengkapan,” tambah Wiyogo. Dengan demikian, dia lebih mengedepankan moda transportasi massal berbasis rel.

Semangat pengembangan transportasi publik berbasis rel di Jakarta merambah ke perusahaan swasta. PT Citra Patenindo Nusa Pratama (PT CPNP), perusahaan milik Tutut Soeharto, menyatakan siap membantu Pemerintah DKI Jakarta mewujudkan rencana pembangunan LRT.

PT CPNP telah menghadirkan prototipe kereta LRT di kawasan wisata Taman Mini Indonesia Indah (TMII) pada April 1989. Nama kereta itu aeromovel. Tapi di TMII, penggunaan aeromovel lebih bertujuan untuk wahana wisata.

Aeromovel bergerak memanfaatkan tenaga angin dan listrik. Asal teknologi ini dari Brazil. Pemerintah kota setempat sudah menerapkan teknologi aeromovel untuk sistem kereta LRT. Teknologi ini berbeda dari LRT di Eropa. Investasi pengembangan aeromovel Brazil jauh lebih murah ketimbang LRT di Eropa dan sejumlah negara Asia.

“Hanya US$ tiga juta per kilometer. Kalau ingin perbandingan, LRT (Light Rail Train) yang diterapkan di Bangkok —sama-sama teknologi baru di bidang perkeretaapian— menelan 19 juta untuk lintasan single track dengan panjang yang sama,” tulis majalah Clayperon, Vol. 28, Desember 1989.

Tetapi keinginan PT CPNP menjadikan aeromovel sebagai teknologi kereta LRT terganjal regulasi. Aeromovel tidak kunjung menerima sertifikat kelayakan dari pemerintah sebagai moda transportasi publik. Tak ada sertifikat berarti tak ada proyek.

Gagal dengan aeromovel sebagai LRT, grup usaha lain milik Tutut Soeharto, PT Citra Lamtorogung Persada (PT CLP), mengajukan konsep penggabungan LRT dengan jalan layang susun tiga (Triple Decker). Mereka menggandeng perusahaan swasta asal Swedia, Jerman, Prancis, dan Kanada demi menggolkan proyek ini.

Triple decker terbagi atas jalan arteri, jalan tol, dan jalur LRT. Penggabungan ini untuk menyiasati nilai investasi, menekan harga tiket LRT, dan mempersingkat termin balik modal perusahaan tersebut.

Menteri Pekerjaan Umum Radinal Mochtar (menjabat 1988—1998) cukup berterima dengan konsep triple decker. “Untuk jangka pendek, triple decker perlu segera dibangun karena investasinya lebih murah, bisa subsidi antara jalan tol dengan LRT,” kata Radinal dalam Eksekutif, Agustus 1996.

Triple Decker akan melintang sejauh 25,7 kilometer dari selatan ke utara (Bintaro hingga Kota). Studi pendahuluan bersama tim Sistem Angkutan Umum Massal Jabotabek dan PT CLP menyebut kelak triple decker juga akan membujur sepanjang 36,5 kilometer dari barat ke timur (Tangerang ke Bekasi) dan membentang di pusat perkantoran/pemerintahan.

Tidak seperti aeromovel, teknologi kereta LRT dalam triple decker menggunakan tenaga listrik penuh. Daya angkutnya mencapai 25 ribu orang per jam untuk dua arah. “Investasi proyek transportasi baru ini Rp2,2 triliun. Dananya 80?ri pinjaman sindikasi dan 20% modal sendiri,” catat Eksekutif.

PT CLP merencanakan pembangunan fisik triple decker mulai pada 1998. Beriringan dengan pembangunan fisik MRT/subway Jakarta. Kedua proyek itu telah memperoleh lampu hijau dari pemerintah pusat dan daerah. Tetapi bala krisis keuangan melanda Indonesia pada 1998. Rezim Soeharto rontok. Begitu pula dengan sejumlah perusahaan milik anaknya.   

Setelah sekian lama terpendam, LRT akhirnya mengada di Palembang pada Agustus 2018, saat Asian Games. Tetapi keberadaannya justru menuai kritik. Antara lain tersebab ketidakjelasan studi pendahuluan dan kelayakan, besaran dana pembangunan, sudah ditinggalkan oleh negara maju, kerugian operasional, dan sengkarut izin operasi.

Begitu juga dengan LRT Jakarta. Banyak keberatan dari berbagai pihak. Orang juga menduga LRT Jakarta akan bernasib serupa LRT Palembang. Benarkah demikian? Kita tunggu jawabannya kelak ketika LRT Jakarta mulai beroperasi secara komersial.

Editor: Tokohkita


TERPOPULER