Jacob Ereste

Pertahanan dan Keamanan Harus Berbasis Rakyat

  1. Beranda /
  2. Opini /
  3. Minggu, 9 Juni 2019 - 12:45 WIB

Jacob Ereste/Istimewa
Jacob Ereste
Foto: Istimewa

Potensi serta segenap energi masyarakat adat dan keraton harus ikut berperan dan ikut mengambil posisinya yang strategis sekarang juga dalam upaya membangun bangsa dan negara yang lebih unggul dan lebih beradab dengan kepribadian yang membanggakan.

Tidak bisa tidak, pertahanan dan ketahanan bangsa dan negara Indonesia dalam menghadapi perang asimetris sekarang harus dapat segera memperkuat basis politik, ekonomi, dan budaya  masyarakat yang tangguh dan kuat. Bila tidak, maka pada saatnya kelak tidak terlalu lama akan jatuh ke dalam dekapan naga raksasa yang sudah lama mau memangsa kita.

Oleh karena itulah upaya untuk menata ulang sistem tata kelola bangsa dan negara kita agar dapat tumbuh dan berkembang secara sehat dan kuat, perlu segera dibenahi sekarang juga, sebelum terlambat.

Sistem tata kelola negara dan bangsa yang mengabaikan peranan dari masyarakat adat dan keraton bukan saja telah memperlemah ketahanan serta pertahanan budaya bangsa, tapi juga ikut memperlemah ketahanan serta pertahanan ekonomi dan politik bangsa dan negara Indonesia dalam arti luas hingga pertahanan dan ketahanan rakyat untuk ikut membangun bangsa dan negara tidak bisa maksimal diberikan.

Inilah dosa sejarah yang harus ditanggung generasi milineal sekarang yang ikut membiarkan kesalahan terus berlangsung sejak kemerdekaan diproklamirkan. Karena sejak itu praktis otoritas kekuasaan atas wilayah adat dan pemerintahan keraton diambil alih oleh sistem pemerintah republik Indonesia yang baru.

Karena itu, peran serta masyarakat adat dan keraton perlu ditata ulang, agar potensi serta segenap energi yang mereka miliki dapat dipadukan dengan sumber daya manusia yang lain guna ikut menata bangsa dan negara Indonesia agar dapat lebih baik dan lebih beradab serta terlepas dari dominasi serta pendektean bangsa asing.

Sistem rekrutmen kepemimpinan nasional kita memang tidak mengambil serbuk sari dari warga masyarakat adat yang mengakar dalam agama. Sehingga, berakibat buruk pada etika dan moral untuk tetap setia menjaga komitmen dari sikap nasionalis kebangsaan yang sejati.

Nilai-nilai moral dan etika harus tegak diatas fondasi yang kokoh. Setidaknya Pancasila sebagai  falsafah bangsa dan negara perlu tetap dijadikan pedoman, supaya standar moral dan etika dapat ditakar kualitasnya. Selain itu tentu saja UUD 1945 jangan cuma dijadikan penghias ruang kerja atau sekedar bumbu pemanis dalam setiap pidato saat kampanye waktu Pemilu.

Kerusakan secara sistemik yang dilakukan secara sadar maupun tidak oleh para rezim penguasa  telah semakin memperparah cara melakukan seleksi untuk para calon penimpin di negeri kita. Sebab telah dinista oleh mereka yang bisa membelinya dengan harga berapapun. Itulah sebabnya banyak pengusaha yang bisa duduk di parlemen atau bahkan dalam pemerintahan.

Fenomena inilah yang dimaksud oleh sejumlah pemerhati dari  perilaku para aparatur negara yang telah dinista oleh saudagar dan pengusaha bahkan para taipan yang cukup mengandalkan uangnya untuk memperoleh kedudukan. Biasanya memang jalan pintas serupa itu mereka tempuh melalui proses singkat pemagangan di pertai politik, untuk kemudian bisa langsung terjun bebas pada posisi mana yang diinginkan.

Dalam bahasa politik, begitulah  faksun dari politik ekonomi, atau sebaliknya. Sebab dalam posisi jungkir balik pun tidaklah menjadi masalah dalam semangat jibaku model saudagar ini. Toh, dalam prakteknya yang  janggal pun pada akhirnya bisa dianggap jamak dan lumrah, persis seperti birahi korupsi di negeri kita yang diumbar tanpa rasa risi dan tiada sisa rasa malu sedikitpun.

Oleh karena itu, ketika pengusaha menjadi penguasa, maka hukum pun tanpa rasa risi dipasang tarif secara terbuka dan transparan di atelase ruang kerja mereka. Perilaku korupsi terus berkembang menjadi tradisi para politisi. Dan sekarang sudah permanen jadi semacam budaya baru dalam masyarakat, karena tidak lagi terbatas dilakukan oleh para pejabat negara saja, tetapi menyuburkan tradisi suap dari para pengusaha.

Melalui budaya suap-suapan ini hukum di ruang pengadilan pun, entah apa saja jenis dan ragam macamnya -hakim yang dimuliakan itu sekarang juga sudah ada bandrolnya. Sama pula dengan para narapidana yang sedang menjalani pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan, sudah menjadi pengetahuan masyarakat umum bila mereka akan dijadikan ATM bergilir. Jika tidak, maka semakin malanglah nasib si pesakitan itu menjalani masa pembinaannya di Lembaga Penasyarakatan. Karenanya, dapat segera dipaham, peredaran narkoba pun seperti mendapat lahan yang subur di habitat yang sama ini.

Begitulah rangkai perang asimetris sesungguhnya yang berlangsung sekarang. Kesmim;uan sementara hasil dari pra penelitian Atlantika Institut Nusantara bersama Komunitas Buruh Indonesia dan Jaringan Jurnalis Indonesia Bersatu menemukan, para aktor perang asimetris sesungguhnya, telah ikut memanfaatkan kebobrokan  mental, moral dan etika aparat pemerintah yang bobrok dan lapuk, akibat pendidikan maupun tingkat kemiskinan akut dalam pengerian luas.

Dari penelisikan lain, dapat pula diketahui sejumlah bentuk perang asimetris dari pihak asing ikut mendorong kegandrungan dari rezim yang tengah berkuasa  untuk mendukung  pengkooptasian para tokoh adat dan agama, serta para sultan. Kesimpulan yang sama sempat menjadi trending topik dalam forum diskusi para pakar bersama seniman dan budayawan. 

Mereka merasa amat perihatin pada upaya membangun budaya bangsa yang sangat diharapkan untuk dapat menjadi unggulan serta kebanggaan sebagai identitas dan kepribadian bangsa Indonesia yang memiliki trah para leluhur. Maka itu, potensi serta segenap energi masyarakat adat dan keraton harus ikut berperan dan mengambil posisi strategis sekarang juga dalam upaya membangun bangsa dan negara yang lebih unggul dan lebih beradab dengan kepribadian membanggakan.

*Penulis adalah Pembina Utama Komunitas Buruh Indonesia

Editor: Tokohkita

TERKAIT


TERPOPULER