Susan Herawati

Pemerintah Harus Mengakui Profesi Perempuan Nelayan

  1. Beranda /
  2. Kabar /
  3. Nasional /
  4. Sabtu, 9 Maret 2019 - 21:55 WIB

Susan Herawati, Sekretaris Jenderal KIARA/Istimewa
Susan Herawati, Sekretaris Jenderal KIARA
Foto: Istimewa

Peran dan kontribusi perempuan nelayan sangat besar dan sangat signifikan bagi perekonomian keluarga nelayan lebih dari 12.000 desa pesisir di Indonesia. Pusat Data dan Informasi KIARA (2018) mencatat kontribusi perempuan nelayan sangat krusial.

TOKOHKITA. Sampai saat ini, Pemerintah Republik Indonesia belum memberikan pengakuan profesi perempuan nelayan. Padahal, peran dan kontribusi mereka sangat besar dan sangat signifikan bagi perekonomian keluarga nelayan lebih dari 12.000 desa pesisir di Indonesia. Pusat Data dan Informasi KIARA (2018) mencatat kontribusi perempuan nelayan sangat krusial.

“Telah sejak lama KIARA melakukan riset mengenai peran dan kontribusi perempuan nelayan di Indonesia. Salah satu temuannya adalah mereka memberikan kontribusi ekonomi lebih dari 60 persen bagi perekonomian keluarga,” ungkap Susan Herawati, Sekretaris Jenderal KIARA, Sabtu (9/3/2019).

Tak hanya itu, Susan menambahkan, perempuan nelayan di Indonesia menghabiskan waktu untuk bekerja di dalam rantai perikanan sejak pra-produksi sampai dengan pasca produksi selama 17 jam setiap hari. “Ini adalah bukti nyata bahwa perempuan nelayan layak mendapatkan pengakuan dari pemerintah. Bentuk pengakuannya bisa berupa regulasi di bawah Undang-Undang,” katanya.

Senada dengan hal tersebut, Masnuah, Sekretaris Jenderal PPNI, menguraikan keberadaan perempuan nelayan di Indonesia sangat penting, bukan hanya dalam konteks ekonomi, tetapi juga dalam konteks keberlanjutan lingkungan hidup dan kohesi sosial. “Banyak anggota kami di berbagai tempat di Indonesia telah melakukan upaya-upaya penyelamatan lingkungan hidup di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil. Lebih dari itu, mereka telah mendirikan koperasi nelayan, yang dengan itu tercipta gotong royong yang kuat,” tuturnya.

Masnuah menyayangkan identitas perempuan nelayan masih disematkan pada suami mereka. “Kami melihat, perempuan nelayan, baik secara budaya maupun kebijakan, masih dilekatkan pada suami mereka. Di dalam kebijakan, hal ini bisa dilihat di dalam UU No. 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam. UU ini masih belum memberikan pengakuan bagi perempuan nelayan,” tegasnya.

Di samping belum adanya pengakuan politik dari pemerintah, perempuan nelayan adalah kelompok yang paling rentan menjadi korban akibat kebijakan pembangunan di kawasan pesisir dan pulau-pulau yang berwatak ekstraktif, eksploitatif, dan merampas ruang hidup masyarakat.

KIARA mencatat, perempuan nelayan adalah kelompok yang paling menderita secara berganda, khususnya akibat proyek reklamasi di 42 wilayah di Indonesia dan proyek tambang pesisir di 26 wilayah di Indonesia. Pusat Data dan Informasi KIARA (2018) mencatat, 79.348 keluarga nelayan terdampak akibat proyek reklamasi serta lebih dari 35.000 keluarga nelayan, terdampak proyek tambang pesisir dan pulau-pulau kecil.

“Mereka memiliki beban yang sangat berganda. Saat suami mereka kehilangan penghasilan karena lautnya rusak, perempuan nelayan terus bekerja untuk menafkahi keluarga. Dalam kondisi ini, dimana kehadiran pemerintah?” tanya Susan.

Masnuah, menuntut Pemerintah Republik Indonesia untuk segera mengevaluasi dan menghentikan seluruh proyek pembangunan yang terbukti merampas ruang hidup perempuan nelayan. “Pemerintah harus hadir untuk perempuan nelayan dengan cara mengakui kami dan melindungi ruang hidup kami,” pungkasnya.

Editor: Tokohkita

TERKAIT


TERPOPULER