Rokhmin Dahuri
Pembangunan Ekonomi Maritim
Sebagai negara kepulauan terbesar dunia dengan 17.504 pulau dan tiga perempat wilayah berupa laut, ekonomi maritim menawarkan potensi menghadirkan pertumbuhan ekonomi tinggi, berkualitas, inklusif, dan berkelanjutan.
Setelah 73 tahun merdeka, Indonesia masih menjadi negara berkembang berpendapatan menengah bawah dengan rata-rata pendapatan nasional kotor (GNI) 3.800 dollar AS per kapita.
Sebuah negara dinobatkan sebagai negara makmur (berpendapatan tinggi) apabila GNI per kapita di atas 12.235 dollar AS (Bank Dunia, 2017). Dengan kekayaan sumber daya alam, jumlah penduduk 267 juta jiwa (terbesar keempat dunia), dan bonus demografi 2020-2040, Indonesia diprediksi menjadi negara maju dan makmur 2045 (PricewaterhouseCooper, 2018).
Saat itu, kekuatan ekonomi (PDB) Indonesia mencapai 7,3 triliun dollar AS (terbesar keempat di dunia) dengan rata-rata GNI per kapita 15.000 dollar AS. Dari perspektif ekonomi, prediksi akan menjadi kenyataan apabila Indonesia mampu menghasilkan pertumbuhan ekonomi tinggi (di atas 7 persen/tahun), banyak menyerap tenaga kerja, menyejahterakan rakyat, dan berkelanjutan.
Ekonomi maritim
Sebagai negara kepulauan terbesar dunia dengan 17.504 pulau dan tiga perempat wilayah berupa laut, ekonomi maritim menawarkan potensi menghadirkan pertumbuhan ekonomi tinggi, berkualitas, inklusif, dan berkelanjutan.
Ekonomi maritim Indonesia meliputi 11 sektor: (1) perikanan tangkap, (2) perikanan budidaya, (3) industri pengolahan perikanan dan hasil laut, (4) industri bioteknologi kelautan, (5) ESDM, (6) pariwisata bahari, (7) perhubungan laut, (8) kehutanan, (9) sumber daya wilayah pulau-pulau kecil, (10) industri dan jasa maritim, dan (11) SDA nonkonvensional. Potensi nilai ekonomi 1,5 triliun dollar AS/tahun atau 1,5 kali PDB dengan potensi lapangan kerja 45 juta orang atau 35 persen total angkatan kerja. Namun, potensi maritim ini baru dimanfaatkan 25 persen.
Sebagai ilustrasi, Indonesia memiliki 3 juta hektar (ha) lahan pesisir yang cocok untuk budidaya tambak udang vaname. Jika kita mampu mengembangkan usaha 500.000 ha tambak udang vaname dengan produktivitas rata-rata 40 ton/ha/tahun (moderat) saja, bisa dihasilkan 20 juta ton atau 20 miliar kilogram udang tiap tahun. Dengan harga udang saat ini 5 dollar AS/kg, nilai ekonomi langsungnya 100 miliar dollar AS/tahun atau sekitar 10 persen PDB saat ini.
Jika mulai tahun depan sampai 2024 kita buka usaha 100.000 ha tambak udang vaname setiap tahun, dari udang ini saja bisa disumbangkan 2 persen terhadap pertumbuhan ekonomi per tahun. Maka, pertumbuhan ekonomi 7 persen per tahun bagi maritim Indonesia adalah keniscayaan.
Masih banyak komoditas budidaya laut lain dengan nilai ekonomi sangat tinggi, seperti udang windu, ikan bandeng, nila salin, kerapu, kakap, bawal bintang, kepiting, lobster, gonggong, abalone, teripang, kerang mutiara, dan rumput laut. Di sisi lain, sejak 2012, IPB menemukan empat spesies mikroalga laut dengan kandungan hidrokarbon 20 persen dari total berat kering dan telah menghasilkan biofuel.
Jika kita kembangkan budidaya mikroalga ini seluas 2 juta ha areal laut pesisir (0,3 persen total wilayah laut Indonesia) terintegrasi dengan industri pengilangannya, bisa diproduksi 2 juta barel biofuel/hari. Jumlah ini melampaui kebutuhan minyak mentah nasional 1,4 juta barel/hari sehingga kita tidak perlu lagi impor minyak Rp 500 triliun/tahun. Dengan keragaman hayati laut (marine biodiversity) terbesar dunia, Indonesia memiliki potensi industri bioteknologi kelautan luar biasa besar, total nilai ekonomi empat kali lipat industri teknologi informasi.
Industri ini meliputi tiga cabang industri: (1) genetic engineering untuk menghasilkan bibit dan benih fauna serta flora unggul, (2) ekstraksi senyawa bioaktif dari organisme laut, dan (3) bioremediasi lingkungan. China berhasil membudidayakan padi di perairan laut dengan hasil 9 ton/ha/panen (Yangzhou University, 2017). Artinya, budidaya laut berbasis bioteknologi bisa mewujudkan kedaulatan pangan.
Posisi strategis
Posisi geoekonomi-geopolitik Indonesia sebagai penghubung Samudra Pasifik dan Hindia serta Benua Asia dan Australia membuat peran kemaritiman bagi Indonesia semakin krusial. Ada 45 persen dari total barang perdagangan dunia diangkut dengan ribuan kapal melalui tiga alur laut kepulauan Indonesia dengan total nilai ekonomi 15 triliun dollar AS/tahun (UNCTAD, 2010).
Oleh sebab itu, sangat tepat pemerintahan Presiden Joko Widodo menjadikan kemaritiman sebagai salah satu prioritas dengan tag line Indonesia sebagai poros maritim dunia. Banyak kemajuan di bidang maritim telah direngkuh dalam empat tahun terakhir. Penegakan kedaulatan dan program konservasi lingkungan telah membuahkan hasil. Pembenahan manajemen pelabuhan mampu memangkas dwelling time dari sembilan hari pada 2014 menjadi rata-rata empat hari sejak 2016.
Pada 2014, sebanyak 70 persen ekspor produk Indonesia harus melalui Pelabuhan Singapura, sejak 2016 tinggal 40 persen. Beroperasinya 18 trayek tol laut telah memperlancar, mempermudah, dan mempermurah arus penumpang dan barang di seluruh wilayah Nusantara. Disparitas harga barang antarwilayah menurun signifikan. Jumlah wisatawan asing ke Indonesia untuk menikmati pariwisata bahari meningkat dari 3 juta orang pada 2014 menjadi 6 juta orang pada 2017.
Namun, masih banyak masalah di kehidupan nelayan dan usaha perikanan. Oleh karena itu, ke depan kita mesti meluruskan orientasi pembangunan maritim sesuai tujuan Presiden Jokowi dan Wapres Jusuf Kalla, yakni menjadikan Indonesia maju, sejahtera, dan berdaulat berbasis ekonomi, hankam, dan budaya maritim.
Dalam jangka pendek-menengah (2019-2024), yang harus dilakukan adalah penyempurnaan dan implementasi rencana tata ruang wilayah secara terpadu dari lahan atas-pesisir-lautan di tingkat kabupaten/kota, provinsi, dan nasional. Dalam ruang wilayah antara daratan pesisir dan laut sampai 12 mil, pertama harus dialokasikan minimal 30 persen dari total wilayah untuk kawasan lindung. Sebanyak 70 persen wilayah sisanya bisa digunakan untuk berbagai macam kegiatan pembangunan.
Kedua, optimalisasi sektor perikanan tangkap dengan cara mengembangkan 10.000 kapal ikan modern ukuran 50 GT-500 GT untuk memanfaatkan sumber daya ikan di wilayah-wilayah laut yang masih underfishing dan menjadi ajang illegal fishing. Wilayah laut dimaksud antara lain Laut Natuna, Laut Sulawesi, Laut Banda, Laut Arafura, perairan barat Sumatera, dan zona ekonomi eksklusif Indonesia.
Kapal-kapal ikan modern di atas 400 GT juga bisa kita gunakan untuk menangkap cakalang, tuna, dan ikan pelagis besar lain di laut lepas (di atas 200 mil). Selain di Bitung, untuk mendaratkan, mengolah, dan memasarkan ikan hasil tangkapan 10.000 kapal ikan modern itu, kita harus membangun pelabuhan-pelabuhan perikanan baru yang terintegrasi dengan kawasan industri perikanan berkelas internasional di Aceh, Natuna, Bangka Belitung, Kalimantan Barat, Kalimantan Utara, Baubau, Morotai, Sorong, Biak, Tual/Aru, dan Kupang.
Di wilayah-wilayah laut yang sudah overfishing, seperti pantai utara dan pantai selatan Sulawesi, kita kurangi jumlah kapal ikan dan nelayannya sampai intensitas penangkapan lebih kecil atau sama dengan potensi produksi lestari.
Pengembangan tambak
Ketiga, selain tambak udang vaname, kita kembangkan tambak udang windu 50.000 ha, tambak bandeng 100.000 ha, nila salin 50.000 ha, kepiting soka 50.000 ha, kepiting bertelur 50.000 ha, kerapu lumpur 50.000 ha, dan rumput laut Gracillaria spp 500.000 ha. Dengan keramba jaring apung, kita kembangkan budidaya di perairan laut dangkal dan laut lepas dengan ikan kerapu, kakap, bawal bintang, gobia, dan spesies lain.
Keempat, peningkatan kualitas dan sertifikasi semua unit pengolahan ikan yang ada sekarang (61.603 unit) yang tersebar di seluruh wilayah Nusantara supaya produk olahan lebih bernilai tambah, berdaya saing, dan laku di pasar domestik ataupun ekspor. Kelima, pengembangan industri bioteknologi kelautan dengan fokus pada industri makanan dan minuman sehat, farmasi, kosmetik, dan biofuel.
Keenam, penguatan dan pengembangan pariwisata bahari agar mampu mendatangkan 10 juta wisatawan mancanegara dan mendulang devisa sedikitnya 10 miliar dollar AS/tahun mulai tahun 2020. Ketujuh, revitalisasi semua usaha produksi dan pengolahan sektor ESDM yang sekarang terdapat di wilayah pesisir dan lautan supaya lebih efisien, berdaya saing, inklusif, dan ramah lingkungan.
Kedelapan, industri dan jasa maritim sekarang (galangan kapal, dockyards, pabrik jaring, dan alat tangkap lain harus ditingkatkan produktivitas, efisiensi, daya saing, inklusivitas, dan keberlanjutannya. Kesembilan, sampai sekarang, sekitar 90 persen dari barang yang diekspor dan diimpor Indonesia diangkut oleh perusahaan-perusahaan kapal asing dan 50 persen total kapal angkut antarpulau (dalam negeri) juga masih perusahaan asing.
Meski kita berhasil menurunkan biaya logistik dari 26 persen PDB pada 2014 jadi 21 persen PDB tahun lalu, itu masih jauh lebih tinggi dibandingkan dengan Singapura, Malaysia, dan Thailand yang kurang dari 15 persen PDB. Oleh sebab itu, kita harus meningkatkan produktivitas, efisiensi, dan daya saing perusahaan-perusahaan transportasi laut nasional dan pelabuhan-pelabuhan kita.
Dalam jangka panjang (2024-2045), kita harus mampu mengembangkan minimal 75 persen dari ruang lingkup (domain) 11 sektor ekonomi maritim RI, seperti industri bioteknologi dan nanoteknologi kelautan, industri air laut dalam, pertambangan mineral laut dalam, dan energi dari gelombang, arus laut, dan OTEC. Dengan mengimplementasikan peta jalan pembangunan ekonomi maritim di atas, niscaya Indonesia akan naik kelas menjadi negara berpendapatan menengah atas dengan rata-rata GNI sebesar 8.000 dollar AS pada 2024 dan rata-rata GNI 15.000 dollar AS pada 2045.
*Guru Besar Manajemen Pembangunan Pesisir dan Lautan IPB; Ketua Umum Gerakan Nelayan Tani Indonesia.
Editor: Tokohkita