Rokhmin Dahuri

Aturan Prompt Release Bisa Tekan Kerugian Akibat IUU Fishing

  1. Beranda /
  2. Kabar /
  3. Nasional /
  4. Jumat, 11 September 2020 - 17:23 WIB

Rokhmin Dahuri/Istimewa
Rokhmin Dahuri
Foto: Istimewa

Penegakan hukum terhadap IUU fishing diatur dalam UNCLOS 1982, mencakup di laut teritorial dan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEE). Dalam hal ini ada yang disebut dengan prompt release (pelepasan seketika).

TOKOHKITA. Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, yang ¾ wilayahnya berupa laut dan 28?ratannya berupa perairan (danau, sungai, dan bendungan); Indonesia memiliki potensi produksi perikanan lestari terbesar di dunia (115, 63 juta ton/tahun), dan baru dimanfaatkan sekitar 11% nya.

Selain perikanan, wilayah pesisir dan laut Indonesia juga mengandung beragam jenis SDA lain dan jasa-jasa lingkungan dengan potensi ekonomi sekitar US$ 1,4 trilyun/tahun (1,4 PDB) dan potensi lapangan kerja sekitar 45 juta orang (34% total angkatan kerja), yang hingga kini baru dimanfaatkan sekitar 20%. 

Hanya saja, praktik illegal, unreported and unregulated (IIU) fishing  yang banyak terjadi di perairan Indonesia, sangat merugikan. Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan-IPB,  Prof Dr Ir Rokhmin Dahuri MS mengatakan, kerugian IIU fishing bagi Indonesia menyangkut kerugian ekonomi, dampak politik, sosial, dan lingkungan.

"Karena itu, terhadap kegiatan penangkapan ikan secara tidak sah (IIU Fishing) tersebut perlu dilakukan penegakan hukum," katanya pada Focus Group Discussion “Penerapan Ketentuan Pelepasan Segera (Prompt Release) Kapal dan Awak Kapal Pelaku Illegal Fishing di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia” yang digelar di Grand Hyatt Hotel Yogyakarta, Kamis (10/9).

Penegakan hukum terhadap IUU fishing diatur dalam UNCLOS 1982, mencakup di laut teritorial dan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEE). Dalam hal ini  ada yang disebut dengan prompt release (pelepasan seketika).

Prompt release merupakan kewajiban pelepasan seketika terhadap kapal ikan asing dan seluruh awaknya yang melakukan IUU fishing di wilayah zona ekonomi eksklusif Indonesia (ZEEI) setelah menyerahkan uang jaminan yang layak (Reasonable Bond), sebagaimana diatur dalam Pasal 73 ayat (2) UNCLOS 1982 dan diadopsi dalam Pasal 104 ayat (1) UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan. 

“Namun, dalam prakteknya sampai dengan saat ini Indonesia belum pernah melaksanakan mekanisme pelepasan seketika (prompt release), karena terdapat keragu-raguan dan perbedaan penafsiran tentang pelaksanaan mekanismenya,” ujar Koordinator Penasehat Menteri Kelautan dan Perikanan 2020-2024 itu.

Rohkmin menjelaskan, aturan prompt release berpeluang untuk tidak menambah kerugian Indonesia karena harus menanggung biaya hidup pelaku pelanggaran saat penahanan dan dapat meminimalisir kerugian IUU fishing dengan adanya reasonable bond. “Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP)  berwenang menentukan reasonable bond jika pemilik kapal mengajukan permohonan pelepasan terhadap kapal miliknya,” ujarnya.

Yang terang, penetapan reasonable bond harus secara layak dengan tidak menilai harga kapal yang ditahan terlalu tinggi, denda bagi nakhoda/pemilik kapal terlalu tinggi, dan memasukan komponen yang tidak bersifat finansial.

Adapun hasil prompt release bisa digunakan untuk kesejahteraan masyarakat kelautan dan perikanan Indonesia. “Dengan banyaknya jumlah kapal ikan asing (KIA) yang melakukan IUU fishing dan tertangkap di wilayah ZEEI (lebih dari 50 KIA per tahun), terutama KIA asal Vietnam, Malaysia, Filipina, dan Thailand, Indonesia berpotensi memperoleh uang jaminan yang layak (Reasonable Bond) dari negara-negara tersebut,” ujar ketua Dewan Pakar MPN (Masyarakat Perikanan Nusantara) itu. 

Sementara itu besaran reasonable bond yang ditetapkan harus memperhitungkan nilai jual ikan hasil IUU fishing, nilai harga kapal, bahan bakar dan pelumas, nilai peralatan penangkap ikan, serta denda bagi nakhoda atau pemilik. 

“Uang hasil dari bond dapat dianggap sebagai penerimaan negara bukan paja dari sektor kelautan dan perikanan, yang 50?pat digunakan langsung untuk peningkatan kesejahteraan nelayan dan kesejahteraan aparat penegak hokum,” tukas Rokhmin.

Editor: Tokohkita

TERKAIT


TERPOPULER