Muhammad E Fuady

Pilpres, Isu Politik, dan Polarisasi

  1. Beranda /
  2. Opini /
  3. Sabtu, 13 April 2019 - 09:04 WIB

Muhammad E Fuady/Dokumen pribadi
Muhammad E Fuady
Foto: Dokumen pribadi

Polarisasi di antara kedua kubu semakin menguat. Setiap hari selalu saja ada isu yang memanaskan hubungan kedua kubu, seolah bahan bakar bagi kedua pendukung untuk memacu kendaraan politik tak pernah ada habisnya. Seperti jerami disiram minyak, mudah terbakar kapan saja satu sama lainnya.

Jagat politik tanah jelang pilpres semakin riuh. Kritik, satire, ejekan, cibiran, cemoohan, tudingan, tuduhan, di antara pendukung paslon semakin kencang. Suhu politik memanas tak hanya disekitar elit politik, di tingkat akar rumput pun sangat terasa. Hampir setiap grup chatting seperti Whatsapp, beranda media sosial, perbincangan tatap muka sehari-hari dijejali isu politik.

Polarisasi di antara kedua kubu semakin menguat. Setiap hari selalu saja ada isu yang memanaskan hubungan kedua kubu, seolah bahan bakar bagi kedua pendukung untuk memacu kendaraan politik tak pernah ada habisnya. Seperti jerami disiram minyak, mudah terbakar kapan saja satu sama lainnya. Selalu ada amunisi untuk menyerang, siap ditembakkan kapanpun. Peran sebagai pemain penyerang dan bertahan dilakukan bergantian. Adakalanya ejekan demi ejekan diterima masing-masing kubu sebagai bumbu atau bunga yang menghiasi polarisasi di antara keduanya.

Isu politik di antara kedua capres tentunya mewarnai hubungan di antara kelompok pendukungnya. Isu tersebut sebenarnya berkutat pada hal yang usang namun diproduksi ulang. Ini sebenarnya merupakan bentuk pengulangan-pengulangan. Meski begitu, publik tetap berselera atas "sajian" itu.

Isu keterkaitan dengan organisasi terlarang pernah booming pada pilpres 2014. Isu itu dinilai akan mempengaruhi keputusan pemilih. Nyatanya Jokowi kala itu memenangkan pilpres. Kali ini perbedaannya terletak pada sang pelaku. Misal, bila dahulu tuduhan keterkaitan dengan organisasi terlarang disematkan pendukung lawan politik pada sosok Jokowi, di pilpres ini saat isu tersebut tak marak, justru petahana yang mencuatkannya kembali.

Seolah tuduhan lawan terhadap dirinya masih dilakukan secara massif, padahal isu itu sudah tenggelam. Sebagai korban, Jokowi menunjukkan sisi manusiawinya. Ia lelah disudutkan terus menerus dengan tuduhan yang sama. "Saya akan lawan!", pekiknya dalam kampanye du Jogjakarta.

Meski begitu, tampaknya petahana memanfaatkan isu tersebut karena berpotensi meningkatkan elektabilitas. Sebelumnya petahanalah yang mencuatkannya kembali, bahkan menunjukkan ketegasan dengan kalimat, "Mau saya tabok (pelakunya) tapi orangnya dimana". Sayangnya saat pihak yang mengaku sebagai aktor penyebar dari fitnah atau hoax tersebut muncul dan bergabung dengan petahana, hal itu tak dilakukan. Bagi Mahfud MD, aparat seharusnya bertindak profesional karena kasus itu tidak perlu pengaduan. "Jangan karena pendukung Jokowi terus dibiarkan", tegas Mahfud.

Di kubu seberang, Prabowo pun diserang isu akan mengganti pancasila dengan sistem khilafah. Jokowi menyebutnya dengan "organisasi itu". Kita tahu bahwa organisasi tersebut adalah Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang telah dibubarkan pemerintah dan kini terlarang.

Isu agama yang mencuat pada pilpres 2014, kini meruyak kembali. Jokowi yang dulu dipertanyakan keislamannya kini menyandang beban lebih berat sebagai rezim yang melakukan kriminalisasi ulama. Bagi kubu petahana, mereka yang dihukum memang bersalah, rohaniwan sekalipun. Aparat telah bertindak profesional. Bagi oposisi, justru sebaliknya. Para ustad di era ini dipersekusi tanpa ada tindakan hukum terhadap pelaku.

Persekusi terhadap Ustad Abdul Somad, Felix Siaw, Tengku Zulkarnain, adalah beberapa di antaranya. Chatting asusila yang dituduhkan pada Habib Rizieq Shihab lebih tampak sebagai sebuah upaya pembunuhan karakter dan kriminalisasi. Rilis 200 nama penceramah yang dianggap moderat, jauh dari ajaran intoleran dan radikal, malah menimbulkan kegaduhan. Bila mereka yang masuk daftar itu adalah penceramah yang baik dan aman, nama yang tak masuk daftar berarti termasuk tak baik dan tak aman untuk jamaah. Termasuk survei kontroversial perihal 41 masjid terpapar radikal. Wapres Jusuf Kalla sebagai Ketua Umum Dewan Masjid Indonesia menyebut itu sebagai "Studi yang belum matang dan perlu ditelusuri kembali".

Mengenai sisi keislaman Jokowi, Ustad Yusuf Mansur menggaransinya."Apa yang sering dibicarakan tentang keburukan Pak Jokowi, hanya fitnah belaka," katanya. Kubu petahana gerah karena sedari dulu capresnya diserang bertubi-tubi soal agama. Padahal dokumentasi Jokowi saat shalat cukup viral. Meski maksud baik malah berbuah ejekan pencitraan, gegara shalat mundur satu shaf agar tim dokumentasi dapat mengabadikan momen itu.

Isu Prabowo yang tak jelas shalatnya dan tak bisa mengaji juga kembali muncul. Itu membuat kubu 02 mulai memposting foto kehadiran Prabowo shalat Jumat di lokasi masjid tertentu. Bagi mereka, shalat itu menghadap kiblat, bukan kamera. Ibadah tentunya dilakukan secara privat. Itulah alasan tak ada postingan shalat Prabowo selama ini.

Bila di kubu 01 terdapat dai kondang seperti Ustadz Yusuf Mansur, kini di kubu 02 hadir Ustadz Abdul Somad. Kamis (11/4) sore, Prabowo menemui ustadz sejuta viewers tersebut untuk meminta pandangan dan nasihat. Pertemuan yang dilakukan secara terbuka dan disiarkan melalui salah satu stasiun TV nasional, tentu menyita perhatian publik. Jamaah UAS yang menjadi pemilih Prabowo lebih mantab dengan pilihannya dan mereka yang belum memiliki pilihan tak ragu lagi mengikuti jejak ustadz yang dikenal rendah hati ini.

Selain organisasi terlarang dan agama, sejak lama isu pencitraan menjadi beban tersendiri bagi petahan. Blusukan yang menjadi trademark Jokowi tak lagi dipandang positif. Bahkan muncul plesetan "Blue Shoe Can't", alias "Sepatu biru tak bisa apa-apa" sebagai sebuah satire. Kehadiran Jokowi di berbagai lokasi bencana juga dipandang lebih menonjolkan pose "selfie" dibanding kesigapan dan kegesitannya mengkoordinasi tim dalam menangani bencana.

Celakanya, optimisme target waktu pemulihan lokasi bencana yang disampaikan Jokowi juga tak sejalan dengan paparan menteri. Seolah optimisme itu dimentahkan anak buahnya. Bahkan penjarahan dipicu oleh statement menteri sebagai pembantu presiden. Meski sang menteri membantah. Publik menilai penanganan bencana amburadul.

Mengenai shalat, fotografer mengabadikan momen itu tentu didasari niat baik. Mereka melihat sosok Jokowi akan terlihat lebih humanis saat difoto tengah shalat atau berdoa. Sayangnya frekuensi dan penyebarannya yang massif membuat publik menilai itu sarat pencitraan. Shaf yang dimundurkan agar pewarta bisa mengabadikan momen, justru memperburuk citra Jokowi. Situasi itu dipandang tak natural. Padahal belum tentu Jokowi tahu menahu perihal foto candid itu di antara sedikit situasi yang disadarinya. Ibadah personal adalah soal privat. Saat ditampilkan ke tengah publik menjadi blunder.

Peristiwa lainnya, soal cukur mencukur rambut yang seharusnya dilakukan di ruang privat, di Garut dilakukan di ruang publik. Di tengah lapang, bersama para menteri, bahkan Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil menunjukkan desain Situ Bagendit di masa depan saat rambut Capres 01 ini dipangkas. Tak salah sebenarnya, Jokowi sekedar menghadiri acara cukur masal namun sebagian publik merasa itu sarat pencitraan.

Pesan politik bahwa petahana bekerja sungguh-sungguh, di sela cukuran pun bekerja ternyata tak sampai. Kemudian hal itu menjadi "olok-olok" oposisi beberapa minggu kemudian dengan acara cukur bersama di tempat yang sama. Sindiran itu kembali membuat hubungan kedua kubu pendukung memanas.

Isu lainnya adalah Hak Asasi Manusia (HAM). Bila dalam debat pertama Capres, Jokowi menegaskan dirinya tak punya beban masa lalu, itu bermakna ia tak punya sejarah keterlibatan dengan kasus HAM. Meski, selama periode kepemimpinannya kasus Munir tak terungkap, bahkan kasus Novel Baswedan jalan di tempat. Di sekelilingnya terdapat beberapa sosok yang dianggap terlibat kasus HAM.

Publik mafhum, pernyataan Jokowi saat debat Capres sebenarnya ditujukan pada Prabowo yang memiliki keterkaitan dengan kasus penculikan di era Orde Baru.

Isu HAM sudah pasti dialamatkan pada Prabowo. Setiap pilpres isu HAM mencuat. Prabowo dituding bertanggung jawab atas penculikan aktivis di akhir era Orde Baru. Pihak opisisi menyatakan keheranannya, saat Prabowo bersanding dengan Megawati sebagai paslon pada 2009, isu itu tak dipolitisasi oleh kubu lawan. Secara sederhana, kita paham bila mereka disatukan oleh kepentingan. Jadi tak ada masalah di antara kedua kubu saat itu.

Dalam wawancara dengan media massa pada 2014, Andi Arief sebagai korban menilai isu "penculikan" hanya menjadi konsumsi lima tahunan menjelang Pemilihan Presiden. Alih-alih penculikan, Andi Arief mendeskripsikan itu sebagai peristiwa penangkapan. Hal tersebut bukanlah inisiatif pribadi dari Prabowo. Menurut Andi Arief, mustahil tindakan yang melibatkan sejumlah instansi negara seperti TNI dan Kepolisian tanpa sepengetahuan Panglima ABRI saat itu.

Kepada Tempo pada 2013, Pius Lustrilanang yang mengalami peristiwa secara langsung menyatakan, "Penghilangan orang adalah sebuah kejahatan rezim. Bukan tindakan koboi para petinggi militer". Ia menilai bahwa itu adalah tindakan institusi, bukan perorangan. "Kalaupun Prabowo harus dihukum (karena terlibat), dia telah menjalani hukuman itu", kata politisi Gerindra yang kini berjuang memenangkan Prabowo sebagai presiden RI.

Mengenai penghilangan aktivis, dalam salah satu kesempatan Emha Ainun Najib (Cak Nun) pernah mengulasnya. "Prabowo itu salah satu yang diperintah, jadi ada beberapa satuan yang diperintah untuk mengantisipasi kelompok-kelompok aktivis pada tahun 1997," kata Cak Nun dalam video pengajian Kyai Kanjeng tersebut. "Nah sialnya, Prabowo itu ketika dia menculik tapi tidak dimusnahkan, terus jadi orang hilang itu. Yang diculik oleh pasukannya Prabowo ini dikembalikan ke masyarakat.

Makanya sekarang mereka ikut Gerindra. Memang diculik, tapi ora dipateni. ngono loh, iki salahe dee neng kene kui (itu salahnya dia disitu itu). Kudune dipateni ora ono masalah wes, sebagaimana kelompok-kelompok yang lain. Makanya Pius, Haryanto Taslam, mereka ikut Gerindra sejak awal, mereka berterima kasih kepada Prabowo ngono loh," kata Cak Nun dibumbui seloroh khasnya.

Isu HAM yang melibatkan Prabowo memang buram namun ia beruntung karena pembelanya adalah para korban dan tokoh yang disegani. Prabowo tak dipandang sebagai pesakitan. Ada sisi heroik karena ia justru menjaga korban tetap hidup dan bertanggung jawab. Semua aktivis yang ditangkap Kopassus kembali ke tengah masyarakat. Aktivis lainnya tak jelas apakah ditangkap kesatuan lain. Tak tentu rimbanya, nasib mereka tak jelas hingga saat ini.

Di tahun politik, pergulatan di antara kelompok yang berseteru dipandang normal. Apapun menjadi serba politik. Ucapan dan tindakan politisi selalu dipandang dari kacamata politik. Isu mana yang menguntungkan dan mana yang dapat digunakan untuk melemahkan lawan. Meski, sebenarnya ada sebagian dari publik di luar kedua kubu yang merasa gerah. Mereka ingin hari pilpres tiba agar perseteruan usai. Mereka ingin suhu politik menurun, adem ayem, dan "tentrem".

Sejarah seolah berulang kembali. Dua puluh tahun lalu polarisasi antara kubu Golkar dengan Capres Habibie versus PDI-P dengan Megawati sebagai capres berhasil diredam dengan memunculkan K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sebagai tokoh alternatif. Ide yang digagas Amien Rais melalui Poros Tengah itu dinilai tepat. Konflik antar anak bangsa terhindarkan saat itu Gagasan Amien Rais memunculkan tokoh alternatif sebagai peredam konflik, pencair ketegangan, dan perekat anak bangsa telah teruji.

Situasi politik mutakhir memang tak dikembangkan seperti awal reformasi. Tak ada sosok alternatif yang dimunculkan. Mencoba memunculkan calon alternatif mungkin menjadi isu yang tak laku, bahkan sudah sangat terlambat. Kini publik hanya memiliki dua alternatif, bila bukan pendukung Jokowi, pasti pendukung Prabowo. Begitu pula sebaliknya. Politik kini dipersepsi menjadi hitam dan putih. Bila bukan kubu 02, pasti kubu 01. Publik di luar keduanya, tinggal memilih akan menjatuhkan pilihan kepada siapa. Kandidat mana yang lebih mereka percayai.

Petahana tampak kuat dalam berbagai pemberitaan media massa. Hasil survei pun menunjukkan keunggulan mereka. Berbagai lembaga survei pada Februari dan Maret lalu melansir elektabilitas Jokowi-Makruf Amin berada di atas 50 persen dan Prabowo-Sandi jauh di bawahnya. Berbeda dengan media sosial, sebelumnya kubu 01 berada di atas angin, kini pencarian atas nama capres 02 menunjukan sebuah lompatan jauh.

Dalam kampanye terbuka kubu 02 pun, massa selalu melimpah. Kampanye akbar mereka, massa memenuhi arra dalam dan luar Graha Bung Karno (GBK), juga jalanan sekitarnya. Pihak Badan Pemenangan Pemilu (BPN) meyakini hasil pilpres akan seperti realitas di lapangan yang mereka lihat langsung, tak akan seperti survei yang dilakukan berbagai lembaga polling. Anomali terjadi dalam pilkada Jabar, Jateng, dan DKI Jakarta. Perolehan suara calon kepala daerah di sana jauh melampaui hasil survei. Artinya kemenangan amat mungkin bagi oposisi.

Bagi kubu oposisi, unggahan atas berbagai peristiwa di lapangan, antusiasme publik menghadiri berbagai kampanye Prabowo atau Sandi dipandang sebagai kenyataan yang sebenarnya. Apa yang ditampilkan media pro petahana hanyalah pseudo-event dan framing.

Kemenangan tak ada artinya bila sebuah kubu mengabaikan nurani dan moral. Jalan manakah yang akan ditempuh menjadi penting dalam mencapai tujuan politik. Adakalanya kisah Pandawa dan Kurawa bukanlah persoalan hitam dan putih, melainkan kepentingan semata. Sesungguhnya kebaikan dan keburukan ada dalam diri kita sendiri. Kembali pada publik pendukung dan politisi, jalan mana yang akan dipilih. Pilpres ini membutuhkan nurani dan akal sehat.

*Dosen Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Islam Bandung (Unisba)

Editor: Tokohkita

TERKAIT


TERPOPULER