Bahaya Politik Identitas Bagi Kelangsungan Demokrasi

  1. Beranda /
  2. Kabar /
  3. Nasional /
  4. Minggu, 26 Mei 2019 - 04:33 WIB

Talk show bertema Menguatkan Ukhuwah Wathoniyah Pasca Pemilu Serentak/Istimewa
Talk show bertema Menguatkan Ukhuwah Wathoniyah Pasca Pemilu Serentak
Foto: Istimewa

Politik identitas tahun ini semakin menguat, karena orang-orang dalam memilih hal utama yang diperhatikan adalah identitasnya, golongan, seperti agama. Peserta pemilu juga menonjolkan identitasnya dalam berkampanye.

TOKOHKITA. Dema IAIN Syekh Nurjati Cirebon menggelar talk show mengangkat tema “Menguatkan Ukhuwah Wathoniyah Pasca Pemilu Serentak”. Acara yang digelar Sabtu (25/5/201) ini dihadiri Akademisi IAIN Syekh Nurjati yaitu M Sofi Mubarok, Alifatul Arifiat dari FAMM Indonesia dan dihadiri oleh 50 orang peserta yang terdiri dari Mahasisawa Dema, Himpunan Mahasiswa Jurusan IAIN Syekh Nurjati, serta masyarakat umum.

Menurut Fadlun Nissa, Pemilu 2019 ini terbilang lebih istimewa karena tidak hanya memilih presiden, namun masyarakat berkesempatan memilih anggota DPRD, DPD, dan DPR RI. "Dalam prosesnya pasti ada hal-hal yang mempengaruhinya seperti ketegangan dan sebagainya baik sebelum, saat maupun sesudahnya. Pada rekapitulasi hasil pemilu juga terdapat sejumlah PPS yang meninggal," kata Fadlun.

Menanggapi hal tersebut, Alifatul Arifiati selaku Aktivis Pendidikan, mengatakan, seyogianya pemilu sudah menjadi bagian dari kedaulatan. Namun kenyataannya, Pemilu diwarnai dengan beberapa hal, seperti halnya money politik, hoax atau berita bohong bahkan isu SARA.

"Politik identitas tahun ini semakin menguat, karena orang-orang dalam memilih hal utama yang diperhatikan adalah identitasnya, golongan, seperti agama. Peserta pemilu juga menonjolkan identitasnya dalam berkampanye. Sehingga tak heran jika makin banyak ustad baru dan jilbab baru (atribut keagamaan) dan ini sangat kental selama pemilu ini," tuturnya.

Selain itu, lanjut Alifatul, berbicara tentang adanya jumlah petugas pemilu yang meninggal tidak bisa dibandingkan dengan keabsahan pemilu, karena keduanya berbeda frekuensi. "Dari beberapa pers rilis yang beredar dari Komnas HAM, persoalannya adalah pada kekurangan panitia pemilu, perekrutan panitia pemilu. Baik PPS, PKK tidak disebutkan secara detail usia (batasan).  Harusnya hal ini diperhatikan, karena mengingat waktu yang lumayan panjang untuk penyelesaian pemilu," terangnya lagi.

Apalagi dengan lima kertas suara yang mengakibatkan kerja petugas panitia menjadi begitu berat. "Proses yang panjang dan banyaknya perdebatan antara saksi dengan petugas, sedangkan tidak semua petugas memiliki kemampuan yang mumpuni dengan segala tekanan yang datang," kata Alifatul.

Alifatul juga memberi catatan, bahwa Indonesia adalah negara konstitusional bukan negara Islam. "Ketika diluar sana ribut soal kecurangan, harusnya dapat dibuktikan adanya kecurangan tersebut dan diproses sesuai hukum. Logikanya jika memang ada kecurangan yang dilakukan oleh KPU secara sistematis, berati hal itu juga diakukan oleh Bawaslu kenapa? Karena segala bentuk kegiatan yang dilakukan olek KPU itu diawasi oleh Bawaslu," tutup Alifatul.

Di sisi lain, M Sofi Mubarok, perwakilan Koordinator Nasional JPPR menyebutkan penyelenggaraan Pemilu 2019 memang dalam perjalannya ada beberapa hal yang kurang.  Celakanya, pada Pemilu 2019 ini terjadi pertemuan dua arus besar antara kelompok pragmatisme dalam mendapatkan kekuasaan. Sebagian kelompok ada yang kecewa pada pemerintah dengan Islam politik yang menghendaki Indonesia menjadi negara Islam seperti HTI. "Kelompok mereka menganggap momen pemilu ini menjadi momen terbaik untuk menggulingkan pemerintah dan pergantian dasar fundamental," kata Sofi.

Buktinya, kegiatan demo yang berujung kerusuhan 21 dan 22 Mei lalu dikomandoi oleh kelompok jihadis yang menginginkan perombakan dalam negara ini. "Islam politik selalu menggunakan kata jihad yang mengarah ke arti “perang”(Ibnu taimiyah)," terang Sofi.

Selain itu, tujuan pragmatisme politik Islam itu adalah tegaknya negara khilafah. "Menurut saya ini tidak mungkin dilakakuan tanpa adanya musaf dan pedang. Inilah yang menjadi titik utama para kaum jihadis dalam melakukan jihad politiknya. Semua peserta politik hari ini memperebutkan politik identidasnya dengan menjadi calon paling dekat dengan Tuhan dan paling suci.

"Dan ini berbahaya bagi NKRI. Indonesia harusnya berbangga menjadi negara daripada negara timur tengah. Karena Indonesia mampu mengadvokasikan undang-undang tanpa mencampurkan keagamaan,"papar Sofi.

Pada akhirnya, setiap kecurangan yang dituduhkan harusnya mampu dibuktikan dengan konkret bukan hanya menyertakan link berita yang masih dipertanyakan keabsahanya. "Kecurangan dalam pemilu memang ada hanya saja tidak sestematis, terstruktur dan masif tapi bentuknya sporadis. Ada yang menguntungkan paslon 1 dan ada yang memenangkan paslon 2," ungkap Sofi.

Penulis : Harsih Setiawandari

Editor: Tokohkita

TERKAIT


TERPOPULER